Kisah Klasik Tahura Wan Abdul Rachman, Dari Konflik Menuju Konsep Ekowisata

Sejak masa kolonial Belanda hingga Republik Indonesia berdiri, konflik selalu terjadi antara masyarakat dengan pemerintah dalam mengelola kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman di Register 19, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Mampukah konsep ekowisata memakmurkan masyarakat sekaligus melestarikan hutan?

“Kami saat ini memanfaatkan lahan seluas 600,25 hektare sebagai hutan tradisional di Register 19. Keanekaragaman hayati yang ada kami manfaatkan sebagai tujuan ekowisata, yang menjadi sumber pendapatan masyarakat,” kata Agus Guntoro, Ketua Kelompok SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) Lestari, kepada sejumlah jurnalis yang mengunjungi hutan tersebut, Kamis (24/11/2016).

Lokasi hutan tradisional yang dikelola 384 kepala keluarga di Desa Hanura itu berada di Bukit Damar Kaca, sekitar lima kilometer dari pinggir desa. Perjalanan ke puncak bukit dapat dilalui dengan kendaraan sepeda motor atau berjalan kaki.

Kopi, tanaman jangka pendek sebagai mata pencaharian masyarakat. Foto: Asep Ayat
Kopi, tanaman jangka pendek sebagai mata pencaharian masyarakat. Foto: Asep Ayat

Sepanjang perjalanan, kita akan melihat beragam jenis tanaman. Baik yang dapat dimanfaatkan masyarakat seperti kopi, kakao, melinjo, durian, kelapa, lada, atau kemiri. Di antara tanaman tersebut, tumbuh beragam jenis pohon seperti cempaka, bungur, jati, medang, dan lainnya.

“Tanaman yang ada di hutan kerakyatan ini kami bagi tiga kategori. Tanaman jangka pendek, menengah, dan panjang,” tutur Agus kepada Mongabay Indonesia selama perjalanan menuju puncak Bukit Damar Kaca.

Tanaman jangka pendek seperti kopi dan kakao. Jangka menengah adalah kemiri, pala, cengkih, dan durian. Sedangkan yang disebut jangka panjang itu jati, medang, bungur, dan cempaka.

“Saat ini, yang baru memberikan hasil signifikan bagi masyarakat adalah tanaman jangka pendek, dan sebagian jangka menengah,” ujar Agus. Misalnya dari kopi jenis robusta, pala, cengkih, lada hitam, melinjo, emping melinjo, dan gula aren.

Menjelang di puncak, kami menemukan sejumlah pondok yang ternyata digunakan sebagai penanda jika di masa lalu ada kampung yang cukup ramai. “Dulu ini kampung yang ramai, ada gedung sekolah. Tapi setelah digusur pemerintah, kampung ini tinggal kenangan,” kata Agus. “Untung, saat ini ada skema SHK Lestari sehingga masyarakat masih dapat memanfaatkan tanaman yang dulunya mereka tanam, seperti melinjo, kemiri, atau kakao.”

Sepanjang perjalanan kami mendengar berbagai suara burung, dan dari jauh terdengar pula suara siamang. Terlihat pula burung rangkong melintas di atas pepohonan di seberang Bukit Damar Kaca.

“Di sini masih ada 82 jenis burung, 26 jenis satwa, dan 266 jenis pohon. Meskipun jarang ditemukan jejaknya, sesekali harimau juga melintas.”

Melinjo, salah satu produksi terbesar masyarakat yang terlibat SHK Lestari. Foto: Wikipedia
Melinjo, salah satu produksi terbesar masyarakat yang terlibat SHK Lestari. Foto: Wikipedia

Wow! Saat berada di puncak Bukit Damar Kaca, sekitar 450 meter dari permukaan laut, terlihat Teluk Ratai dan hamparan laut Selat Sunda. Begitu indah. “Pemandangan ini yang menjadi andalan kami kepada para wisatawan yang datang. Selain menikmati keanekaragaman hayati yang ada.”

Ekowisata yang akan dikembangkan, kata Agus, berupa berkemah atau mengikuti kehidupan masyarakat di sini. “Rumah-rumah warga yang dijadikan penginapan wisatawan jika ingin menetap lama.”

