Wapres Bicara soal Hutan Rusak, Bencana sampai Restorasi Gambut

Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka Kongres Kehutanan Indonesia (KKI) VI di Jakarta, Rabu (30/11/16). Dia memaparkan berbagai pandangan mengenai lingkungan hidup, mulai kerusakan hutan, bencana hingga agenda restorasi gambut.

“Biasanya, bulan-bulan ini selalu ingat banjir dimana-mana. Di  Jateng, Aceh dan lain-lain. Setiap ada musibah, baru ingat hutan. Begitu juga ketika musim kering, kebakaran hutan dimana-mana,  ingat lagi mengapa tak menjaga hutan? Kalau dapat keuntungan besar, lupa pada hutan,” katanya.

Dia bilang, banyak pihak mendapatkan keuntungan sesaat dari hutan, namun mengakibatkan bencana berulang. Banyak perusahaan, seperti tambang dan sawit maju dengan membabat hutan.

Padahal,  katanya, kondisi hutan di Indonesia rentang waktu 60 tahun terakhir makin mengkhawatirkan. Jika melihat sejarah, 1950-an, luas hutan Indonesia sekitar 150 juta hektar. Saat itu, penduduk kisaran 90 juta jiwa.

Dewasa ini, luas hutan dengan tutupan bagus hanya 90 juta hektar, dengan jumlah penduduk 250 juta orang, atau naik 2,5 kali lipat. Kondisi ini, jadi penyebab perubahan iklim makin terasa.

“Penduduk terus bertambah salah satu penyebab. Penduduk bertambah, butuh rumah, lahan pertanian banyak, butuh makan lebih enak juga macam-macam. Akibatnya transmigrasi besar-besaran. Kita buka hutan di daerah,” katanya.

Kalla juga mengungkit kegagalan proyek lahan gambut satu juta hektar era Presiden Soeharto di Kalimantan Tengah, yang ikut berperan dalam kerusakan hutan dan gambut. Kebakaran terus terjadi, hingga berimbas pada kerusakan lingkungan dan perekonomian masyarakat. Penyebab lain hutan berkurang, sebut Kalla, karena bisnis hutan masif era lalu.

Selain itu, katanya, bisnis perkebunan sawit seluas 15 jutaan hektar juga ikut ambil bagian. Pertambangan, katanya, juga ikut merusak hutan.

Dia menyoroti reklamasi pasca tambang yang banyak terbengkalai. Perusahaan tambang,  ucap Kalla, harus memenuhi kewajiban menutup kembali bekas galian lalu penanaman kembali.

“Kalau tidak tanam kembali, akan sulit. Solusi banjir dan kekeringan itu cuma satu, yaitu hutan,” katanya.

Dia juga ingatkan, kerusakan hutan karena alihfungsi menjadi kebun sayur-mayur sampai kentang. “Jangan tanam sayur-sayuran atau tanaman perlu hawa dingin namun tak mampu menahan air di hulu atau pegunungan, tanamlah kayu penahan air,” katanya.

Gerakan menanam pohon penting. Dia menyarankan, tanam kayu di hulu sungai ataupun pegunungan agar menahan air.

“Bila hulu baik, banyak pohon penahan, kita bisa lihat air sungai di hilir jernih. Bila hilir kotor, yakinlah hulu pasti rusak.”

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, pemberian izin pengelolaan hutan harus beralih. Kalau selama ini,  lebih mengutamakan perusahaan besar, sekarang lebih memprioritaskan  izin kepada masyarakat dengan skema perhutanan sosial seperti hutan tanaman rakyat (HTR), hutan desa, hutan kemasyarakatan sampai hutan adat.

“Dalam RPJMN direncanakan 12,7 juta hektar hutan dapat diberikan bagi masyarakat lokal dan smallholders melalui reforma agraria dan akses penggunaan kawasan,” katanya.

Kini, sudah tercatat penetapan areal kerja perhutanan sosial seluas 1,67 juta hektar. Skema ini, katanya, diharapkan dapat mengatasi kesenjangan, memperluas kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Siti juga menyampaikan, beberapa kemajuan pengelolaan lingkungan dan kehutanan. Tahun ini, katanya, Indonesia bisa mengurangi kebakaran hutan dan lahan. Semua itu, katanya, berkat peran semua pihak ikut bahu membahu.

Gambut tebal di kebun sawit yang dibelah-belah untuk kanal. Kegiatan ini dilarang, tetapi masih saja dilakukan perusahaan. Foto: Humas KLHK
Gambut tebal di kebun sawit yang dibelah-belah untuk kanal. Kegiatan ini dilarang, tetapi masih saja dilakukan perusahaan. Foto: Humas KLHK

Restorasi gambut tak boleh pakai APBN?

Wapres juga mengatakan, dalam menyelamatkan hutan perlu perhatian semua pihak termasuk negara-negara lain. Menurut dia, asing sebenarnya tak langsung ikut berkontribusi dalam merusak hutan Indonesia. Dunia juga merasakan dampak baik jika hutan Indonesia lestari.

Dia bercerita saat berkunjung ke Amerika Serikat dan Jepang, Indonesia dituduh sebagai perusak hutan dan harus bertanggungjawab. Padahal, kedua negara itu juga ikut berkontribusi membuat hutan Indonesia rusak.

“Di New York,  saya marahi semua orang yang menuduh kita rusak hutan. Juga di Tokyo.  Saya bilang,  ini meja, pintu, kursi dari Indonesia. Kau beli US$5, kau jual US$100,” katanya.

Kalla bilang, memulihkan hutan Indonesia perlu kontribusi dari negara-negara lain.

Untuk restorasi gambut, katanya, tak akan pakai APBN tetapi memanfaatkan dana hibah negara lain. Dia meminta, negara-negara lain ikut andil dan tanggungjawab dalam memperbaiki hutan, termasuk restorasi gambut.

“Saya katakan dalam proses restorasi gambut tak boleh pakai APBN. Dunia harus ikut membayar karena juga ikut merusak. Pengusaha-pengusaha asing menghabisi hutan kita. Saya bilang, anda semua harus bayar.  Dunia harus tanggungjawab.”

Siapkan instrumen

Saat ini, pemerintah mempersiapkan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) untuk menampung sekaligus mengelola dana hibah dari luar negeri buat restorasi gambut.

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengatakan, pembentukan BLU melalui peraturan Presiden sedang disiapkan. Ia sejalan dengan PP tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang juga sedang disiapkan.

“PP itu jadi payung perpres ini. Judulnya pendanaan lingkungan hidup, itu bagian UU 32 Tahun 2009. Disitu memang ada jaminan untuk lingkungan hidup.”

Sebaiknya, kata Bambang,  dana APBN BRG hanya untuk dana operasional dan administrasi, luar itu dari dana luar.  “Maka harus ada bank kustodian.”

Untuk Perpres BLU, katanya, tinggal harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Sedang PP Instrumen Pembiayaan Lingkungan Hidup, sudah ada paraf dari delapan menteri. “Insya Allah,  minggu ini bisa maju ke Presiden, nanti bersamaan dengan Perpres BLU. Inilah komitmen kita peduli, negara-negara lain juga peduli.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,