LBH Makassar Kecam Penembakan Terhadap Nelayan di Selayar. Begini Peristiwanya..

Husain atau Saddam (26 tahun), nelayan warga Pulau Rajuni, Kecamatan Takabonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan kini harus terbaring kesakitan di RS Umum Benteng Selayar. Sebuah peluru menerjang bagian belakang tubuhnya tembus ke bagian perut dalam sebuah insiden penembakan yang terjadi pada Senin, 28 November 2016 lalu. Pelakunya ditengarai adalah Polisi Hutan dari Taman Nasional Takabonerate Selayar.

Belum ada kepastian penyebab insiden penembakan tersebut. Suharjo, salah seorang keluarga korban bercerita bahwa di pagi hari yang naas itu Husain bersama dua orang rekannya baru saja pulang dari mengambil ikan dari perahu bagang yang lokasinya tak jauh dari pulau.

Menurut Suharjo, ketika perahu kecil atau jolloro yang ditumpangi Husain baru saja akan merapat ke dermaga pulau mereka berpapasan dengan 7 orang Polhut yang sedang berpatroli. Moncong senjata diarahkan ke mereka dan tanpa peringatan langsung mengeluarkan dua kali tembakan.

“Ketika berjarak 10 meter tiba-tiba salah seorang Polhut itu menembak. Ada dua kali tembakan. Korban awalnya tidak menyadari lalu tiba-tiba banyak darah yang keluar dari perutnya. Polhut itu langsung kabur tanpa berusaha memberi pertolongan. Untung korban bisa diselamatkan keluarga dan langsung dibawa ke rumah sakit,” ungkap Suharjo via telpon kepada Mongabay, Minggu (5/12/2016).

Menurut Suharjo, pihak keluarga hingga saat ini belum mendapat penjelasan resmi perihal penembakan tersebut. Isu yang mereka dengar bahwa Polhut menuding Husain dan kedua rekannya saat itu sedang melakukan pemboman ikan dan berusaha menyerang Polhut tersebut dengan senjata.

“Ini tidak masuk akal karena tidak mungkin membom di sekitar situ yang dekat karang. Korban juga tak membawa senjata apa-apa tiba-tiba ditembak begitu saja tanpa peringatan,” ujar Suharjo.

Menurut Suharjo, setelah kejadian tersebut ada upaya yang dilakukan oleh pihak Taman Nasional dengan mendatangi keluarga korban namun ditolak karena tidak ada kepastian hukum yang jelas atas kejadian tersebut.

“Sempat beredar isu bahwa keluarga sudah mau damai, tapi setelah semalam saya konfirmasi ternyata tak ada seperti itu. Keluarga tetap meminta agar para pelaku ditangkap,” tambah Suharjo.

Suharjo berharap kasus penembakan ini diselesaikan secara hukum bukan secara kekeluargaan seperti yang diharapkan oleh Taman Nasional.

Menurut Suharjo, pihak keluarga besar korban hingga saat ini berusaha menahan diri dan tetap tetap mengedepankan upaya hukum penyelesaiannya, bukan dengan cara kekerasan dan anarkis.

Kapolres Selayar AKBP Edy S Tarigan, ketika dikonfirmasi media membenarkan kasus penembakan tersebut dengan alasan adanya perlawanan dari Husain.

“Kapal dari Jagawana dapat satu orang dikejar. Nah, (korban) ini melawan. Kapal Jagawana ditabrak, dia sudah berikan tembakan peringatan tapi tidak diindahkan. Dia gunakan senjata untuk jaga diri dan itu SOP-nya ada, sudah sesuai SOP,” kata Tarigan, sebagaimana dikutip dari rakyatku.com, Senin (5/12/2016).

Tarigan juga menyebut penembakan dilakukan karena nelayan tersebut tidak mengindahkan peringatan dari Polhut. Ketika Polhut melepas tembakan, Husain dianggap tidak menyadarinya.

Edy Kurniawan, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menyatakan adanya kesalahan prosedur dalam kasus penembakan tersebut meskipun misalnya Husain melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan.

Menurut Edy, penggunaan senjata api dalam kasus ini telah menyalahi prosedur yang berujung pada pelanggaran HAM berupa hak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan sebagaimana telah ditegaskan dalam Protokol VII Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tanggal 27 Agustus-2 September 1990 tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum.

“Penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir jika upaya non kekerasan dan sarana-sarana lain tidak efektif. Namun, perlu diperhatikan bahwa penggunaan senjata api dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Misalnya, petugas telah memperkenalkan identitasnya selaku aparat, memperingati pelaku dan melepaskan tembakan peringatan ke udara, namun pelaku tidak mengindahkan dan tetap mengancam keselamatan jiwa petugas dan ketertiban umum,” jelas Edy.

Edy juga menyayangkan pelaku penembakan justru melarikan diri yang dianggapnya telah menyalahi aturan yang ada.

“Menurut aturan yang berlaku, semestinya pelaku secepat mungkin memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan medis kepada korban serta secepat mungkin memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban.”

Atas kejadian ini LBH Makassar mendesak Polres Selayar untuk segera menangkap pelaku penembakan agar tidak menimbulkan keresahan dan ketakutan dalam masyarakat.

“Selain merupakan pelanggaran HAM, kejadian ini merupakan pelanggaran pidana dan harus diproses di peradilan umum sesuai ketentuan dalam Pasal 170 Ayat (2) KUHP.”

Dalam pasal ini disebutkan bahwa barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh atau Pasal 354 Ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

Terkait pelaku yang hingga saat ini belum ditangkap, Edy menilai Polres Selayar sangat lamban dan tidak serius menangani kasus ini, serta telah melakukan proses pembiaran.

“Sejauh ini LBH Makassar sudah melakukan komunikasi secara intens dengan keluarga korban. Untuk itu, dalam proses kasus ini akan kami kawal untuk memastikan penegakan hukum yang transparan dan adil khususnya bagi korban dan keluarganya.”

 Menurut Suharjo, kekerasan yang dilakukan pihak Polhut terhadap nelayan sebenarnya bukan hal yang baru. Nelayan yang dituduh melakukan destructive fishing seperti bom dan bius ikan diperlakukan sangat tidak manusiawi ketika tertangkap.

“Keluarga saya pernah ditangkap dihantam dengan laras senjata. Mulutnya dijejali ikan hidup. Kejadian ini melahirkan dendam hingga sekarang,” katanya.

Pulau Rajuni sebagai salah satu pulau di Kawasan TN Takabonerate hingga kini masih marak terjadi destructive fishing. Kerap terjadi konflik antara nelayan dan petugas patroli TN Takabonerate. Foto: Wahyu Chandra
Pulau Rajuni sebagai salah satu pulau di Kawasan TN Takabonerate hingga kini masih marak terjadi destructive fishing. Kerap terjadi konflik antara nelayan dan petugas patroli TN Takabonerate. Foto: Wahyu Chandra

Maraknya aktivitas pemboman dan pembiusan ikan

Pulau Rajuni sendiri selama ini dikenal sebagai salah satu tempat dimana aktivitas destructive fishing masih marak. Dalam kunjungan Mongabay ke pulau ini pada September 2015 silam diperoleh informasi tentang aktivitas ini yang sulit diatasi di sekitar kawasan ini.

“Pelakunya hampir tak pernah tertangkap, karena mereka punya mata-mata. Kalau tahu akan ada patroli dari Polhut, mereka pintar tak melaut,” ungkap Ansar, salah seorang warga setempat.

Menurut Arni Rohmitun, aktivis Destructive Fishing Watch (DFW), aktivitas pengeboman ikan di kawasan tersebut memang masih terus berlangsung, meski operasi penangkapan sebenarnya sering dilakukan. Pelakunya tidak hanya warga di sekitar pulau setempat, tapi juga dari nelayan-nelayan pulau lain dan dari luar.

“Mungkin karena tuntutan ekonomi ditambah adanya pihak yang memodali dan siapkan peralatan dan bahannya,” tambahnya.

Menurut Suharjo, pihaknya akan terus menuntut kasus penembakan ini melalui jalur hukum agar public tahu carut marut aktivitas destructive fishing di daerah tersebut.

“Ada banyak masalah di sini kenapa pemboman dan pembiusan ini terus terjadi. Ini harus dibongkar apa di balik semua ini,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,