Catatan Hukum Peraturan Gambut: Lama vs Baru

Memasuki musim penghujan, 2016 ini dilalui tanpa ada titik api berarti. Langit tetap cerah tanpa diselimuti asap seperti lima tahun terakhir.

Satu tahun lalu, Indonesia “dikepung” asap di tujuh provinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur). Publik menyaksikan “ketidakberdayaan” negara menghadapi asap. Bibir petinggi negara bak kelu dan sibuk saling menyalahkan atas kebakaran yang melanda. Langit memerah. Menyala.

Sekitar tiga bulan asap menyelimuti Sumatera dan Kalimantan. Korban berjatuhan. Bandara tutup. Anak-anak libur sekolah bahkan harus mengungsi ke provinsi tetangga akibat asap tak berkesudahan.

Asap masif justru terjadi di lahan gambut. Ekositem gambut hancur hingga tak mampu mendukung lagi untuk mengurangi kebakaran.

Memasuki November, musim hujan tiba. Rintik-rintik, pelan-pelan menghilangkan titik api dan langit kemudian biru.

Awal 2016, Presiden Joko Widodo mengeluarkan ancaman akan memecat kepala daerah bila 2016 masih kebakaran dan titik api.

Entah manjur terhadap ancaman Jokowi ataupun memang curah hujan tinggi ataupun “musim bakar” oleh perusahaan sudah lewat ataupun perusahaan mulai menanam, yang pasti tahun ini, dilewati tanpa harus menghirup asap dan sesak napas.

Jokowi mengeluarkan “revisi” Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 dengan mengeluarkan PP No. 57 Tahun 2016 soal Perlindungan dan Pengelolaan Gambut.

Aturan ini diharapkan dapat dibaca sebagai “perwujudan” untuk memulihkan gambut dan mengembalikan fungsi hidrologi gambut serta bertujuan mengurangi dan menghentikan kebakaran mendatang.

Dalam PP ini, terdapat pasal diubah, dan dihapus serta pasal ditambahkan.  Pasal diubah yaitu Pasal 1 angka (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 10 ayat (2) huruf b, Pasal 11 ayat (4). Lalu, Pasal 14 ayat (3), Pasal 16 ayat (1,2 dan 3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 26 huruf a dan huruf b, Pasal 30 ayat (3 dan 4), dan Pasal 44 (1).

Pasal dihapus,  yaitu Pasal 10 ayat (2) huruf c dan Pasal 11 ayat 5 dan ayat 6.  Sedangkan penambahan pasal, yakni, Pasal 22 A diselipkan antara Pasal 22 dan Pasal 23, Pasal 23 ayat (3, 4, 5 dan ayat 6), Pasal 26 ayat (2). Pasal 30 A diselipkan antara Pasal 30 dan Pasal 31, Pasal 31 A dan Pasal 31 B, diselipkan Pasal 31. Kemudian Pasal 32 A diselipkan antara Pasal 32 dan Pasal 33.

Apabila kita perbandingkan antara PP No. 71 Tahun 2014 dengan PP No. 57 Tahun 2016, ada perubahan mendasar.

Di dalam Pasal 1 angka 2 “Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sia tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 cm atau lebih dan terakumulasi pada rawa.

Bandingkan dengan kalimat di dalam Pasal 1 angka (2) PP No. 71 tahun 2014.  “Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi pada rawa.

Dengan melihat kalimat perubahan, definisi PP No. 57 Tahun 2016 lebih detail, lebih tegas hingga dapat menggambarkan pandangan Pemerintahan Jokowi terhadap gambut.

Dari ranah ini, PP baru memberikan harapan terhadap upaya restorasi gambut. Sebuah amanat yang dikerjakan oleh BRG sebagaimana mandat Perpres No. 1 Tahun 2016.

Apabila kita bandingkan perubahan Pasal 9 ayat (1), apabila sebelumnya di dalam PP lama menetapkan fungsi ekosistem gambut hanya terletak pada puncak kubah gambut dan sekitar.

PP baru,  lebih menitikberatkan fungsi ekosistem gambut dengan meletakkan kesatuan hidrologi gambut yang harus dilindungi.

Sedangkan Pasal 10 huruf b mencantumkan fungsi gambut harus menggunakan skala 1 : 50.000 jadi lebih detail.

