Opini: Kemana Pengelolaan Lahan Gambut akan Dibawa?

Pemerintah pada tanggal 2 Desember 2016, resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang merupakan pengganti PP Nomor 71 Tahun 2014. Hal penting dalam aturan ini mencakup beberapa hal tentang tidak ada laginya pembukaan di lahan gambut baru, penetapan kriteria fungsi lindung, ketinggian air, sanksi dan pemulihan.

Peraturan-pemerintah-nomor-57-tahun-2016

Disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 pun menguatkan pesan Presiden Joko Widodo tahun lalu untuk mencegah berulangnya kebakaran hutan, serta menghentikan praktik penggunaan lahan (landuse) yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Yang dimaksud disini, merujuk pada praktik tebas bakar yang umum terjadi di lahan gambut.

Berdasarkan data KLHK, kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi hingga Oktober 2015 tahun lalu mencapai 1,7 juta hektar. Secara khusus terjadi di propinsi seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.

Sebagai bagian langkah strategi, Pemerintah pun mengeluarkan target restorasi lahan gambut rusak dan bekas terbakar, yaitu dua juta hektar hingga 2019.

Dengan perhitungan restorasi Rp12 juta per hektar lahan berdasarkan hitungan Badan Restorasi Gambut (BRG), maka dibutuhkan dana mencapai Rp24 triliun dalam lima tahun guna pemulihan gambut.  Wapres Jusuf Kalla, lebih tinggi lagi menyebutkan diperlukan dana 50 triliun untuk restorasi ini.

Namun disisi lain, Pemerintah setidaknya dinyatakan oleh Wapres akhir bulan lalu, enggan menggunakan dana APBN untuk praktik restorasi ini.

Pemerintah lebih memilih menyasar dana investor swasta untuk menanamkan modal untuk “memanen” keuntungan dari hasil dan nilai tukar karbon lahan gambut.

Sedangkan kerjasama swasta-petani diarahkan pada bagi hasil tanaman kehidupan, seperti sagu untuk sumber karbohidrat alternatif.

Pemerintah pun tetap berharap, bantuan negara donor seperti Norwegia, yang telah memberi komitmen hibah dana hingga USD 1 miliar, dalam skema pemulihan hutan dan lahan gambut.

Meskipun peraturan dan iniatif kapitalisasi hijau (green investment) lahan gambut tampak menjanjikan ketimbang ekstraksi sumberdaya alam di masa lalu, penulis beranggapan masih banyak pekerjaan rumah Pemerintah yang harus dilaksanakan agar inisiatif ini berjalan lancar. Mengapa?

Aturan PP ini (lihat pasal 3) jelas memberi penguatan terhadap upaya pengelolaan ekosistem gambut yang berbasis kepada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Dalam aturan ini, KHG didefinisikan pada sebuah ekosistem gambut yang letaknya di antara dua sungai, diantara sungai dan laut dan atau pada rawa.

Lahan gambut yang dibelah oleh saluran drainase di konsesi PT BMH yang tahun lalu terbakar. Foto: Lovina
Lahan gambut yang dibelah oleh saluran drainase di konsesi PT BMH yang tahun lalu terbakar. Foto: Lovina

Permasalahannya, KHG mana (jika tidak seluruhnya) di Indonesia yang bebas dengan penguasaan izin diatasnya? Padahal dalam aturan ini, Menteri akan menetapkan setidaknya 30 persen KHG sebagai kawasan lindung gambut.

Selanjutnya jika pemerintah akan menggandeng swasta untuk menginvestasikan “dana karbon” serta membangun kerjasama bisnis dengan petani, bagaimana desain tapak dan kepastian hukum yang akan disiapkan?

Bagaimana skema hukumnya jika investasi non tanaman hutan dilakukan di atas lahan kawasan hutan negara dalam KHG? Bagaimana nomenklatur jika KHG masuk dalam Area Penggunaan Lain (APL) sekaligus juga berada di dalam Kawasan Hutan Negara (KHN)?

Apakah RTRWP/RTRWK selanjutnya akan mengikuti KHG?

Satu perkecualian kemudahan adalah, apabila blok restorasi terletak di area izin konsesi clear and clean yang memang diperuntukkan untuk restorasi di kawasan hutan produksi yang dimungkinkan seperti IUPHHK-RE (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem). Namun hal ini belum tentu akan menjawab kebutuhan pengelolaan utuh sebuah KHG.

