Ketika Kemarau Panjang Gersangkan Lahan Tani Wasur

Suyati, tampak sibuk menyiapkan segala sesuatu di warung gado-gado yang berada di teras rumah. Hanya dari dua papan dengan bagian atas tertata keperluan jualan. Ada air, mentimun, kacang, dan nasi terbungkus plastik berwarna putih. Bayam rebus, kerupuk, garam, cabai dan kacang tanah goreng. Ia terletak di Jl. Raya Trans Papua, Merauke Wasur II, Kelurahan Rimba Jaya.

Dulu,  Suyati bertani padi. Sejak suami meninggal dunia, sawah terhenti. Dia kesulitan mengelola lahan terlebih kala kekeringan seperti ini. Sawah dia biarkan kering kerontang, tak terurus.

Jualan tak satu-satunya sumber pencarian perempuan 45 tahun ini. Biasa,  Suyati mencuci pakaian, sampai menjadi pekerja rumah tangga di Merauke.  “Kemarau seperti ini segala pekerjaan bisa dilakoni,” katanya.

Sebenarnya, sawah itu juga hanya sewaan dari pemilik tanah,  orang asli Marind. Penduduk Wasur II bertani tetapi hanya menumpang di lahan orang lain.  Warga Wasur II banyak transmigrasi dengan penempatan di berbagai distrik, penduduk sekitar 23.487 keluarga atau 500.813 jiwa.

Penduduk Wasur II banyak dari bertani, mencari jalan lain seperti jadi tukang di Kota Merauke. Kondisi tanah kalau kemarau pecah-pecah seperti di Kampung Muting Afasera, Semangga, Sota, Bupul, Jagebob, Mimi, Salor dan Kurik.

“Kami pindah ke Merauke karena tak ada kehidupan disana. Saat seperti ini, kekeringan, selain jarak sangat jauh, kendaraan sulit menjangkau pasar. Akhirnya kami pindah dari Wasur II dekat Kota Merauke,” katanya.

Panuu,  warga asal Jawa merantau ke Wasur II untuk mengadu nasib. Dia sudah menetap di sini sekitar 15-an tahunan.

Warga Wasur, katanya, banyak tanam padi (sawah) tetapi kini mereka mengalami kekeringan sejak Januari 2016. Hujan pernah turun Februari,  setelah itu kering lagi.

Kala hutan, warga menanam padi musim tanam pertama. Drainase, waktu itu penuh air hujan hingga bendali dan sawah terairi.

Pada Maret, air mulai surut walau masih ada stok air hingga sekarang. Masih ada sawah dengan padi menguning alias hampir panen. Perediaan air dari Rawa Kawe masih ada, walau terletak jauh dari Kampung Wasur.

“Air dibendung supaya air rawa jangan mengalir ke Kali Maro hingga ada stok air,” katanya.

Lahan pertanian di Wasur II, sebagian sudah kering kerontang meskipun ada beberapa lahan masih tanam dengan pasokan air terbatas. Foto: Agapitus Batbual
Lahan pertanian di Wasur II, sebagian sudah kering kerontang meskipun ada beberapa lahan masih tanam dengan pasokan air terbatas. Foto: Agapitus Batbual

Panuu menceritakan, di Wasur II,  tak ada sumur hingga warga mengandalkan air parit yang juga untuk mengairi sawah.

Mereka harus merogoh kocek untuk memperoleh air bersih per tangki Rp250.000. Biasa mereka menggali tanah ukuran 2 x 2 meter, diberi papan penghalang dan memasang terpal lalu dituangi air bersih.

“Bisa dipakai sebulan bila anggota keluarga banyak ,” katanya.

Sukitno, Kepala Kelurahan Rimba Jaya mengatakan, kekeringan biasa terjadi di Wasur II. Sekarang, katanya, Pemda Merauke, Papua dan kementerian berencana membuat progam cetak sawah baru seluas 400 hektar. Dia mengapresiasi asal ada pengairan dan sarana pendukung.