Pasal 11 ayat (4) diubah hingga kalimat menjadi jelas dan praktis. Tak membedakan kawasan ekosistem gambut,  apakah termasuk dalam kawasan hutan atau luar hutan.

Pasal 17 ayat (2) lebih jelas dengan memuat kalimat “rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan  (a) keragaman karakter fisik dan biofisik fungsi ekologis, (b) sebaran potensi sumber daya alam, (c) perubahan iklim, (d) sebaran penduduk, (e) kearifan local, (f)  aspirasi masyarakat, (g) rencana tata ruang wilayah dan (h) upaya pemulihan kerusakan ekosistem gambut

Pasal 18 ayat (2) lebih menitikberatkan kalimat “harus terlebih dahulu dikonsultasikan secara teknis dan mendapatkan persetujuan“ hingga kalimat diubah menjadi   “harus terlebih dahulu dikonsultasikan secara teknis dan mendapatkan persetujuan menteri.

Sedangkan,  sebelumnya hanya mencantumkan kalimat “harus mendapatkan rekomendasi teknis dari menteri.”

Pasal 26 ditambah satu ayat. Pasal 26 ayat (1) setiap orang dilarang, (a) membuka lahan baru (land clearing) sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu. (B) membuat saluran drainase yang mengakibatkan gambut menjadi kering.

 (C) membakar lahan gambut dan atau melakukan pembiaran terjadinya pembakaran dan atau (d) melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan ekosistem gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3).

Lahan gambut yang terbakar di konsesi perusahaan di Ogan Komering Ilir, Sumsel, yang dikunjungi Presiden Joko Widodo. Pemerintah berencana merestorasi gambut setidaknya dua juta hektar dalam lima tahun ini. Foto: Humas Pemkab OKI
Lahan gambut yang terbakar di konsesi perusahaan di Ogan Komering Ilir, Sumsel, yang dikunjungi Presiden Joko Widodo. Pemerintah berencana merestorasi gambut setidaknya dua juta hektar dalam lima tahun ini. Foto: Humas Pemkab OKI

Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) diubah hingga menjadi, Pasal 30 ayat (3) Pemulihan dilakukan dengan cara (a) sukses alami (b) rehabilitasi, (c) restorasi dan atau (d) cara lain yang sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Begitu juga Pasal 30 ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut diatur dengan peraturan menteri.

Ditambah Pasal 30 A (1) Restorasi sebagaimana dimaksud pada pasal 30 ayat (3) huruf c dilakukan dengan (a) penerapan teknik-teknik restorasi mencakup pengaturan tata air di tingkat tapak, (b) pekerjaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang meliputi penataan infrastruktur pembasahan (rewetting) gambut, (c) penerapan budidaya menurut kearifan lokal.

Ayat (2) Restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan penelitian dan pengembangan dengan memperhatikan dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan perspektif internasional.

Ayat (3) Ketentuan mengenai pedoman teknis pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.

Pasal 44 ayat (1) berubah dari paksaan pemerintah dengan memberikan sanksi administrasi” menjadi paksaan “(a) penghentian sementara kegiatan, (b) pemindahan sarana kegiatan, (c) penutupan saluran drainase.  (D) pembongkaran, (e) penyitaan barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran. (F) penghentian sementara seluruh kegiatan (g) tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

Selain ada perubahan kalimat ataupun menambahkan ayat, PP baru juga menambahkan pasal antara lain, penambahan Pasal 22 dan Pasal 23. Kalimat Pasal 22 A adalah “(1) Pencegahan kerusakan ekosistem gambut sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a. Ia dilakukan dengan cara  (a) penyiapan regulasi teknis, (b) pengembangan sistem deteksi dini, dan (c) penguatan kelembagaan Pemerintah dan ketahanan masyarakat. Lalu, (d) peningkatan kesadaran hukum masyarakat, (e) pengamanan areal rawan kebakaran dan bekas kebakaran.

Begitu juga Pasal 23 ditambah 3 ayat. Pasal ini menentukan kriteria gambut dinyatakan rusak.

Ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila memenuhi kriteria baku kerusakan sebagai berikut:  (a) muka air tanah di lahan gambut lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter di bawah permukaan gambut. Dan/atau  (b) tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kawasan di bawah lapisan gambut.

