Derita Petani Desa Sukamulya Kala Terkena Pembangunan Bandara

Tangis dan teriakan para perempuan pecah, kala dua kali gas air mata ditembakkan polisi ke udara jelang tengah hari, Kamis, (17/11/16).

“Tolong… Allahu akbar,” teriak warga sembari mundur, mengamankan diri.

Lima jam sebelumnya, ratusan petani berkumpul di depan Balai Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka, Jawa Barat. Para perempuan memakai caping dan topi. Ada yang menutup sebagian wajah pakai kain. Puluhan bendera merah putih mereka bawa, diikat pad sebilah kayu.

Mereka doa bersama, sebelum turun ke ladang. Menghadang upaya pengukuran lahan proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati.

Pukul 8.30, mereka berjalan, membentuk barisan dan memanjang. Setiba di lahan, pukul 9.30, sekitar 2.000 personel gabungan Brimob dari kepolisian, TNI AD, dan satuan polisi Pamong Praja, tiba di lahan pertanian. Mereka saling berhadapan.

Melihat aparat gabungan datang, Bambang Nurdiansyah dari Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan beberapa warga menemui Kapolres Majalengka AKBP Mada Roestanto.

Mereka minta mediasi agar tak terjadi kekerasan. Bambang coba dialog antarpihak soal persoalan lahan untuk bandara. Roestanto menolak.

“Kami hanya menjalankan tugas negara,” katanya saat itu.

Bambang menanyakan surat tugas aparat gabungan. Permintaan ditolak.  “Kami bawa 2.000 pasukan, sudah pasti ada surat tugas,” katanya kepada Bambang.

Warga minta ditemukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengukur, juga ditolak. Hingga pukul 11.30, negosiasi gagal. Kapolres dan Komandan Kodim, mulai memerintahkan pasukan bersiap-siap.

Duarr, duarr!” Senapan gas air mata menggema.

Seketika itu, warga coba menghadang aparat. Upaya warga direspon tembakan gas air mata, tak lagi ke udara, langsung ke warga.

Bambang melihat Sahir,  warga desa Sukamulya, terkena gas air mata di bahu. Ada Ibu-ibu terkepung aparat, masih ditembaki gas air mata. Seorang warga pingsan. Ada pula berjalan tergopong-gopoh, menjauh dari aparat sambil menangis.

Sejak pukul 12.00, tembakan gas air mata tak berhenti. Warga dievakuasi ke Balai Desa, kaum perempuan ke desa sebelah. Tembakan mulai berhenti sekitar pukul 16.00. Polisi merangsek masuk kampung. Menyisir warga yang aksi penolakan. Sambil evakuasi, suara tembakan tak kunjung henti. Warga ketakutan. Mereka menangis.

“Seandainya dialog, pasti kekerasan tidak terjadi,” kata Bambang, di Walhi Nasional,  20 November lalu.

Bambang menceritakan, ada warga ingin kembali ke rumah untuk shalat, di depan rumah ada tenda kepolisian. Dia ditangkap dan dipukuli. Ini membuat warga lain takut pulang.

Belajar mengajar pun terhambat. Guru tak mau datang ke sekolah. Kepala sekolah bahkan ikut mendukung pembangunan bandara. Ada pula rumah warga tak dijaga, pintu warung dijebol. Minuman dagangan diambil. Termasuk pintu toko milik Bambang rusak. “Ada warga melihat warung saya dirusak. Dagangan masih aman,” katanya.

Warga Desa Sukamulya mayoritas petani. Luas desa 740 hektar, terbagi 700 hektar pertanian dan 40 hektar pemukiman. Ada 1.700 keluarga, penduduk 5.500 jiwa.

Setiap hektar lahan pertanian menghasilkan delapan ton padi setiap panen. Setahun dua kali panen. Artinya, kata Bambang, jika lahan pertanian tergantikan untuk bandara, miliaran rupiah setiap kali panen hilang. Janji Presiden Joko Widodo yang tertuang di Nawacita untuk swasembada pangan, di lapangan lahan tani malah tergusur

Penolakan warga terhadap bandara Kertajati, karena selama ini warga dan Pemerintah Desa Sukamulya tak diajak bicara.

