Begini Daya Rusak Korupsi Sumber Daya Alam, Bagaimana Penanganan KPK?

Dua tahun sudah perjalanan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-SDA) yang dideklarasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama kementerian dan lembaga pusat dan daerah. Pada 9 Juni 2014 di Ternate, Maluku Utara, penandatanganan piagam deklarasi oleh Ketua KPK, Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung.  Bagaimana perkembangannya?

Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera menilai implementasi GNP-SDA penting untuk kampanye pendidikan budaya anti-korupsi, pengumpulan data dan penertiban administratif perizinan serta perbaikan sistem dan mekanisme kebijakan.

“Sisi lain, masih lemah dalam penegakan hukum, keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam sistem tata kelola sektor sumber daya alam,” kata M. Nasir dari Walhi Aceh mewakili koalisi dalam diskusi di Jakarta, akhir bulan lalu.

Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat,  kerugian negara sektor non pajak kawasan hutan mencapai Rp.169,791 triliun selama 2004 -2007. Catatan KPK Bidang Pencegahan, kerugian negara akibat korupsi sektor SDA seperti kehutanan dan pertambangan bisa 500 kali lipat dari jumlah yang dikorupsi.

Dampak praktik korupsi penyalahgunaan wewenang perizinan dan alih fungsi lahan, Forest Watch Indonesia mencatat selama 2009-2013, sebanyak 1,5 juta hektar hutan Sumatera atau 382.000 hektar pertahun mengalami deforestasi, terluas di Riau sekitar 687.000 hektar, disusul Jambi 225.000 hektar dan Sumatera Selatan 164.000 hektar.

“Luas lahan sawit dikelola masyarakat tak berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat,” katanya.

Kerusakan hutan dan lahan di Sumatera juga dampak izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan hutan. Data Korsup KPK per Oktober 2016 mencatat dari 34,7 juta hektar IUP, 22,9 juta di kawasan hutan. Lima juta hektar di hutan lindung dan hutan konservasi, semestinya bebas pertambangan.

Di Sumatera Barat, kata Nasir, terdapat 153, dari 278 total izin, belum clean and clear (CnC). Di Bengkulu ada 5.960,3 hektar wilayah pertambangan masuk hutan konservasi.

Deforestasi hutan di Sumatera, katanya,  juga menyebabkan banyak bencana seperti banjir, longsor dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Ironisnya, penerbitan izin tak berperan signifikan dalam penerimaan pendapatan negara. “Di Sumatera Utara, tahun 2015 dari 38 pemegang IUP hanya 12 bayar PNBP,” katanya.

Dari fakta ini, jelas menimbulkan konflik baik antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan atau pemerintah dengan perusahaan.

Data Walhi Sumsel 2013,  mencatat 35 konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan dan tambang. “Sekitar 70 petani, aktivis dan masyarakat lokal dikriminalisasi karena mempertahankan lahan dan lingkungan hidup.”

Di Riau, 97.239 orang menderita penyakit pernapasan dan iritasi serta enam meninggal karena asap karhutla. Di Aceh, selama 2011-2015, ada 168 banjir, dan 2016 lebih 30 banjir.

Dari data-data ini, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera menyoroti kebijakan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) dinilai menimbulkan masalah baru. “PTSP harus dicermati lagi, apakah berimplikasi positif untuk lingkungan atau justru hanya mempermudah investasi dan menambah masalah baru?”

Mengenai kinerja penegakan hukum atas kasus korupsi, Koalisi menyayangkan belum ada korporasi kena pidana walaupun keterlibatan jelas dalam beberapa persidangan. Dari tujuh kasus korupsi kehutanan ditangani KPK di Sumatera, sebagian besar di Riau.

“Laporan kasus yang disampaikan publik banyak tidak ditindaklanjuti karena alasan bukti belum lengkap,” katanya.