Kita mengamini, berbagai permasalahan ini tidak terlepas dari kealpaan pengelolan selama puluhan tahun, yang tidak pernah melihat gambut sebagai sebuah kesatuan ekosistem.

Sebaliknya, dalam konteks pengelolaan lahan gambut, tujuan penggunaan lahan lebih ditujukan untuk mengejar tingkat keuntungan ekonomi, seperti kayu, mineral maupun perkebunan satu siklus, tanpa mengindahkan daya dukung ekosistem pendukungnya.

Akibatnya yang kita rasakan hari ini, integrasi KHG tidak terjadi, pengelolaan lahan gambut menjadi persoalan.

Gambut dalam di OKI, Sumsel terbakar 2015, malah dibikin kanal-kanal, buat pembibitan dan tanam sawit perusahaan. Inikah yang disebut-sebut pebisnis sudah menjalankan praktik baik? Foto: Humas KLHK
Gambut dalam di Kabupaten OKI, Sumsel terbakar 2015, Saat ini ditanami dengan sawit. Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) seperti tersebut dalam PP Nomor 57 Tahun 2016, berpotensi mengalami benturan dengan izin aktual di atas lahan gambut. Foto: Humas KLHK

Belajar dari Lahan Gambut Eks PLG Kalteng

Berawal sejak tahun 1980-an hutan rawa gambut mulai dieksploitasi secara besar-besaran. Kurang lebih 200 HPH dengan luas konsesi sekitar 13 juta hektar mendapatkan izin pengusahaan untuk menebang berbagai jenis kayu komersial di hutan rawa gambut (Forda, 2013).

Namun, tak lama, sekitar dasawarsa 1990-an produksi kayu alam hutan rawa gambut terus menurun, perusahaan konsesi pun mulai meninggalkan area rawa gambut terlantar baik yang mengalami degradasi ringan hingga berat.

Selain pemberian konsesi kepada privat, lahan gambut pun tak lepas untuk disulap untuk peruntukkan lain.

Contoh klasik adalah kebijakan pemerintah (Kepres 82/1995) tentang Mega Rice Project Proyek Lahan Gambut (PLG) yang lokasinya  tersebar di empat kabupaten di Kalimantan Tengah saat ini.

Hasilnya, seperti diketahui bersama. Inisiatif ini gagal total. Celakanya, dampak akibat model drainase menyebabkan air gambut terkuras keluar. Ekosistem lahan bahan yang dipaksakan menjadi lahan kering, menjadi sumber bencana.

Khusus di wilayah Kalimantan Tengah, bentang lanskap gambut yang berada di antara dua aliran sungai, Katingan dan Kahayan, rusak akibat pembangunan ribuan kilometer kanal (kanal primer, sekunder dan tersier) telah mengubah bentang lahan gambut di kawasan ini.

Kubah gambut dipotong dibuat menjadi kanal primer. Walhasil, saat ini meninggalkan ekosistem yang rawan terhadap kekeringan dan kebakaran.

Di salah satu kabupaten eks PLG terbesar, yaitu Pulang Pisau, dampak kebakaran lahan gambut akibat deforestasi dan degradasi lahan masih terasa.  Terakhir pada 2015, area terbakar total sekitar 500 ribu hektar.

Demikian pula, pengelolaan gambut bakal menjadi masalah sendiri. Bukan saja masuk dalam ranah teknis, tetapi dari dimensi keputusan politis dan sosial.

Dari tinjauan sosiologis, fungsi kanal telah menjadi driven factor terbesar perkembangan wilayah.  Dapat dipastikan, bahwa okupasi lahan terjadi di area-area sekitar kanal yang telah menjadi lahan kering.

Kota, desa, wilayah permukiman transmigrasi terlanjur berada di area gambut.

Tanaman sawit yang ditanam di area Blok C eks PLG Kalteng. Sawit bukan tanaman asli gambut, perakaran tanaman ini akan membusuk dan tidak akan tumbuh sempurna. Foto: Ridzki R Sigit
Bibit tanaman sawit yang mulai tumbuh di area Blok C eks PLG Kalteng. Sawit bukan tanaman asli gambut, perakaran tanaman ini akan membusuk dan tidak akan tumbuh sempurna di lahan gambut, sehingga drainase pengeringan lahan dibutuhkan. Foto: Ridzki R Sigit

Tumpang tindih kawasan menjadi tidak terkendali. Izin di atas izin terjadi. Pun perkebunan kelapa sawit, dapat dijumpai di area lahan gambut di blok C eks PLG.