Pemerintah berdalih, mengundang masyarakat Desa Sukamulya lewat undangan pembahasan pembangunan bandara. Surat selalu datang terlambat.

Dia mencotohkan, pada Selasa, (8/11/16) , ada rapat pukul 13.00 di Gedung Sate Bandung, undangan datang pukul 10.00 di hari sama. Jarak Sukamulya ke Bandung sekitar 100 Kilometer. Etika mengundang tak ada. “Kami menduga ini direncanakan.”

Bambang dan warga Desa Sukamulya berharap, upaya pembangunan jangan pakai kekerasan dalam menyesaikan persoalan. “Ajak kami bicara hati ke hati. Kami bukan teroris, dialog akan lebih menghormati hak azasi.”

RUmah-rumah hantu yang dijadikan 'alat' bagi makelar tanah untuk menaikkan harga. Foto: KNPA
RUmah-rumah hantu yang dijadikan ‘alat’ bagi makelar tanah untuk menaikkan harga. Foto: KNPA

***

Rumah-rumah beratap asbes dan berdinding triplek berdiri di atas tanah untuk pembangunan bandara. Rumah-rumah itu berukuran 10x 14 meter. Baru dibangun sekitar pengukuran tanah dan ganti rugi mulai berjalan.

Warga menyebut itu rumah hantu yang didirikan tanpa penghuni. Hanya modus untuk meninggikan harga jual tanah. Pelakunya, makelar tanah diduga dilakukan oknum pejabat dari kecamatan hingga kabupaten.  Begitu kata Bambang dari hasil penulusuran di lapangan.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pendamping warga Sukamulya, mencium indikasi korupsi pada pembebasan lahan.

Rumah dadakan itu, hasil dari sewa tanah, dibikin modal Rp1 juta untuk sewa tanah dan Rp20 juta untuk bangun rumah hantu. Lalu rumah hantu dijual kisaran Rp100 juta. Oknum makelar tanah dapat untung Rp80 juta. “Itu semua hasil manipulasi data.”

Ada lagi rumah setan. Tak ada bangunan, hanya tanah kosong. Kala pemberkasan, dilampirkan berkas desain rumah yang akan dibangun, dan tanah jadi mahal.

“Indikasi korupsi kuat, pemain diduga aparat tingkat desa hingga pemerintah kabupaten,” katanya.

Catatan KPA, setidaknya ada tiga jenis tanah ganti rugi untuk menggusur desa, yakni tanah sawah, pekarangan dan rumah atau bangunan. Harga sawah Rp125.000 permeter, pekarangan Rp1 juta permeter dan bangunan Rp2,5 juta permeter.

Oknum makelar menawarkan tanah agar harga jual tinggi. Mereka meminta bagi keuntungan. Modusnya,  mereka sebut lahan sawah berupa bangunan. Itulah, kini di Sukamulya, banyak rumah hantu.

Penetapan harga juga tertutup. Tak ada sosialisasi, yang terjadi pengukuran paksa.

Dewi menilai, cara pemerintahan Jokowi masih bermasalah dalam menyelesaikan konflik agraria, dengan kekerasan dan penistaan terhadap petani.

Proses perencanaan pembangunan bandara di Kertajati banyak manipulasi dan terindikasi korupsi. Pemerintah tak mendengarkan keberatan masyarakat. Saat ini 10 desa sudah diratakan, hanya Desa Sukamulya masih bertahan.

Penggusuran warga pada 17 November lalu atas instruksi Gubernur Jawa Barat, dikawal Polri, TNI, Satpol PP dan satgas BIJB. Tepat sehari sebelumnya, KPA melayangkan surat ke Kantor Staf Presiden (KSP), meminta mediasi antara warga dan Pemprov Jabar diambil alih KSP.

Respon lamban. Pemprov Jabar lebih dahulu bertindak represif.

“Peristiwa itu menjadikan tiga petani tersangka. Mereka dituduh melawan aparatur negara. Ini penistaan terhadap petani dan kemanusiaan,” kata Dewi.

Peristiwa Sukamulya, kata Dewi,  sebagian kecil dari banyak contoh buruk proses pembangunan infrastruktur dan ketidakberpihakan negara terhadap petani. Sekaligus cermin kemunduran demokrasi.