Di Kalimantan dan Sulawesi, korupsi sektor SDA terlihat dari hasil rekonsiliasi IUP pertambangan yang dicatat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per November 2016, sebanyak 3.603 dari 10.099 IUP tak CnC.

“Kurang dari 30% IUP non CnC ditindaklanjuti dalam Korsup minerba KPK, 40% total IUP non CnC dari Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara,” kata Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang.

Rupang mengatakan, CnC hanyalah alat pemutihan kejahatan pertambangan. Buktinya, 95% IUP CnC di Kalimantan Barat berada di kawasan hutan tak punya izin  pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

“Dari 26 nyawa anak terenggut di lubang tambang yang dimiliki perusahaan yang punya IUP CnC. Dari 14 IUP CnC di Sulawesi Tengah, empat tidak menempatkan jaminan reklamasi, 10 ada tapi tak reklamasi,” katanya.

Korsup KPK, katanya, masih fokus penataan izin administratif. “Mekanisme penempatan jaminan reklamasi tak transparan dan akuntabel jadi berpotensi disalahgunakan.”

Di Samarinda, ada 232 lubang tambang tak reklamasi. Di Kalimantan Barat 25 dari 201 IUP yang CnC membuka lahan seluas 1602 hektar juga tak reklamasi, sembilan di hutan lindung.

Dia menilai, tak ada keseriusan pemda menangani jaminan reklamasi. Rata-rata hanya 43% dari seluruh kabupaten di tujuh provinsi menindaklanjuti persoalan jaminan reklamasi berupa peringatan dan penempatan jamrek baru.

“Akibatnya, korban lubang tambang di Kaltim meningkat dua kali lipat dalam dua tahun terakhir,” ucap Rupang.

Inspektur V Inspektorat Jenderal KESDM, Murdo Gantoro mengatakan,  sorotan utama korsup KPK untuk korupsi sektor tambang dan minerba adalah penataan perizinan dan pemenuhan hak-hak masyarakat.

Temuan lapangan secara umum, katanya, dalam catatan KESDM dalam korsup, 874 IUP dicabut, dikembalikan dan berakhir, 1,37 juta hektar IUP masuk kawasan hutan, 4.93 juta hektar IUP masuk hutan lindung. Tercatat Rp23 triliun piutang perusahaan, 90% perusahaan tak punya jamrek dan 1.087 IUP tak punya nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Annas Maamun, Gubernur Riau non aktif, yang menjadi terdakwa suap alihfungsi kawasan hutan divonis enam tahun penjara dan denda Rp200 juta. Hanya dua dakwaan terbukti, menurut majelis hakim. Foto: Lovina
Annas Maamun, Gubernur Riau non aktif, yang menjadi terdakwa suap alihfungsi kawasan hutan divonis enam tahun penjara dan denda Rp200 juta. Hanya dua dakwaan terbukti, menurut majelis hakim. Kasus yang terkait perusahaan lolos, perusahaan pun lagi-lagi selamat.  Foto: Lovina

Ketimpangan agraria

Albert Nego Tarigan dari Kantor Staf Presiden  mengatakan, korupsi SDA dan lingkungan hidup tak bisa dipisahkan dari ketimpangan agraria dan krisis sosio ekologi. Lebih 186.658 kawasan hutan merupakan perkampungan penduduk,  531 konsesi besar menguasai 35,8 juta hektar. Ada 31.951 desa di kawasan hutan tanpa batas jelas.

“Ada 56% rumah tangga petani hanya punya lahan kurang setengah hektar. Privatisasi air meluas, pasar benih didominasi perusahaan multinasional dan pasar  domestik dikuasai kartel,” katanya.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2015 manyatakan setiap dua hari, terjadi satu konflik agraria selama 2004-2015 atau ada 1.772 konflik seluas 6,9 juta hektar melibatkan 1,1 juta rumah tangga.

Dari sisi sosio ekologi, terjadi krisis pangan , energi, dan air di mana masih ada penduduk yang menerima bantuan beras, masih ada desa tak berlistrik, ribuan desa berstatus rawan air dan kering, serta deforestasi hutan terus meningkat.

