Opini : Ketangguhan Bencana Iklim: Menakar Aksi Adaptasi di Indonesia

Awal 2008, tepatnya pasca konferensi perubahan iklim di Bali, adaptasi perubahan iklim dipandang sebagai pilihan penting dalam mengatasi dampak merugikan akibat perubahan iklim (walaupun sejak tahun 2001, pasca diterbitkannya Marrakech Accord, beberapa program disepakati dan diarahkan kepada pengembangan kebijakan dan penelitian adaptasi, namun perhatian dunia pada waktu itu lebih kepada upaya menurunkan emisi gas rumah kaca atau dikenal dengan mitigasi perubahan iklim).

Pada agenda lainnya, masyarakat yang peduli dengan Pengurangan Risiko Bencana pun melihat isu perubahan iklim sebagai ancaman yang harus diantisipasi dan dikurangi dampaknya.

Pilihan ini penting, karena Indonesia sangat rentan dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan yang masih tinggi) serta tata kelola pemerintahan (termasuk penyalahgunaan tata ruang dan kooordinasi yang lemah antar lembaga yang mendorong kegiatan atau proyek pembangunan yang tidak bersinergi satu sama lain).

Pada sisi lainnya, masih memiliki keterbatasan aspek pendanaan, teknologi dan kapasitas kelembagaan serta sumber daya manusia. Dengan kondisi tersebut, tidak ‘heran’ jika saat mengalami iklim yang ekstrim, mudah menimbulkan bencana yang berakibat timbulnya kerugian kepada manusia dan lingkungan.

Di dalam negeri,  kita mendengar dan melihat beberapa waktu lalu (dan mungkin ke depan, seiring masuknya musim penghujan), bencana banjir dan longsor di beberapa daerah akibat intensitas hujan yang tinggi. Tahun lalu dihadapkan dengan bencana kebakaran hutan yang diperparah oleh faktor kekeringan.

Jika tidak ada perbaikan yang signifikan terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan serta pola pembangunan, perubahan iklim yang terjadi akan semakin berpotensi terjadinya bencana yang merugikan ekonomi sosial masyarakat dan target pembangunan regional maupun nasional. Tinjauan ekonomi perubahan iklim yang dibuat oleh Nicholas Stern menyebutkan bahwa perubahan iklim merupakan  rintangan besar dalam upaya pengurangan kemiskinan.

Berdasarkan ‘catatan’dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB (Kompas, 13/10), kerugian nasional akibat bencana setiap tahunnya di Indonesia  mencapai Rp.40 triliun. Jumlah tersebut telah mencakup kerugian akibat perubahan iklim.

Namun demikian, penulis meyakini angka tersebut masih dibawah angka yang sebenarnya, karena kerugian kegagalan panen, tangkapan ikan yang berkurang serta rusaknya sarana infrastruktur belum dihitung secara menyeluruh.

Untuk tahun 2016,  faktor iklim yang mengakibatkan bencana hampir 97,1%. Apabila tidak ada perubahan terhadap pendekatan dan pola pembangunan saat ini, dipastikan angka kerugian akan semakin besar.

Satu penelitian menunjukkan, apabila dilakukan intervensi baru, dengan pendekatan yang mempertimbangkan ancaman perubahan iklim di dalamnya, maka akan mampu menekan jauh kerugian yang ditimbulkannya saat bencana terjadi karena tata ruang, infrastruktur, jenis varietas tanaman, termasuk perubahan perilaku masyarakat kepada perilaku yang lebih mendukung terwujudnya ketangguhan sebuah wilayah.

Jalan tergerus banjir disekitar kantor Bupati Padangpariaman di Parik Malintang Jumat (17/6/16). Foto: BPBD Sumbar
Jalan tergerus banjir disekitar kantor Bupati Padangpariaman di Parik Malintang Jumat (17/6/16). Foto: BPBD Sumbar

Hampir satu dekade, Pemerintah menyiapkan langkah agar Indonesia berkemampuan dan memiliki kapasitas adaptif yang jauh lebih baik. Beragam dokumen kebijakan dan kajian kerentanan sebagai basis ilmiah suatu daerah/wilayah untuk mengembangkan dan memilih bentuk adaptasi yang dinilai sesuai dengan magnitude yang akan ditimbulkan dari risiko adanya perubahan iklim.