Para wisatawan juga diwajibkan menanam pohon, dilarang menangkap atau berburu hewan, merusak pohon, serta diharuskan membersihkan sampahnya sendiri.

Cengkih, komoditas yang dihasilkan masyarakat yang terlibat SHK Lestari. Foto: Junaidi Hanafiah
Cengkih, komoditas yang dihasilkan masyarakat yang terlibat SHK Lestari. Foto: Junaidi Hanafiah

Konflik

Menurut Hendrawan, Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.742/Kpts-II/1992 tertanggal 21 Juli 1992. Luasnya mencapai 22.249,31 hektare. SK ini diperbaharui SK Menhut No.408/Kpts-II/1993 yang menyebutkan kawasan Register 19 Gunung Betung berubah fungsi dari hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi.

Secara administratif, Tahura Wan Abdul Rachman berada di tujuh kecamatan yakni Telukbetung Barat, Tanjungkarang Barat, Kemiling, Kedondong, Gedong Tataan, Way Lima, dan Padang Cermin, yang terbagi di Kota Bandarlampung dan Kabupaten Pesawaran.

Topografi Tahura Wan Abdul Rachman bergelombang ringan hingga berat. Di wilayah ini ada empat gunung yakni Gunung Pesawaran (1.661 mdpl), Gunung Rantai (1.240 mdpl), Gunung Tangkit Ulu Padang Ratu (1.600 mdpl) dan Gunung Betung (1.240 mdpl).

Memandang Teluk Ratai dan Selat Sunda dari puncak Bukit Damar Kaca, Tahura Wan Abdul Rachman. Foto: Taufik Wijaya
Memandang Teluk Ratai dan Selat Sunda dari puncak Bukit Damar Kaca, Tahura Wan Abdul Rachman. Foto: Taufik Wijaya

Berdasarkan hasil penelitian, tanaman yang paling dominan di Tahura Wan Abdul Rachman adalah merawan (Hapea mengawan), medang (Litsea firmahoa), rasamala (Antingia excels), rotan, paku-pakuan, dan jenis anggrek.

Setelah penetapan itu, masyarakat yang sudah berada di Register 19 sejak 1960-an dipaksa pergi. Mereka ini umumnya pendatang dari Jawa dan Sunda yang ikut pemindahan penduduk kerja sama TNI dan Departemen Transmigrasi dengan nama Biro Rekonstruksi Nasional (BRN). Sebagian juga berasal dari Semendo, Sumatera Selatan.

Dalam sebuah operasi evakuasi oleh dinas kehutanan, Polri, TNI dan kepolisian hutan, masyasakat dipaksa mengosongkan hutan. Pengusiran masyarakat dari Tahura Wan Abdul Rachman berlangsung hingga 2003.

Salah satu sudut hutan Register 19 Tahura Wan Abdul Rachman yang terus dijaga masyarakat. Tanaman produksi seperti kakao, ditanam di antara pohon khas hutan Sumatera. Foto: Taufik Wijaya
Salah satu sudut hutan Register 19 Tahura Wan Abdul Rachman yang terus dijaga masyarakat. Tanaman produksi seperti kakao, ditanam di antara pohon khas hutan Sumatera. Foto: Taufik Wijaya

Sejak kapan masyarakat menetap di Tahura Wan Abdul Rachman? Berdasarkan catatan Walhi Lampung permukiman dimulai pada 1750-an di Desa Padang Manis, di Desa Gebang (1883), Desa Bogorejo (1910), Desa Hurun (1920), Desa Sidodadi (1930-an), serta desa-desa lainnya antara 1940-an hingga 1960an.

“Orangtua saya menetap di sini sejak tahun 1960-an. Ikut transmigrasi oleh TNI. Saya lahir di sini. Sejak dahulu kami mengusahakan kopi, coklat, pala, kemiri, serta durian di sini,” kata Susmiadi (51). “Rasanya saya tidak mampu meninggalkan tanah ini, tanah kelahiran saya. Kalau untuk menjaga hutan, saya juga sanggup, dan selama ini kami telah melakukannya,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,