Pasal 23 ayat (4) pengukuran muka air tanah sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf a dilakukan pada titik penataan yang telah ditetapkan. (5) Dalam penentuan titik penataan sebagaimana dimaksud ayat (4) harus didasarkan pada karakteristik lahan topografi, zona pengelolaan air, kanal dan atau bangunan air. (6) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran muka air di titik penataan diatur dalam peraturan menteri.

Tambahan pasal menjadi Pasal 31 A “Dalam hal pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 merupakan akibat kebakaran dan penanggungjawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan pemulihan fungsi ekosistem gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 jangka waktu paling lama 30 hari sejak diketahuinya terjadi kebakaran.

Menteri/gubernur/bupati/walikota berkoordinasi dalam pemulihan fungsi ekosistem gambut atas beban biaya penanggungjawab usaha dan,atau kegiatan untuk pelaksanaan lapangan.

Pasal 31 B “(1) terhadap areal perizinan usaha dan, atau kegiatan terdapat gambut terbakar, pemerintah mengambil tindakan penyelamatan dan pengambilalihan sementara areal bekas kebakaran. (2) Pengambilalihan sementara areal bekas kebakaran dilakukan untuk verifikasi oleh menteri.

(3) Hasil verifikasi dapat berupa (a) pengelolaan lebih lanjut oleh penanggungjawab usaha dan atau kegiatan dan (b) pengurangan areal perizinan usaha dan atau kegiatannya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengambilalihan areal bekas kebakaran oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.

Pasal 32 A (1) Pemulihan fungsi ekosistem pada lahan dan hutan gambut selain pada areal sebagaiman dimaksud dalam Pasal 30 menjadi tanggungjawab pemerintah. (2) Pemulihan fungsi ekosistem pada lahan dan hutan gambut pada areal penggunaan lain menjadi tanggungjawab pemerintah daerah.

(3) Pemulihan fungsi ekosistem pada lahan dan hutan gambut yang dimiliki masyarakat atau masyarakat hukum adat menjadi tanggungjawab masyarakat atau masyarakat hukum adat.

Menilik dari perubahan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan gambut berdasarkan aturan baru dari PP lama masih menyisakan beberapa persoalan.

Pertama, pemerintahan Jokowi masih membuka peluang pengelolaan gambut. PP Baru mendasarkan kebakaran lima tahun terakhir di ekosistem gambut. Kebakaran di kawasan gambut konsesi justru diberikan kepada perusahaan.

Fakta ini sekaligus membantah analisis yang memberi ruang terhadap pengelolaan ekosistem gambut terhadap tanaman bukan keragaman hayati gambut.

Kedua, penetapan kawasan ekosistem gambut tak mendasarkan kepada peta gambut. Peraturan hanya menetapkan kawasan lindung ekosistem gambut dan budidaya gambut. Padahal, penetapan kawasan lindung ekosistem gambut di kawasan budidaya gambut telah terbukti menghancurkan hidrologi gambut.

Penetapan kawasan ekosistem gambut tak semata-mata penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya. PP No. 57 tahun 2016,  seharusnya lebih tegas terhadap pengelolaan kawasan ekosistem gambut.

Ketiga, Pasal 32 A yang menugaskan pemerintah daerah untuk pemulihan gambut di areal penggunaan lain.  Data-data menunjukkan, di APL justru terjadi kebakaran dan merusak hidrologi gambut. Padahal BRG “ditugaskan” oleh Jokowi restorasi gambut termasuk di APL.  Hal ini, bisa menyebabkan BRG kesulitan menjalankan fungsi dan teknis di lapangan.

Pemerintah daerah,  akan kesulitan menganggarkan dana pemulihan gambut. Hingga Pasal 32 A, menjadi tak relevan jadi sandaran fungsi BRG.

Keempat, ketentuan mengenai penegasan tanggung jawab perusahaan yang terbukti kebakaran lima tahun terakhir sudah disampaikan dalam Inpres No. 15 Tahun 2015. Dalam diktum pertama angka 4 disebutkan tentang “penegakkan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan lahan.

Dengan demikian, PP baru telah meletakkan dasar-dasar pandangan negara dalam melihat kawasan ekosistem gambut juga harus mengembalikan fungsi hidrologi gambut. Hakekat gambut sebagai lahan basah haruslah dikembalikan.

  • Penulis: Advokat, tinggal di Jambi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,