Pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi Baturraden Harus Perhatikan Lingkungan

Gemericik air mengalir masuk ke rumah-rumah di Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah. Air bersih untuk warga setempat berasal dari mata air-mata air yang berada perbukitan yang ditumbuhi hutan lebat desa setempat. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan air bersih semata, tetapi sawah-sawah juga mendapat pasokan air sepanjang tahun.

Salah seorang warga dan juga perangkat Desa Melung, Margino, mengungkapkan bagi warga desa setempat sumber mata air sangat vital. “Bayangkan kalau mata air kering, apa yang bisa kami lakukan. Sumber air bersih jadi hilang dan sawah bakal sulit ditanami akibat susahnya pasokan air bersih. Bisa saja, sawah akan menjadi tadah hujan. Kekhawatiran ini muncul, ketika ada rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden,”ungkap Margino pada Senin (28/11).

Menurutnya Margino, ada kekhawatiran soal air bagi warga di Desa Melung, ketika nanti PLTP Baturraden dibangun. Di Melung, ada sekitar 2.200 warga yang bermukim. Hampir seluruhnya menggantungkan kebutuhan air bersih dari mata air.

“Nah, ketika ada rencana pembangunan PLTP Baturraden, warga mengkhawatirkan terganggunya sumber air bersih. Terus terang, sejauh ini masyarakat di Melung juga belum seluruhnya mengetahui persis rencana pembangunan PLTP dan dampak yang ditimbulkannya. Dengan belum mengetahui pembangunan PLTP secara persis, maka sebagian besar masyarakat menyimpulkan kalau pembangunan itu bakal ganggu pasokan air bersih. Saya sendiri juga tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak,”katanya.

Warga lainnya asal Baturraden, Asong, mengungkapkan ada sejumlah kekhawatiran terhadap rencana pembangunan PLTP. Selain soal kemungkinan terganggunya mata air, tetapi juga bahaya pengeboran. “Terus terang, kami masih khawatir dengan dengan adanya bahaya pengeboran. Apakah nantinya bisa seperti lumpur Lapindo di Sidoarjo atau bagaimana. Kami ingin agar sosialisasi digalakkan, agar kekhawatiran semacam ini tidak terjadi,”ungkap Asong.

Kekhawatiran Asong itu bukan tanpa sebab, karena dia memang hanya dengar-dengar kalau PLTP berbahaya. Oleh karena itu, dia ingin agar sosialisasi digalakkan kalau memang PLTP tidak berbahaya. “Kekhawatiran saya seperti ini tolong dibantu, benar atau tidak. Kalau memang tidak benar, bagaimana yang benar. Sebab, tidak hanya saya yang mengkhawatirkan namun banyak orang,” katanya.

Sejumlah petani beraktivitas di sekitar pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Dieng Banjarnegara Jawa Tengah. Sejauh ini PLTP aman dan ramah lingkungan. Foto : L Darmawan
Sejumlah petani beraktivitas di sekitar pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Dieng Banjarnegara Jawa Tengah. Sejauh ini PLTP aman dan ramah lingkungan. Foto : L Darmawan

Pada awalnya, kekhawatiran semacam itu juga dialami oleh salah seorang pegiat Paguyuban Masyarakat Pariwisata Baturraden (PMPB) Tekad Santosa. Tekad bahkan orang yang kerap meneriakkan penolakan terhadap PLTP Baturraden.

“Pada awalnya kami memang menolak adanya pembangunan PLTP Baturraden. Soalnya objek wisata di Kawasan Baturraden hampir seluruhnya adalah wisata air. Baik itu air terjun atau sumber mata air panas. Kalau airnya mengering, jelas akan mematikan mata pencarian warga Baturraden. Itulah mengapa, awal dulu kami melakukan penolakan. Namun, setelah mengikuti sosialisasi dan studi banding ke Kamojang, Jawa Barat, saya baru tahu ternyata PLTP itu aman, malah ramah lingkungan,” ujarnya.