Kondisi ini, katanya, karena dukungan pemerintah dalam inventarisasi dan verifikasi klaim kawasan hutan. “Meskipun ada peningkatan, kawasan hutan masyarakat atau adat yang berhasil dipetakan masih kecil dibanding klaim.”

Dalam akses SDA, masih ada kesenjangan akses antara petani dengan perusahaan besar. “Masyarakat terbatas masuk dalam sektor kehutanan. Kalaupuan ada konflik tenurial yang diselesaikan tidak dilembagakan,” katanya.

Berbicara soal kapasitas penegakan hukum, belum ada unit penanganan pengaduan dengan standar operasi dan personil lengkap di tingkat daerah.

“Tahun ini ada 70 kasus yang dilaporkan ke KSP, setelah kita telaah sebenarnya itu bisa diselesaikan di pemda. Saya belum pernah melihat walikota atau bupati datang ke Jakarta mendampingi pengaduan warga,” kata Nego.

Selain itu, sertifikasi polisi, penyidik, penuntuk penanganan kasus lingkungan dan kehutanan belum formal, disamping monitoring belum konsisten dan evaluasi izin serta pengawas dan petugas tak ideal.

“Evaluasi baru dilakukan kalau kasus mencuat, jadi masyarakat berlomba-lomba memunculkan kasus. PPNS satu provinsi ada yang satu orang. Satu polisi hutan untuk 1000 hektar, sementara industri sedang gencar.”

Mengenai transparansi pengelolaan SDA, selain rencana aksi mencegah korupsi SDA kurang, terutama di daerah, biaya ekonomi tinggi untuk pembangunan infastruktur mau tak mau mengorbankan lingkungan.

“Yang dikorbankan pertama lingkungan, kedua buruh.”

Untuk itu, kata Nego, perlu kebijakan untuk menginventarisasi klaim masyarakat di kawasan hutan. “Kepala daerah harus punya kebijakan ini dan mengikuti instruksi Presiden moratorium izin baru diikuti tata kelola hutan. PPNS, polhut dan inspektur pengawas juga harus ditambah.”

Koordinator Tim SDA Direktorat Litbang KPK, Dian Patria menyadari, dua tahun perjalanan korsup KPK sektor SDA ini sebagai pembelajaran yang masih menyisakan banyak tantangan. Akumulasi permasalahan menumpuk, mulai adminitratif hingga konflik fisik, katanya, menimbulkan banyak korban dan memperlebar kesenjangan.

“Waktu kita makin singkat.”

Laporkan 20 Perusahaan ke KPK

Perusahaan di Palalawan:

PT Selaras Abadi Utama
PT Merbau Pelalawan Lestari
PT Mitra Tani Nusa Sejati
PT Uniseraya
PT Rimba Mutiara Permai
PT Satria Perkasa Agung
PT Mitra Hutani jaya
PT Triomas FDI
PT Madukoro
CV Alam Lestari
CV Tuah Negeri
CV Harapan Jaya
CV Bhakti Praja Mulia
CV Mutiara Lestari.

Perusahaan di Kabupaten Siak:
PT Bina Daya Bintara
PT Seraya Sumber Lestari
PT Balai Kayang Mandiri
PT Rimba Mandau Lestari
PT National Timber and Forest Product

Sumber: Yayasan Auriga

Koalisi laporkan 20 perusahaan ke KPK

Sebagai wujud desakan agar KPK menyasar penegakan hukum terhadap korporasi, awal Desember, Koalisi Anti Mafia Hutan kembali melaporkan 20 perusahaan kepada KPK.