Kanal-kanal yang dulu dibangun era pembalakan kayu, kemudian menjadi akses ekonomi rakyat, dimana wilayah permukiman dibangun disekitarnya.  Hal ini ditambah dengan dibangunnya akses jalan darat antar propinsi Palangkaraya-Banjarmasin yang melewati Pulang Pisau.

Akibatnya dalam duapuluh tahun, perkembangan permukiman masyarakat pun terjadi di sekitar kanal-kanal tersier dan akses jalan darat.

Di area ini masyarakat lalu menanami karet, bahkan atas dukungan dari Dinas setempat, menanami lahan gambut dengan tanaman yang bukan jenis tanaman asli, sengon hingga akasia.

Klaim kepemilikan di wilayah ini, dapat terjadi dengan hanya menunjukkan eksistensi pemilik dengan adanya petunjuk beberapa tanaman seperti karet, sawit maupun jenis tanaman lain.

Di lapangan tidak jelas lagi dimana batas KHN dengan kawasan APL. Area “tidak bertuan” menjadi daerah open access.

Apakah pemukim bersedia untuk direlokasi?

Karena telah terjadi sebuah keterlanjuran. Ini menjadi pilihan sulit, yang jika dilakukan berpotensi menjadi gesekan dan friksi sosial.

Masyarakat tentunya tidak rela, jika tabat kanal dibangun dan bakal menggenangi lahan yang telah ditanami tanaman kehidupan seperti karet, sawit, nenas dan tanaman jangka pendek lainnya. Biaya sosialnya akan teramat besar.

Secara politis ini pun bukan menjadi pilihan. Apalagi setelah larangan membakar lahan diberlakukan semenjak tahun 2016 yang amat memukul psikologis para petani gambut.

 

Peta Kedalaman Gambut Kawasan Gambut. Sumber: Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks Proyek PLG Kalteng. Bapenas 2009. Klik pada gambar untuk memperbesar.
Peta Kedalaman Gambut Kawasan Gambut. Sumber: Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks Proyek PLG Kalteng. Bapenas 2009. Klik pada gambar untuk memperbesar.

 

Restorasi: Berpacu Dengan Waktu

Tidak ada cara lain untuk merestorasi gambut kecuali lewat prinsip 3R, yaitu pembasahan (rewetting), penanaman kembali tanaman asli (revegetation), dan revitalisasi matapencaharian (revitalization of people livelihood).

Pada tahun 2008/09 sebuah laporan kerjasama dari Bappenas didukung Pemerintah Belanda, sebenarnya telah diterbitkan sebagai panduan Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan eks Proyek PLG Kalteng yang meliputi empat kabupaten dengan total luas lebih 1,4 juta hektar.

Laporan ini merekomendasikan zonasi eks PLG sesuai bentang hidrologi alamiah menjadi lima zona, lindung (773,500 hektar), penyangga budidaya terbatas (353,500 hektar), penyangga budidaya terbatas (353,500 hektar), zona budidaya (295,000 hektar) dan pesisir (40,000 hektar).

Rekomendasi ini dibuat jauh sebelum PP maupun revisi PP ini terbit.

Sayangnya sejak 2008 tidak ada masterplan yang berjalan di wilayah ini. Berjalan dengan waktu, lokasi ini semakin carut-marut tanpa ada payung pengelolaan yang jelas, okupasi lahan berjalan terus. Sehingga tak heran kebakaran terus terjadi dengan puncaknya pada tahun 2015 lalu.

Momentum adanya perbaikan pengelolaan lahan gambut saat ini harus dilakukan secara terintegrasi.

Dari pengalaman di masa lalu, tidaklah mungkin keputusan politik hanya dibebankan kepada pejabat setingkat menteri atau setingkatnya. Presiden sendiri yang harus berdiri di depan untuk merestorasi lahan gambut.

Pemerintah pun dituntut agar konsep KHG bukan semata-semata area yang “siap untuk investasi”. Namun harus dilihat dari sudut pandang paradigma keberlanjutan, tanpa mengorbankan kehidupan masyarakat, seperti yang tercantum dalam butir-butir Nawacita.

Jika hal ini berhasil, Indonesia dapat menjadi pelopor dan kiblat dari penyelamatan emisi bumi. Tidak sebatas wacana, tetapi nyata. Di akhir 2019-lah, kita bakal sama-sama mengetahuinya.

Sulit bukan berarti tidak mungkin.

* Ridzki R. Sigit, Program Manajer Mongabay Indonesia. Ica Wulansari, Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosiologi Universitas Padjajaran Bandung.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,