Tekad mengungkapkan adanya kekhawatiran mengenai hilangya air atau kondisi seperti Lapindo di Sidoarjo terlalu mengada-ada. Sebab, PLTP justru akan mempertahankan hijaunya hutan karena PLTP membutuhkan air. “Di sisi lain, PLTP merupakan pembangkit ramah lingkungan dan sangat berbeda dengan pembangkit listrik lainnya yang berbahan baku batu bara misalnya. Malah, dengan adanya PLTP Baturraden, masyarakat bakal diuntungkan karena nantinya ada destinasi baru. Selain itu, dana CSR perusahaan, seperti yang ada di Kamojang, juga bisa digunakan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar,”tambahnya.

Saat melakukan sosialisasi di Pendopo Wakil Bupati Banyumas pada September silam, Project Committee PT Sejahtera Alam Energy (SAE) Paulus Suparmo menegaskan kalau proyek PLTP Baturraden akan memperhatikan soal lingkungan. Saat sekarang, kata Paulus, proyek PLTP Baturraden yang berada di perbatasan antara Banyumas-Brebes memasuki proses eksplorasi dan pembangunan infrastruktur. “Kalau dihitung-hitung, pembangunannya memang molor karena berbagai perizinan yang menyita waktu. Karena pada awal rencana, tahun 2018 sudah dapat memproduksi listrik. Tetapi kenyataannya belum,” ujarnya.

Menurutnya, untuk pengeboran bakal dimulai pada September 2017 mendatang dan diharapkan pengeboran rampung bersama dengan pembangunan infrastrukturnya pada pertengahan 2018. “Setelah dilakukan penjadwalan ulang, maka diperkirakan produksi listrik baru dapat terealisasi pada 2022 mendatang. Sebagai tahap awal, nantinya produksi listrik sebesar 110 Megawatt (MW). Baru kemudian dikembangkan hingga 220 MW,” ujarnya.

Kawasan PLTP Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan
Kawasan PLTP Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan

Dikatakan oleh Paulus, untuk pengembangan PLTP Baturraden membutuhkan dana besar. Pihaknya kini menggandeng STEAG Energy Jerman untuk membiayai proyek besar tersebut. Sebab, lanjut Paulus, berdasarkan hitung-hitungan yang ada, untuk setiap 1 MW, membutuhkan investasi sekitar US$4,5-5 juta. Kalau kapasitas awal pembangunan PLTP Baturraden mencapai 110 MW, maka kebutuhan dana mencapai US$550 juta. Kebutuhan dananya memang sangat besar kalau investasi dalam bidang geothermal dan lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya.

Paulus menerangkan, untuk membuat satu sumur saja, memburuhkan dana senilai US$10-11 juta, kemudian pembangunan infrastruktur bernilai US$ 60juta. Prosesnya saat sekarang terus berlanjut dan kini akan ada tiga sumur yang dibor. Lokasinya berada di lereng sebelah selatan Gunung Slamet di perbatasan antara Banyumas-Brebes. “Secara teknis, dalam pengeboran akan membutuhkan air. Tetapi, kami membangun embung dahulu untuk menampung air sehingga nantinya tidak mengganggu air permukaan. Nantinya mata air yang menjadi tumpuan warga di sekitar lereng Gunung Slamet tidak akan terganggu,”ungkapnya.

Begitu rampung pengeboran, tidak dapat langsung menghasilkan listrik. Membutuhkan waktu hingga satu tahun menuju tahap eksploitasi. Sehingga produksi listrik diperkirakan pada 2022 mendatang.

Sekali lagi, Paulus menandaskan kalau proses pembangunan PLTP tidak akan mengganggu ketersediaan air. Sebab, yang digunakan oleh PLTP Baturraden adalah air yang berada hingga ribuan meter di bawah tanah. Sedangkan air yang dipakai oleh warga maksimal hanya mencapai sekitar 200 meter. “Tak perlu khawatir mengenai ketersediaan air. Termasuk kondisi seperti lumpur di Sidoarjo juga tidak perlu dikhawatirkan, karena memang tidak akan terjadi,”tandasnya.

Secara terpisah, Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ropiudin menyatakan bahwa kalau masih ada kekhawatiran masyarakat mengenai pembangunan PLTP Baturraden, itu hanya karena kurangnya sosialisasi.

