Program bantuan kapal untuk nelayan di seluruh Indonesia yang sedang berjalan saat ini, dinilai berpotensi menemui kegagalan. Bahkan, jika tidak segera diperbaiki melalui pembenahan-pembenahan, program tersebut akan mengulang program serupa yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebelum dipimpin Susi Pudjiastuti.
Hal itu dikatakan Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity Abdul Halim kepada Mongabay, Senin (5/12/2016). Menurut dia, program bantuan kapal di era sebelumnya yang bernama Inka Mina menemui kegagalan karena dilaksanakan secara instan tanpa ada pendampingan.
“Itu sebabnya Inka Mina kapalnya banyak yang mangkrak dan tidak beroperasi sama sekali. Itu harus jadi catatan bagi KKP,” ucap dia.
Halim menjelaskan, potensi gagalnya program bantuan kapal yang jumlahnya mencapai 3.450 unit dengan tonase berbeda-beda, terlihat nyata menjelang akhir 2016 ini. Dari janji pembagian pada Agustus, kata dia, hingga awal Desember ini belum satu unit pun yang sudah diterima nelayan.
“Padahal, KKP sudah berkoar akan membagikan pada akhir tahun ini. Karena belum ada yang dibagikan, tahun depan bebannya akan lebih berat. Karena, KKP berjanji akan menyalurkan 3.450 unit kapal baru,” tutur dia.
Karena masih ada waktu menjelang 2017, Halim mendorong KKP untuk segera melakukan pembenahan secepat dan serapi mungkin. Jika tidak, ancaman kegagalan seperti program bantuan kapal Inka Mina akan nyata terjadi nantinya.
Adapun, pembenahan yang dimaksud, menurut Halim, adalah dengan melakukan sosialiasi kepada calon penerima kapal dan memberikan pelatihan secara teknis yang mencakup pelatihan pemberdayaan ekonomi di dalamnya.
“Dengan adanya pelatihan kepada nelayan dan atau calon penerima kapal, maka diharapkan secara teknis mereka akan paham bagaimana mengoperasikan dan merawat kapalnya dengan baik. Itu yang tidak terjadi pada pembagian kapal Inka Mina,” jelas dia.
Selain masalah di atas, Halim menyebutkan, program bantuan kapal di bawah kepemimpinan Susi Pudjiastuti juga dinilai bermasalah, karena spesifikasi kapal disamaratakan antara satu daerah dengan daerah lain. Padahal, kebutuhan dan kebiasaan setiap daerah dengan daerah lain itu berbeda-beda.
Halim kemudian mencontohkan, nelayan di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, sejak lama sudah terbiasa menggunakan kapal bertonase kecil dengan material dari kayu. Kebiasaan tersebut, seharusnya dipelajari oleh KKP sebelum meluncurkan program bantuan kapal.
“Meski fiber itu material untuk masa depan, karena kayu akan semakin sedikit, namun KKP tetap harus mempelajari kebiasaan di masing-masing daerah. Karena di Natuna, material kayu digunakan, dengan pertimbangan di sana perairannya laut lepas yang dalam,” ungkap dia.
Diketahui, akhir 2016, sebanyak 3.450 kapal yang masuk dalam program bantuan kapal nasional akan dibagikan ke seluruh nelayan melalui koperasi di seluruh Indonesia. Dari 3.450 kapal yang direncanakan, menurut Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar, KKP akan meluncurkan sebanyak 931 kapal pada tahap pertama.
“Kita libatkan 327 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Ada 1.052 data yang harus diverifikasi dan kita dapatkan 104 data yang siap untuk mendapatkan bantuan sebanyak 931 kapal,” ucap dia.
Agar tidak terulang kejadian seperti pada periode kepemimpinan KKP sebelumnya yang mengalami kegagalan dalam proyek sama, Zulficar memastikan bahwa calon penerima bantuan untuk sekarang tidak lagi perseorangan. Melainkan, mereka yang tergabung dalam keanggotan sebuah koperasi.
“Kenapa kita syaratkan koperasi, karena agar pengawasannya bisa berjalan dan tidak ada penyalahgunaan. Selain itu, dengan adanya koperasi, akan ada pendampingan kepada nelayan yang mendapatkan kapal,” jelas dia.
Untuk keperluan bantuan 3.450 kapal tersebut, menurut Zulicar, KKP telah mengalokasikan dana sebesar Rp1,9 triliun. Namun, dana tersebut juga mencakup untuk anggaran bantuan alat tangkap yang juga akan dibagikan maksimal akhir tahun ini.
“Ada 14.782 alat tangkap yang akan dibagikan kepada nelayan. Itu juga dilakukan melalui proses verifikasi data dulu agar bisa sesuai dengan kebutuhan nelayan,” tutur dia.
Agar bantuan bisa tepat guna, Zulficar memastikan bahwa spesifikasi teknis bantuan sarana penangkapan ikan tersebut dibuat dengan memperhatikan karakteristik seluruh wilayah perairan Indonesia dan kearifan lokal.
“Proses identifikasi dan penyusunannya dilakukan melalui survei yang mewakili 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia atau WPP-NRI,” papar dia.
ZEE Indonesia Harus Diisi Kapal-kapal Indonesia
Selain menyentil program bantuan kapal, Abdul Halim juga menyentil pemanfaatan kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia yang saat ini masih rendah. Menurut dia, jika masih seperti sekarang, potensi pencurian ikan oleh kapal ikan asing (KIA) sangat besar terjadi.
“Dengan adanya patroli laut saja, pencurian ikan masih ada, apalagi kalau tidak ada patroli di ZEE. Itu yang dikhawatirkan,” sebut dia.
Halim memaparkan, pemanfaatan kawasan ZEE Indonesia tidak hanya untuk kepentingan ekonomi saja, tapi juga untuk kedaulatan Negara. Jika ada kapal ikan Indonesia (KII) di ZEE, maka itu akan berperan ganda sebagai kapal kedaulatan Negara.
“Isu identitas, kedaulatan, dan sumber daya akan selalu ada dalam pemanfaatan kawasan ZEE Indonesia. Ini yang harus diperhatikan oleh Indonesia,” tutur dia.
Karena kawasan ZEE adalah laut lepas, Halim meminta KKP untuk mengisinya dengan kapal-kapal dengan tonase besar di atas 50 gros ton (GT). Jika tonasenya di bawah itu, dia pesimis kapal yang dimaksud bisa bertahan di atas perairan ZEE yang terkenal memiliki gelombang ganas.
“Jika menteri Susi bilang kapal 20 GT sudah bisa melaut ke ZEE, itu salah. Bisa-bisa, kapal tersebut diombang ambing lautan dan tenggelam. Sebaiknya memang kapal bertonase besar untuk melaut di sana,” jelas dia.
Sementara, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulicar Mochtar mengatakan, seluruh wilayah perairan laut di Indonesia harus bisa dimanfaatkan dengan baik namun tetap dijaga sumber daya lautnya dengan baik. Hal itu, karena sumber daya laut adalah sumber daya yang melibatkan banyak sektor dan faktor.
Karena itu, menurut Zulficar Mochtar, pengelolaan laut itu harus diatur dan tidak dibuka sembarangan kepada siapapun. Sehingga ke depannya, sumber daya laut akan tetap bisa terjaga dan produksi alaminya bisa terus bertahan dan melimpah.
“Prinsip laut itu bisa diakses siapa saja (open access) adalah salah karena bisa membuat pengelolaan laut menjadi serampangan. Jika itu tetap dibiarkan, maka di laut pasti akan semakin banyak masalah dan sifatnya kompleks,” jelas dia.