Gempa Itu Meninggalkan Rasa Takut di Tenda Pengungsi

Aceh berduka. Gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter pukul 05.03 WIB, 7 Desember 2016 itu, merenggut nyawa masyarakat yang tengah tidur. Titik gempa berada pada 5,25 LU dan 96,24 BT tepatnya di 18 kilometer Timur Laut Kabupaten Pidie Jaya, dengan kedalaman 15 kilometer.

Hingga 13 Desember 2016, dilaporkan 102 orang meninggal dunia. Rinciannya, di Kabupaten Bireuen (2), Kabupaten Pidie (3), Kabupaten Pidie Jaya (97). Semua warga yang menghembuskan nafas terakhir itu, tertimpa reruntuhan bangunan atau rumah mereka. Gempa juga melukai 666 masyarakat di tiga kabupaten tersebut, 532 luka ringan dan 134 luka berat.

Kabupaten Pidie Jaya tercatat sebagai wilayah yang penduduknya banyak menjadi korban gempa, 97 jiwa. Foto: Junaidi Hanafiah
Kabupaten Pidie Jaya tercatat sebagai wilayah yang penduduknya banyak menjadi korban gempa, 97 jiwa. Foto: Junaidi Hanafiah

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei mengatakan, posko utama penanganan gempa Pidie Jaya telah melakukan pendataan masyarakat yang mengungsi. Data sementara, pengungsi yang tersebar di Pidie Jaya sebanyak 82.122 orang di 120 titik, dan di Bireun sekitar 1.716 orang di empat titik. “Pendataan rumah juga dilakukan agar diketahui perhitungan kerugian menyeluruh.”

Baca: Seputaran Gempa 6,5 SR Guncang Aceh, Begini Penjelasannya

Sementara, berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), kerusakan bagunan di tiga kabupaten tersebut adalah 11.668 unit rumah rusak, masjid (61 unit), meunasah (94 unit), ruko (161 unit), kantor pemerintahan (10 unit), dan fasilitas pendidikan (16 unit).

Jalan berlubang di Pidie Jaya ini akibat gempa yang mengguncang wilayah tersebut pada 7 Desember 2016. Foto: Junaidi Hanafiah
Jalan berlubang di Pidie Jaya ini akibat gempa yang mengguncang wilayah tersebut pada 7 Desember 2016. Foto: Junaidi Hanafiah

Tenda pengungsi

Di sejumlah titik pengungsian, korban gempa tinggal di tenda darurat yang terbuat dari plastik, beralas tikar. Mereka berharap, secepatnya bisa meninggalkan tempat pengungsian dan kembali ke rumah. “Hidup di pengungsian jauh berbeda dengan di rumah. Kami ingin secepatnya kembali, terutama masalah kesehatan anak-anak, jangan sampai terganggu,” tutur Hamdani, pengungsi di Trieng Gadeng, Pidie Jaya.

Hamdani mengatakan, dua anaknya mulai lemah karena terkena angin malam. Tempat pengungsian berupa bangunan mesjid yang tidak berdinding membuat angin kencang terus menerpa. “Anak pertama saya yang berumur tujuh tahun, telah dipindahkan sementara ke rumah keluarga di Kota Banda Aceh. Sementara dua anak saya lagi, belum bisa tinggal dengan orang lain karena masih kecil. Saya berharap bisa segera pindah dari tempat pengungsian. Saya sedang mencari cara membangun rumah kecil dari kayu, dekat rumah saya yang hancur.”

Mesjid di Pidie Jaya yang rusak akibat gempa 6,5 SR. Foto: Junaidi Hanafiah
Mesjid di Pidie Jaya yang rusak akibat gempa 6,5 SR. Foto: Junaidi Hanafiah

Muhammad Rasyid, pengungsi asal Kecamatan Paru, Pidie Jaya, mengatakan hal yang sama. Dirinya telah dua kali menjadi pengungsi karena rumahnya hancur. Bersama keluarga, ia kini tinggal di pinggir pantai. “Dulu, saat gempa dan tsunami hebat melanda Aceh pada 26 Desember 2004, rumah saya hancur. Gempa ini juga menghancurkan kembali rumah saya, yang membuat kami sekeluarga mengungsi.”

Rasyid menuturkan, saat bertemu pengungsi di Pidie Jaya, Presiden Indonesia, Joko Widodo berjanji, memberikan bantuan Rp40 juta untuk warga yang rumahnya rusak berat. Untuk yang rusak ringan, pemerintah akan membantu Rp20 juta untuk memperbaiki rumah tersebut.

“Saya tidak tahu kapan bantuan tersebut diberikan. Saya berharap, bisa diberikan segera sehingga kami dapat kembali membangun rumah dan meninggalkan tenda ini,” ujar Rasyid yang bekerja sebagai nelayan.

Teungku Munawar, pengungsi di Meureudu, Pidie Jaya mengatakan, rumahnya hanya rusak ringan, dan beberapa ruangan masih bisa ditempati. Namun, ia ikut mengungsi bersama keluarganya karena takut adanya gempa susulan. “Hingga saat ini, gempa susulan masih terjadi di Pidie Jaya dan banyak warga yang berlari menjauhi bangunan. Saat gempa terjadi, ketakutan terlihat di wajah kami,” ujarnya.

Menggambar untuk menghilangkan trauma akibat gempa dilakukan anak-anak di Pidie Jaya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Menggambar untuk menghilangkan trauma akibat gempa dilakukan anak-anak di Pidie Jaya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Penyakit

Selama enam hari tinggal di pengungsian, warga perlahan mulai mendatangi tempat-tempat kesehatan. Mereka mengeluh gatal-gatal dan diare, penyakit yang umumnya mulai diderita anak-anak.

Berdasarkan keterangan dokter yang bertugas di tenda kesehatan yang dibangun Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, di Kecamatan Trieng Gadeng, para pengungsi mulai membawa anak-anak mereka ke pos kesehatan. Rata-rata mengalami gatal-gatal dan diare.

“Anak-anak yang menderita gatal-gatal dan diere. Pengungsi dewasa mengeluh batuk, gatal-gatal, diare dan anemia. Mereka terserang penyakit karena tidak terbiasa tinggal di pengungsian,” sebut dr. Vani.

Kerusakan dampak gempa 6.5 SR di Pidie Jaya. Evakuasi terus dilakukan. Foto: Twitter Sutopo P Nugroho, BNPB
Kerusakan dampak gempa 6.5 SR di Pidie Jaya. Evakuasi terus dilakukan. Foto: Twitter Sutopo P Nugroho, BNPB

Vani mengatakan, untuk orang dewasa, selain penyakit di atas mereka juga menderita penyakit lain akibat kurang istirahat. “Mereka mengaku susah beristirahat karena sangat ramai dan ribut.”

Pusat kesehatan yang didirikan oleh Polisi Daerah Aceh di Kecamatan Trieng Gadeng juga menunjukkan hal serupa. Dari data yang dicatat tim kesehatan, jumlah pengungsi yang berobat karena menderita penyakit setelah tinggal di tempat pengungsian jumlahnya mencapai 1.200 orang. Para pengungsi ini rata-rata mengalami gatal-gatal, diare, dan kurang darah karena istirahat yang tidak cukup.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,