Kementerian Lingkungan Selidiki Konsesi Tebu Jadi Kebun Sawit di OKI

oki-gambut5-15230670_10154713465824144_6801489161292402365_nSatgas KLHK kala turun lapangan memantau konsesi tebu yang menjadi kebun sawit. Foto: Humas KLHK

Hamparan dataran hitam teriris kanal-kanal seakan tak berujung. Parit-parit buatan dengan air kehitam-hitaman ini tampak penuh, bahkan sebagian menggenangi lahan gambut. Ada lahan sudah berisi tanaman, sebagian masing kosong. Itulah, puluhan ribu hektar konsesi tebu yang berubah menjadi kebun sawit di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Fakta ini temuan dari Satgas Monitoring dan Evaluasi Gambut bentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kala turun lapangan pekan terakhir November 2016.

San Avri Awang, ketua satgas juga Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, mengatakan, satgas memonitoring dan evaluasi lapangan pada 22 November 2016 ke empat kabupaten prioritas restorasi gambut, salah satu di OKI.

“Indikasi awal kami peroleh, analisa lanjutan 26 November, dua dirjen (Dirjen Planologi dan Penegakan Hukum-red), langsung sidak on the spot ke OKI, Sumsel,” katanya di Jakarta, Rabu (30/11/16).

Dari sana, satgas masuk ke konsesi perusahaan, PT Dinamika Graha Sarana, anak usaha, PT Tunas Baru Lampung Tbk. Perusahaan ini, katanya, mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan pada 2012, seluas 39.553 hektar dengan peruntukan buat tebu.

Kala tim turun, kata Awang, di lapangan mereka menemukan, lahan 39.000-an hektar itu sudah terbagi dua hak guna usaha (HGU). Pertama, sekitar 12.000-an hektar tetap tebu yang dipegang GDS. Di lapangan belum ada operasi, masih tanaman asal. Analisis mengenal Dampak Lingkungan (Amdal) sedang proses.

Kedua, PT Smora Usaha Jaya (SUJ), lebih 25.000-an hektar konon juga grup DGS. “Perusahaan beranak pinak. Di SUJ ini HGU jadi kebun sawit padahal izin pelepasan (kawasan hutan) tebu,” katanya.

Dari pemantauan lapangan secara fisik dan drone, puluhan ribu hektar itu, katanya, dipastikan kubah gambut.

Dari segi konsesi terpecah dua HGU jadi sawit dan tebu, katanya, DGS ada indikasi pelanggaran hingga perlu tindaklanjut. Lalu, di SUJ, areal terbakar seharusnya tak buat kanal, tetapi diblok. “Kenyataan,  buat kanal. Air begini banyak sudah pastikan kubah,” katanya.

Awang, bilang, lahan ini juga terbakar pada 2015, dengan bekas-bekas masih tampak, tanah hitam gosong dan pohon-pohon tersisa meranggas bekas terbakar.  Ia terlihat dari pemantauan lansat, 2015 dan langsung di lapangan.

“Ini lokasi terbakar. Di peta indikatif pemantauan dan pelaksanaan restorasi gambut BRG ini wilayah yang harus diselesaikan restorasinya. Daerah ini sudah disalahgunakan dari tebu ke sawit,” katanya.

Menurut dia, tim turun melihat dua blok. Blok pertama, sekitar 500 hektar sudah tanam, blok kedua, 4.000 hektar siap tanam.

oki-gambut4-15192656_10154713465239144_6629589593537284062_nLahan pembibitan yang tak jauh dari kebun yang akan ditanami. Foto: Humas KLHK

Dari informasi yang mereka kumpulkan, sawit mulai tanam Agustus 2016 dengan usia bibit sembilan bulan. “Bibit (ditanam) di lapangan langsung. Sekitar ini pembibitan. Mereka gak bisa lagi berkilah. Bibit ada, yang ditanam ada,” ucap Awang.

“Menurut kami, HGU bermasalah. Tebu kok jadi lain. Bagaimana BPN keluarkan HGU. Bagaimana Amdal ini?”

KLHK, katanya, bertanggung jawab terhadap Amdal nasional hingga tahu seluk beluk alias prosedur dokumen ini bisa keluar.  “Harusnya, tanya tata ruang, izin sebelumnya. Mengapa jadi sawit, bisa? Jadi ada indikasi yang perlu ditindaklanjuti. Saya kesimpulan, perusahaan ini harus diberikan tindakan sesuai aturan.”

Dari temuan ini, katanya, satgas meminta Dirjen Gakum menindaklanjuti. “Dari satgas serahkan ke Gakum sebagai institusi paling berwenang buat tindaklanjuti,” ujar dia.

Temuan lain, katanya, konsesi, PT Bumi Sri Wijaya Sentosa (BSWS), pas bersebelahan dengan DGS yang mendapat izin pelepasan kawasan hutan seluas 39.000-an hektar buat tebu pada 2012. Akhir 2015, BSWS, mengembalikan areal ini karena merasa tak bisa melaksanakan kegiatan lapangan.

Anehnya, oleh Pemkab OKI, lahan ini dipecah jadi tiga konsesi baru diduga buat kebun sawit juga.

“Ini menurut kami, ada beberapa indikasi pelanggaran juga.  Dugaan kuat, karena izin satu atap juga. Ada persoalan di pemda,” katanya.

Seharusnya, izin tebu, harus buat tebu bukan jadi komoditas berbeda. “Sekitar 80.000 hektar buat tebu, tetapi kenyataan seperti itu,” ucap Awang.

Dia setuju, pengawasan harus makin ketat. “Saya terus pantau ini, kerja sama dengan UPT dijalankan juga. Saya pastikan ke depan, terus galakkan ini buat pemantauan dan ke lapangan.”

Awang menduga kuat, kasus seperti ini tak hanya di OKI juga banyak perusahaan melakukan tindakan serupa. “Harus diluruskan semua.”

Rasio Ridho Sani, Dirjen Gakum, KLHK mengatakan, dari penelusuran awal diduga ada pelanggaran terkait operasional kebun sawit di OKI dan pelanggaran izin pelepasan kawasan.

“Ini akan kita telusuri. Kita lihat indikasi pelanggaran Amdal. Bagaimana Amdal bisa keluar pada SUJ. Ini harusnya tebu tapi jadi sawit. Juga indikasi pembabatan hutan dan lahan,” katanya.

Tim Gakum KLHK turun ke lapangan buat mengumpulkan bahan lanjutan terkait kasus DGS ini.

Penyelidikan, kata Roy, sapaan akrabnya,  terus lanjut, sekaligus mengkaji hukum yang mungkin dikenakan baik sanksi administrasi, perdata maupun pidana. Pengusutan ini, katanya, tak hanya kepada perusahaan juga pemberi izin karena ada dugaan pelanggaran soal perizinan.

“Akan kita lakukan proses penyelidikan buat lihat siapa-siapa yang terlibat. Tak menutup kemungkinan, pemberi izin dan direksi perusahaan,” katanya.

oki-gambut3-15317957_10154713465029144_8305415444805173932_nKanal yang dibuat menoreh gambut dalam. Foto: Humas KLHK

oki-gambut2-15232056_10154713464789144_1171317884263230552_nPondok para pekerja sawit di tepian kanal. Foto: Humas KLHK

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,