Film Dokumenter Lingkungan Hidup Masih Sepi Peminat. Benarkah?

Film dokumenter merupakan film yang menggambarkan kehidupan nyata. Baik manusia, hewan, maupun peristiwa yang terkait manusia dan lingkungannya. Perkembangan ilmu dan teknologi perfilman yang pesat dan mudah diakses, memberikan harapan akan banyak film dokumenter lingkungan hidup yang muncul mengenai alam Indonesia, yang salah satunya dari Sumatera Selatan. Benarkah seperti itu?

Ternyata, asumsi tersebut belum terlihat, meski Sumatera Selatan merupakan satu dari sekian banyak daerah di Indonesia maupun dunia yang menghadapi berbagai persoalan lingkungan hidup. Mulai dari deforestasi, hingga kebakaran hutan dan lahan gambut.

“Harus diakui film-film dokumenter tentang lingkungan hidup di Sumatera Selatan sangat minim, padahal di sini banyak komunitas film. Begitu pun banyak jurnalis televisi,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah, mewakili TRG (Tim Restorasi Gambut) Sumsel, saat membuka Workshop Film Dokumenter yang digelar Mongabay Indonesia, INFIS (Indonesia Nature Film Society), yang didukung Tim Restorasi Gambut Sumsel di Le Café Talang Tuwo, Palembang, akhir November 2016.

Kenapa? “Mungkin karena pemahaman kami tentang lingkungan hidup yang lemah, sehingga kami kekurangan ide terkait persoalan tersebut,” kata Muhammad Fajar Satria, sineas muda dari Universitas Sriwijaya, di sela workshop.

“Selama ini, kami memahami lingkungan hidup hanya terkait persoalan, seperti kebakaran, banjir, yang sudah banyak diberitakan media massa. Rasanya, tidak menarik lagi kalau hanya persoalan tersebut yang diangkat,” lanjut Fajar.

Baca: Tukirin “King of Krakatoa” Partomihardjo yang Membanggakan Indonesia

“Setelah melihat film King of Krakatoa dan sejumlah film dokumenter lingkungan, permasalahan lingkungan bukan hanya menampilkan sisi negatif saja. Banyak hal positif yang dapat dijadikan ide cerita,” katanya.

Anak Krakatau, yang tampak dua tahun dari awal terbentuknya. Foto: diambil 12 atau 13 Mei 1929. Foto: koleksi Tropenmuseum.
Anak Krakatau, yang tampak dua tahun dari awal terbentuknya. Foto: diambil 12 atau 13 Mei 1929. Foto: koleksi Tropenmuseum.

Paham

Een Irawan Putra dari INFIS, menjelaskan jika persoalan lingkungan hidup tidak melulu mengangkat tema negatif. Seperti deforestasi, kebakaran, banjir, juga hal-hal positif terkait lingkungan hidup. “Misalnya, soal hutan yang masih terjaga, sosok manusia yang peduli dengan lingkungan hidup atau arif terhadap alam. Banyak hal bisa diangkat, pun di Sumatera Selatan.”

Een menjelaskan, sineas yang baik, bukan hanya memiliki kemampuan teknik membuat film, “Dia juga harus memahami konten secara luas dan mendalam. Selain harus banyak membaca, juga harus banyak berdiskusi, termasuk melakukan riset yang mendalam tentang apa yang akan difilmkan. Konten itu number one,” katanya.

Bongkahan batu koral besar di dekat pantai Anyer yang terdampar akibat dorongan gelombang besar letusan Krakatau 1883. Foto: koleksi Tropenmuseum
Bongkahan batu koral besar di dekat pantai Anyer yang terdampar akibat dorongan gelombang besar letusan Krakatau 1883. Foto: koleksi Tropenmuseum

Hal serupa yang disampaikan Yenrizal Tarmizi. “Kita punya Taman Nasional Sembilang yang merupakan taman hutan gambut dan pesisir yang masih terjaga. Meskipun, ada ancaman di sana. Ada Pulau Maspari tempat penyu sisik hidup.

Ada juga Suaka Margasatwa Sebokor Padang Sugihan, tempat gajah-gajah sumatera hidup dan sekolah. Termasuk, keindahan hutan dan peninggalan sejarah peradaban masa lalu di Lahat, Pagaralam, dan lainnya.

“Pemerintah Sumsel, khususnya TRG Sumsel, sangat mendukung lahirnya film-film dokumenter lingkungan hidup yang menjelaskan hal positif tersebut,” ujarnya.

Syafrul Yunardy dari Forum DAS (Daerah Aliran Sungai) Sumsel juga menjelaskan, banyak individu atau tokoh yang secara diam-diam bekerja melindungi dan mengatasi lingkungan hidup. Misalnya yang mengatasi persoalan sampah rumah tangga atau limbah di aliran sungai. “Tokoh-tokoh ini menarik untuk dijadikan film dokumenter, sehingga menjadi inspirasi bagi masyarakat luas.”

Arang kayu yang diduga terbentuk akibat erupsi 1883. Hingga sekarang, kita masih bisa menemukan bukti sejarah sangat berharga ini di Pulau Rakata. Foto: Rahmadi Rahmad
Arang kayu yang diduga terbentuk akibat erupsi 1883. Hingga sekarang, kita masih bisa menemukan bukti sejarah sangat berharga ini di Pulau Rakata. Foto: Rahmadi Rahmad

Krakatau tidak menyeramkan

Film King of Krakatoa mendapat apresiasi dari sejumlah pegiat lingkungan hidup dan jurnalis televisi di Palembang. “Film yang bagus sekali. Selain berisi pendidikan, juga tidak menjemukan. Plotnya tidak datar, ada unsur kemanusiaan dari seorang peneliti sekaligus pejuang lingkungan hidup bernama Tukirin Partomihardjo,” kata Nyimas Wardah dari GIZ Bioclime.

“Saya kenal Pak Tukirin. Dia guru saya mengenai botani. Dia dan apa yang digambarkan di film itu sama. Sosok berilmu yang rendah hati.”

Heri, jurnalis televisi mengatakan, baru kali ini dia melihat film dokumenter karya orang Indonesia yang menyentuh hati dan pikiran. Teks besar soal Gunung Krakatau digambarkan sederhana, mendalam, namun memberikan kesan cinta dan sayang pada gunung tersebut. Padahal, jika kita mendengar nama Krakatau, yang terngiang selalu bencana alam. Intinya film ini tidak menggambarkan Krakatau yang menyeramkan,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,