Pengerahan aparat keamanan, intimidasi, kriminalisasi dan teror menjadi pola standar pemerintah rezim Jokowi dalam menggusur lahan warga mengatasnamakan pembangunan. Pola semacam itu juga terjadi pada pembangunan Waduk Jatigede, reklamasi Jakarta, reklamasi Bali, pabrik semen di Kendeng, dan real estate di Karawang dan banyak lagi.

Data Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan, selain di Desa Sukamulya, selama 2016 hingga November, terjadi tujuh konflik agraria, upaya penggusuran wilayah pertanian rakyat yang disertai tindak kekerasan dan kriminalisasi atas 8306,66 Ha lahan.

Tujuh peristiwa itu di Serdang Bedagai, Sumut; Tebo Jambi, Muaro Jambi; Lebak Banten, Sukabumi Jabar; Kendal Jateng dan teranyar di Langkat, Sumut pada 18-19 November 2016.

Dari tujuh peristiwa ini tercatat 13 orang mengalami tindak kekerasan, 11 orang ditangkap, dan delapan dikriminalisasi.

Catatan KPA, tak ada sosialisasi dan musyawarah dalam pembangunan bandara di Kertajati oleh provinsi, kabupaten dan BIJB kepada warga Sukamulya melanggar prosedur dan tahapan UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dewi mengatakan, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) diwakili Riza Damanik dan Noer Fauzi Rachman, 19 November datang ke Sukamulya. Hari itu juga, lepas mahgrip kepolisian ditarik. Sebelumnya,  mereka membuat tenda-tenda, buat warga makin trauma.

Noer Fauzi dihubungi Mongabay mengatakan, kedatangan mereka memeriksa situasi dan kondisi pasca bentrokan antara sebagian penduduk Desa Sukamulya dengan aparat keamanan.

Dia  bilang, harus dilakukan, pertama,  pemulihan rasa nyaman dan aman penduduk yang berkumpul di aula desa dan kembali ke rumah masing-masing. Kedua, penduduk kembali bekerja, yang bertani kembali ke tanah garapan, pedagang kembali berdagang. Anak-anak kembali ke sekolah, dan guru-guru kembali mengajar.

“Kerukunan dipulihkan  antarpenduduk pro dan kontra pembebasan tanah untuk BIJB. Tak boleh saling menjelekkan, apalagi ancam mengancam,” kata Oji, panggilan akrabnya.

Dewi meminta, KSP mengambil alih proses mediasi di Sukamulya. Pelenyapan Desa sukamulya, tak mempertimbangkan dampak sosial dan ekologi. “Ganti rugi putus, padahal mayoritas penduduk Sukamulya bertani. Jika hanya ganti rugi bisa pastikan masyarakat tak bisa menjadikan tanah sebagai basis produksi.”

Sekolah, katanya, harus dipastikan bisa aktif kembali. Kepala sekolah tak boleh jadi pihak pro pembangunan BIJB. “Presiden harus ambil alih proses mediasi yang ditangani pemprov maupun bupati untuk agar berjalan berkeadilan. Paling penting Desa Sukamulya tetap ada. Tidak seperti 10 desa lain yang hilang,” ucap Dewi.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan,  penggusuran pemukiman dan wilayah pertanian rakyat di 11 desa di Majalengka menambah panjang daftar alihfungsi lahan pertanian dan wilayah kelola rakyat di Indonesia.

“Ini bertolak belakang dengan visi Presiden Jokowi dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.  Pemerintah harusnya mencukupkan lahan bagi petani bukan malah menggusur dan mengalihfungsi. Ini tak sejalan dengan agenda reforma agraria Presiden,” katanya.

Pembangunan infrastuktur memicu bencana ekologi makin besar dan masyarakat menjadi korban. Seharusnya, kata Yaya, panggilan akrabnya,  pemulihan ekologi berjalan demi keseimbangan ekosistem.

Walhi mencatat Jawa darurat bencana, terutama Jawa Barat, paling tinggi bencana ekologi.

Warga desa Sukamulya, berkumpul sebelum aksi. Foto: KNPA
Warga desa Sukamulya, berkumpul sebelum aksi. Foto: KNPA

Saat ini, katanya,  harus ada moratorium terhadap semua proyek infrastruktur, hingga pemerintah punya mekanisme beradap dalam melakukan pengadaan lahan. Jika pemerintah tak memiliki model penanganan manusiawi, menghormati lingkungan dan hak asasi manusia, katanya, proyek pembangunan akan membuat kemiskinan baru bagi masyarakat.