Namun, tantangannya adalah bahwa sampai saat ini belum ditemukan satu siklus adaptasi, baik pada level sektor/bidang maupun wilayah, yaitu mulai dari identifikasi dan kajian kerentanan-perencanaan pembangunan yang didalamnya termuat pilihan adaptasi (adaptation option), implementasi proyek dan  kegiatan adaptasi yang mencakup kegiatan struktural dan non struktural, dilanjutkan dengan aktifitas monitoring dan evaluasi–yaitu menilai sejauh mana efektifitas dari adaptasi yang telah dilakukannya–.

Proses adaptasi adalah proses yang iterasi, yang tak pernah berakhir, sehingga hasil monitoring dan evaluasi kembali menjadi dasar pemikiran dalam menilai kerentanan (karena pada dasarnya juga terjadi perubahan kondisi dan risiko), yang dilanjutkan dengan kegiatan perencanaan dan seterusnya.

Kondisi ini adalah critical point, karena faktanya institusi atau organisasi yang melaksanakan kegiatan adaptasi berhenti pada satu atau dua tahapan saja. Banyak alasan yang membuat kondisi ini tercipta, diantaranya adalah keinginan kepada kuantitas kegiatan di beragam area/lokasi-bukan kepada kualitas kegiatannya (focus, utuh dan dalam), keterbatasan pendanaan/pembiayaan dan waktu, atau tidak jelasnya target sasaran dari adaptasi yang ingin dicapai dari sebuah program.

Kondisi sekolah pasca diterjang banjir bandang di Desa Sukakarya, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Kamis,(22/09/2016). akibat banguanan sekolah rusak seratus siswa diliburkan. Foto : Donny Iqbal
Kondisi sekolah pasca diterjang banjir bandang di Desa Sukakarya, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Kamis,(22/09/2016). akibat banguanan sekolah rusak seratus siswa diliburkan. Foto : Donny Iqbal

Lalu apa yang musti dilakukan dalam jangka pendek dan menengah? Adanya pemetaan persoalan kebijakan, pendanaan, teknologi dan infrastruktur apa yang dibutuhkan (berdasarkan kajian kerentanan tentunya) untuk adaptasi perubahan iklim mendesak untuk segera dilakukan. Integrasi strategi kebijakan adaptasi dan pengurangan risiko bencana dan teknis adaptasi yang telah dan sedang dilakukan oleh berbagai sektor menjadi tujuan strategi jangka pendek.

Proses ini menjadi bagian dalam pengembangan kerangka institutional dan political process, pengembangan stuktur mekanisme pendanaannya dan pertukaran informasi antar para pemangku kepentingan.

Pilihan adaptasi menjadi kebutuhan untuk mengisi kesenjangan dalam mengidentifikasi strategi adaptasi yang diperlukan untuk menghindari terjadinya mal adaptasi. Sebaliknya penilaian pilihan adaptasi ini  akan menjawab secara spesifik kebutuhan adaptasi yang harus dilakukan. Pilihan adaptasi patut pula mempertimbangkan aspek pendanaannya.

Selain menyampaikan kebutuhan technical and methodology adaptasi, struktur mekanisme pendanaan yang paling riil dilakukan menjadi penting untuk ditawarkan oleh institusi keuangan publik maupun swasta.

Apabila hal ini dilakukan dengan terencana dan sistematis, maka menjadi jawaban terhadap aktifitas kongkrit di dalam negeri untuk menterjemahkan perhatian dan komitmen persoalan perubahan iklim, khususnya dalam membangun strategi dan aksi adaptasi.

Namun demikian keaktifan dan keterlibatan dalam perundingan dan negosiasi internasional untuk perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana tetap merupakan media atau alat (tools) untuk mencapai tujuan besar dalam mengisi kebutuhan aksi perubahan iklim di dalam negeri guna mewujudkan ketangguhan wilayah dari bencana iklim.

***

*Ari Mochamad – Climate Adaptation Advisor Program APIK (Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan). Tulisan ini merupakan opini penulis

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,