Pelaporan ini karena ke-20 perusahaan diduga terlibat korupsi perizinan kehutanan melibatkan Mantan Bupati Pelalawan Azman Jaafar, mantan Bupati Siak Arwin AS, tiga Kepala Dinas Kehutanan (Asral Rachman, Syuhada Tasman dan Burhanuddin Husin). Serta mantan Gubernur Riau Rusli Zainal. Semua sudah diputus bersalah oleh. Dalam peridangan beberapa waktu lalu, ke-20 perusahaan disebut-sebut  ikut terlibat.

“Kami melihat pasca putusan PT MPL di Mahkamah Agung, makin menguatkan izin-izin yang ada itu illegal,” kata aktivis Yayasan Auriga Azizah Amalia ditemui Mongabay.  Ke-20 perusahaan itu, 15 di Kabupaten Pelalawan dan lima di Siak.

Sebelumnya, September 2014, Koalisi sudah melaporkan ke-20 perusahaan kepada KPK tetapi ditolak dengan alasan tak jelas.

“Selama ini KPK memang belum menindak korporasi dengan alasan belum ada dasar hukum dan lain-lain,” katanya.

Koalisi, katanya, menilai penting untuk pertanggungjawaban 20 korporasi ini terkait besaran kerugian negara akibat aktivitas mereka. “Sampai hari ini 20 perusahaan itu masih beroperasi.”

Selama 2002 -2006, ke-20 perusahaan mendapatkan izin HTI oleh Bupati Pelalan dan Siak waktu itu. Kemudian mendapatkan pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) oleh Gubernur Riau.

Azizah memandang, sebenarnya UU Tipikor memberikan ruang pertanggungjawaban terhadap korporasi. Selama ini, Kejaksaan mampu menindak korporasi.

“KPK seharusnya lebih ada di depan mengejar pertanggungjawaban korporasi terutama kasus SDA dan lingkungan hidup. Kejaksaan saja sudah berani keluarkan aturan menindak korporasi. KPK seharusnya berani keluarkan peraturan sama.”

Okto Yugo Setio, Manajer Kampanye dan Advokasi Jikalahari mengatakan, kasus ini sebenarnya sudah lama dan terang benderang. Putusan pengadilan juga sudah ada dan menyebut keterlibatan ke-20 perusahaan ini.

“Harusnya segera ditindak. Putusan pengadilan juga sebenarnya jelas perusahaan-perusahaan ini terbukti menyuap. Mereka juga menerima keuntungan besar,” ucap Okto.

Tumpukan kayu alam di hamparan areal penebangan hutan alam oleh ekspansi PT. Triomas FDI. Foto ini juga memperlihatkan tegakan hutan alam yang masih alami, hal ini membuktikan sebelumnya areal ini merupakan hutan alam dalam kondisi baik, sehingga kawasan ini berpotensi untuk dilindungi. Foto pada titik koordinat N0°33’43.91″ E102°55’30.64″. Foto: EoF, 21 september 2013.
Tumpukan kayu alam di hamparan areal penebangan hutan alam oleh ekspansi PT. Triomas FDI. Foto ini juga memperlihatkan tegakan hutan alam yang masih alami, hal ini membuktikan sebelumnya areal ini merupakan hutan alam dalam kondisi baik, sehingga kawasan ini berpotensi untuk dilindungi. Foto pada titik koordinat N0°33’43.91″ E102°55’30.64″. Foto: EoF, 21 september 2013.
Kebun pembibitan yang berdampingan dengan lokasi tanam di konsesi perusahaan sawit di OKI, Sumsel. Lucu, izin pelepasan kawasan untuk tebu, di lapangan jadi kebun sawit. Kok izin-izin bisa lolos, ada apa? Apakah ini bukan bagian dari korupsi perizinan? Foto: Humas KLHK
Kebun pembibitan yang berdampingan dengan lokasi tanam di konsesi perusahaan sawit di OKI, Sumsel. Lucu, izin pelepasan kawasan untuk tebu, di lapangan jadi kebun sawit. Kok izin-izin bisa lolos, ada apa? Apakah ini bukan bagian dari korupsi perizinan? Foto: Humas KLHK
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,