“Perusahaan diharapkan untuk massif lagi dalam sosialisasi. Karena yang menjadi terget sasaran adalah warga desa, khususnya di lereng Gunung Slamet, makanya perlu menggandeng media massa. Saya kira menggandeng radio menjadi salah satu alternatif untuk melakukan sosialisasi. Di situ perusahaan dapat menggandeng para ahli atau akademisi, pemerintah dan elemen masyarakat lainnya seperti NGO. Sehingga masyarakat nantinya tidak mengalami kekhawatiran secara berlebihan,” katanya.

Sosialisasi yang dimaksud semacam edukasi secara kontinyu, sebab kalau hanya sosialisasi berupa pertemuan antara pihak perusahaan dengan stakeholders yang ada rasanya masih kurang. “Edukasi secara berkelanjutan bisa membuat masyarakat terbuka mengenai kekhawatiran yang ada. Perusahaan juga bisa menerangkan sejelas-jelasnya tentang PLTP Baturraden. Sehingga masyarakat mengetahui secara utuh mengenai PLTP tersebut,” katanya.

Ropiudin mengatakan kalau berdasarkan pengalaman di Indonesia dan dunia, geothermal itu aman-aman saja. Justru yang tidak aman adalah biayanya, karena investasinya sangat besar. “Kami memandang dengan adanya PLTP maka diversifikasi energi juga berjalan, apalagi di Indonesia sangat kaya potensi geothermalnya. PLTP Baturraden merupakan bukti kalau potensi energi di lereng Gunung Slamet dapat dioptimalkan. Apalagi, geothermal merupakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan, sebab gas efek rumah kacanya sangat rendah. Apalagi sisa air yang digunakan dapat dipakai untuk pendingin atau pemanas. Jadi ada dampak positif selain listrik yakni sisa air dengan suhu hingga 250 derajat Celcius, dapat dipakai untuk pendingin atau pemanas,”ujar Ropiudin.

Tentu dalam pembangunannya, perusahaan harus memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Di sinilah perlu ada pangawalan dari masyarakat. “Perusahaan pun saya kira juga terbuka, sehingga lingkungan di lereng Gunung Slamet tetap terjaga,” tegasnya.

Kawasan wana wisata lereng sebelah selatan Gunung Slamet sebagian hutan di lereng selatan akan ditebang untuk pembangunan PLTP Baturraden. Foto : L Darmawan
Kawasan wana wisata lereng sebelah selatan Gunung Slamet sebagian hutan di lereng selatan akan ditebang untuk pembangunan PLTP Baturraden. Foto : L Darmawan

Sementara Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur Wawan Tri Wibowo mengakui kalau ada lahan hutan yang dipakai untuk pembangunan PLTP Baturraden. Di kedua kabupaten, secara total ada 488,28 hektare (ha) yang digunakan. Rinciannya, 44 ha pada lokasi eksplorasi di Brebes dan 444,28 ha di wilayah Banyumas. “Luasan tersebut relatif tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan luasan total hutan di lereng selatan hutan Gunung Slamet. Untuk hutan yang masuk wilayah KPH Banyumas Timur saja mencapai secara total mencapai 14.786 ha. Belum lagi hutan yang masuk wilayah KPH lain,”kata Wawan.

Menurut Wawan, berdasarkan pertimbangan teknis dari Perum Perhutani, kegiatan eksplorasi PT SAE tidak akan menimbulkan ekses negatif terhadap mata air dan tidak berpengaruh terhadap sumber mata air panas yang berada di sekitar hutan yang diizinkan tersebut. “Perhutani juga meminta kepada perusahaan pengembang PLTP Baturraden untuk mengindahkan kaidah-kaidah konservasi, karena lokasinya berada di daerah tangkapan air,”tegasnya.

Terkait dengan hutan yang ditebang, Koordinator Biodiversity Society (BS) Apris Nur Rakhmadani menegaskan sebagai komunitas yang konsen terhadap konservasi, BS siap melakukan pengawalan terhadap pembangunan PLTP Baturraden. “Kami minta pembangunan PLTP Baturraden meminimalkan dampak terhadap lingkungan. Selain itu, hutan yang ditebang, nantinya juga harus dikembalikan seperti sedia kala,” tegasnya.

Ia juga menyarankan agar sosialisasi lebih massif lagi, karena faktanya masih banyak warga yang bertanya-tanya mengenai keamanan PLTP Baturraden. Informasi haruslah secara utuh, sehingga tidak menimbulkan keresahan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,