Tiap pembangunan, katanya, pemerintah daerah harus sudah punya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). “Moratorium semua proyek pembangunan infrastruktur. Bikin mekanisme penyelesaian konflik yang menghormati hak asasi manusia.”

***

Duapuluh lima lembaga tergabung di Komite Nasional Pembaharuan Agraria (KNPA) berkirim surat ke Presiden Joko Widodo, Jumat (18/11/16). Surat ini berisi protes pembangunan BIJB di Kertajati.

Dalam surat itu, KNPA meminta Presiden segera memerintahkan Kepolisian menghentikan tindakan represif, dan kriminalisasi kepada warga Desa Sukamulya. Komite juga desak penarikan aparat keamanan dari lokasi dan membebaskan warga yang ditahan.

“Juga evaluasi pembangunan perpanjangan dan perluasan landas pacu di Desa Sukamulya.”

Presiden,  harus segera memerintahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN menghentikan pengukuran dan penggusuran. Juga usut tuntas pembebasan lahan sepihak dan sewenang-wenang.

“Mendesak kepolisian, kejaksaan dan KPK memproses hukum dan menindaklanjuti dugaan korupsi proyek BIJB,” seperti tertulis pada surat itu.

Agus Ruli Ardiyansah, Sekretaris Umum DPP SPI mengatakan, Presiden harus berhenti menggunakan cara kekerasan terhadap petani dan segera memerintahkan Kapolri menarik mundur pasukan di Desa Sukamulya. Begitu juga yang terjadi Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, Langkat.

Casiman, Sunadi dan Darni menjadi tersangka oleh Polda Jabar. Mereka kena Pasal 214 KUHP, dituduh melawan aparatur negara. Sejak 17 November 2016, mereka ditahan di Polda Jabar. Pada 24 November, LBH Bandung selaku pendamping berhasil menangguhkan penahanan mereka.

“Bersyukur pasti, tapi tak cukup, ketiganya masih tersangka,” kata Iwan Nurdin, dari KPA.

Direktur Sajogyo Institute, Eko Cahyono mengatakan, pemaksaan membangun bandara memperlihatkan negara lebih mengutamakan pertumbuhan dan abai keadilan sosial.

Belum lagi, lahan pertanian subur bakal tergusur. “Jika janji kedaulatan pangan salah satu tujuan Nawacita, mendahulukan pembangunan bandara pengingkaran atas Nawacita.”

Untuk itu, katanya,  pemerintah perlu koreksi ulang seluruh kebijakan infrastruktur dan pembangunan yang mengingkari janji Nawacita.

“Ini negara agraris, seringkali ingkar agraria.”

Haris Azhar, Koordinator KontraS, mengatakan, perusahaan terlibat pembangunan BIJB harus diaudit. Saat ini, BIJB sebagai pelaksana proyek merupakan BUMD Pemprov Jabar.

Presiden, katanya, harus segera perintahkan Polri mengamankan masyarakat dari ancaman kejahatan pembangunan seperti pengukuran liar BPN. “Usut dan tangkap makelar-makelar tanah di Majalengka yang menipu atau mark-up harga tanah.”

Dari website Pemprov Jabar, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menyayangkan insiden di Kertajati Majalengka beberapa waktu lalu.

Dia menyerahkan kepada aparat berwenang untuk penyelesaian masalah insiden itu.

Mengenai musyawarah harga pembebasan lahan, kata Aher, mengklaim sudah berkali-kali. Dia tak mengerti mengapa harus ada unjuk rasa lagi. “Musyawarah sebelumnya sudah berkali-kali,  sudah menemukan kesepakatan dan lain-lain. Kenapa masih ada unjuk rasa?”

Dia janji, akan terus dialog agar tak ada lagi kesalahpahaman.

Pembebasan lahan, katanya, akan lanjut terutama untuk perpanjangan landasan. Landasan harus selesai pembebasan tahun ini, karena 2017 harus selesai pembangunan.

“Kalau sekarang tak selesai, khawatir tak akan ada pembangunan hingga target bisa molor 2017 akhir,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,