Saat ini, katanya, instansi terkait seperti, Dinas Pekerjaan Umum Bagian Pengairan perlu memikirkan persediaan air mengingat lahan di Merauke tanah endapan dan sawah tadah hujan.

Alangkah baik, katanya, memperbanyak kolam atau embung untuk menampung air.  “Pintu air harus dijaga petugas. Jangan ada pembiaran saja air hujan menguap percuma. Saat air turun hujan, petugas membendung air hujan agar jangan masuk air laut.”

Sungai Maro, kalau kemarau, air asin karena bercampur dari laut. Wilayah ini diapit Laut Arafura dan Kali Maro.

Dia meminta, instansi terkait mengevaluasi program sawah selalu kekeringan. Sebagai Lurah Rimba Jaya, dia pernah mengusulkan melalui Musrenbang  di segala tingkatan. “Tetapi percuma.”

Menurut dia, drainase, embung atau bendali ataupun waduk sudah ada. “Tetapi siapa yang mengatur aliran air bersih untuk warga? Tampungan air bersih tak ada. Kalaupun ada, air itu bertahan beberapa saat ketika panas langsung kering. Saat musim gadu, seperti ini petani kewalahan. Berbagai pintu air tolong dijaga. Kalau tak ada yang jaga, sama saja menabur garam ke laut.”

Di Kampung Rimba Jaya, katanya, pupuk tersedia, bibit ada, tetapi air tak ada. “Percuma saja.”

Sukitno sadar, kerja Pemda Merauke, Papua dan Pusat tak mudah mengatasi kondisi ini. “Tak seperti membalik telapak tangan,  tapi tolong dipikirkan,” katanya.

Untuk cetak sawah baru, katanya, penting tetapi tak kalah penting pasokan air. Apalagi, katanya, kondisi Merauke, sekali hujan tumpah air dari langit langsung meresap.  Kala kekeringan, tanah-tanah di Wasur, pecah-pecah cukup lebar, ada yang sampai sepanjang lima kali kaki orang dewasa.

Persediaan air tawar warga di bendali yang ada pada tiap rukun tetangga. Foto: Agapitus Batbual
Persediaan air tawar warga di bendali yang ada pada tiap rukun tetangga. Foto: Agapitus Batbual

Sugeng Widarko, Kepala BMKG Merauke mengatakan, Merauke masih kemarau walaupun Indonesia lain sampai banjir dan longsor. Statistik Juli-November, kemarau, masuk El-Nino lemah.

Awal Desember,  mulai masuk penghujan hingga Januari 2017. Pada Desember ini, Merauke baru beberapa kali hujan.

Beatrix Rahawrin, Direktur Politeknik Yasanto mengatakan, Merauke membutuhkan air banyak.  Air untuk irigasi sawah akan sulit kecuali, katanya, memperhatikan waktu tanam.  Bila mulai hujan, warga Merauke,  segera tanam. “Cuaca seperti ini tak menjamin,” katanya.

Petani Merauke, katanya, tergantung air curah hujan. Jadi, harus ada sistem pengaturan air. Kala kemaraupun, petani bisa menanam palawija seperti sorgum, jagung, kacang-kacangan, ketela pohon, petatas, umbi-umbian lain atau sagu.

Kondisi tambah parah kala pohon-pohon terbabat tak hanya buat lahan pertanian juga perkebunan skala besar seperti sawit. Tak pelak, penahan air hilang.

Untuk itu, dia mengusulkan selain menggalakkan pertanian warga, perlu juga penanaman pohon berjejer di beting pari. Fungsinya, bila sawah panen, masih ada pohon dan tanaman palawija.

Beatrix Rahawarin, Direktur Politeknik Yasanto. Kondisi tanah di Merauke umumnya tanah endapan. Karena itu, cocok untuk pertanian. berbeda dengan tanah bergunung. Foto: Agapitus Batbual
Beatrix Rahawarin, Direktur Politeknik Yasanto. Kondisi tanah di Merauke umumnya tanah endapan. Karena itu, cocok untuk pertanian. berbeda dengan tanah bergunung. Foto: Agapitus Batbual
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,