Jaga Kelestarian Gunung untuk Kesejahteraan

Pagi telah tiba ketika warga di lereng Gunung Slamet itu keluar rumah dan menuju ke ladangnya. Mereka berasal dari Desa Kutabawa dan Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng). Pada petani itu ke ladang untuk menyiangi gulma di sekitar sayur-sayuran tanamannya. Ada daun bawang, kubis, cabai hingga strawberry.

“Kegiatan warga sehari-harinya di lereng Gunung Slamet, sebagian besar menuju ke ladang. Inilah berkah yang diterima mereka, bermukim di lereng gunung. Sebab, dengan tanah dan temperatur yang sejuk menjadi cocok untuk mengembangkan budidaya sayur mayur. Sejak dulu sampai sekarang mereka telah memanfaatkan lingkungan lereng Gunung Slamet untuk mananam demi mencukupi kebutuhan sehari-hari,”ujar Kepala Desa Serang Sugito.

Hanya saja, kata Sugito, pihak pemerintahan desa mengajak mereka untuk bijak dalam mengelola lahan di sekitar lereng Gunung Slamet. Pasalnya, dengan areal yang memiliki kemiringan tertentu, maka harus ada perlakuan khusus juga, misalnya bagaimana menyalurkan air agar tidak menimbulkan erosi. Di sisi lain, warga di sini juga harus disadarkan kalau mereka hidup pada lereng gunung berapi aktif. Sehingga dari awal, mereka terus disadarkan mengenai risikonya, sehingga ada upaya mitigasi bencana.

Dalam Kongres Gunung yang baru pertama kali dilangsungkan di Purbalingga yang berakhir pada Rabu (14/12), ahli geologi dari Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementrian ESDM, Prof Sutikno Bronto mengungkapkan kalau gunung api mengandung sumberdaya melimpah untuk mendukung kesejahteraan manusia. Khusus Gunung Slamet, kalau ditelisik lebih mendalam lagi, gunung tersebut tidak terpisahkan dari kehidupan nenek moyang yang berada di sekitarnya.

“Keberadaan Gunung Slamet yang berada di perbatasan sejumlah kabupaten di Jateng, mempunyai potensi sumberdaya lingkungan, mineral dan energi. Sumberdaya lingkungan mencakup kawasan pemukiman yang nyaman, tanah subur serta air melimpah baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, pertanian, perkebunan dan kehutanan. Sedangkan untuk potensi mineral di antaranya adalah pasir, batu hias serta lainnya. Sementara untuk sumber energi ada potensi panas bumi dan air yang dapat menjadi pembangkit listrik,”paparnya.

Menurutnya, keberadaan gunung api haruslah disikapi dengan prinsip bermanfaat, aman dan lestari. “Artinya bermanfaat, bahwawa gunung api itu bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kemakmuran rakyat. Lestari berarti memanfaatkan sumberdaya gunung namun harus menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem. Sedangkan aman adalah bagaimana masyarakat bisa terhindar dari bencana seperti bahaya erupsi,”jelas Prof Sutikno.

Warga antusia mengikuti acara bersih Gunung Slamet, bagian dari acara Kongres Gunung di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan
Warga antusia mengikuti acara bersih Gunung Slamet, bagian dari acara Kongres Gunung di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan

Untuk itulah, lanjut Prof Sutikno, perubahan untuk menuju kebaikan, kemakmuran dan kesejahteraan dapat terwujud apabila ada kerja sama dengan pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat. “Untuk keterpaduan masyarakat umum agar dibentuk semacam Paguyuban Masyarakat Gunung Api yang diketuai oleh tokoh masyarakat setempat,”tandasnya.

Penyelenggara Kongres Gunung Purbalingga, Bambang Adi mengungkapkan Kongres Gunung memang baru pertama kali diselenggarakan. “Kami sengaja mengundang seluruh stakeholders yang berkaitan dengan kegunungapian. Karena selama ini belum ada regulasi yang jelas mengenai kegunungapian. Sehingga dengan adanya kongres ini, maka akan dapat dimunculkan ide-ide yang nantinya dapat menjadi masukan untuk pembentukan RUU Gunung. RUU ini sangat penting, karena selama ini, sekali lagi saya katakan belum ada regulasi mengenai kegunungapian. Sebagai contoh kecil saja, tidak ada sanksi yang jelas dengan membuang sampah sembarangan saat mendaki gunung,” jelasnya.

Pada bagian lain, kata Bambang, selama ini masyarakat yang berada di sekitar gunung terutama gunung api, baru bergerak ketika bencana datang seperti saat gunung meletus. Namun, sebelum ada bencana mereka tenang-tenang saja. “Inilah yang juga perlu mendapat penyadaran supaya mereka juga mendapat edukasi mengenai mitigasi bencana,” tambahnya.

Masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda, melakukan kegiatan bersih Gunung Slamet yang merupakan bagian dari acara Kongres Gunung di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan
Masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda, melakukan kegiatan bersih Gunung Slamet yang merupakan bagian dari acara Kongres Gunung di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan

Bersih Gunung

Terkait dengan Kongres Gunung, sebanyak 2.229 warga di sekitar Gunung Slamet juga melakukan bersih gunung. Mereka melakukan bersih gunung di jalur pendakian dari Pos Bambangan, Desa Kutabawa, Karangreja, Purbalingga. Di pos pendakian, mereka membawa tas plastik hitam ke atas untuk memnbawa sampah-sampah yang berceceran. “Kami sengaja membawa sampah-sampah di jalur pendakian yang ditinggalkan para pendaki. Ternyata cukup banyak di sana. Kami bersama-sama mengumpulkan sampah dan dibawa ke bawah,” jelas Sarip, 38, salah seorang peserta bersih gunung.

Kegiatan itu tidak hanya diikuti oleh warga sekitar Gunung Slamet, tetapi juga para pecinta alam. Pegiat mahasiswa pecinta alam Bio-Explorer dari Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hafiz mengatakan kalau dirinya datang sebagai bagian dari kepedulian organisasinya dalam menjaga lingkungan khususnya Gunung Slamet. “Di organisasi kami juga sudah ditegaskan, kalau mendaki gunung, sampah harus dibawa ke bawah. Tidak boleh dibuang sembarangan di gunung,”tegasnya.

Menurutnya, masih banyak pendaki yang secara sembarangan membuang sampah, karena mereka belum sadar mengenai pentingnya kebersihan di gunung.

Sampah yang berhasil dikumpulkan dari kegiatan bersih Gunung Slamet yang merupakan bagian dari acara Kongres Gunung di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan
Sampah yang berhasil dikumpulkan dari kegiatan bersih Gunung Slamet yang merupakan bagian dari acara Kongres Gunung di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan

Terbukti benar, bahwa ternyata masih banyak pendaki yang belum menyadari pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Sebab, setelah kegiatan bersih gunung dilakukan, hampir setiap kelompok yang membersihkan gunung membawa sampah-sampah yang berceceran.

“Dalam bersih gunung yang diselenggarakan hingga Rabu petang hari, terkumpul dua truk sampah yang telah dimasukkan dalam tas plastik hitam besar,” kata Koordinator Posko Pendakian Gunung Slamet di Bambangan, Slamet Ardiansyah.

Sebetulnya, lanjut Slamet, bagi para pendaki yang akan naik ke Gunung Slamet, harus laporan ke posko terlebih dahulu. “Memang ada semacam “tiket”, tetapi murah hanya Rp5 ribu per pendaki. Itu pun, pengelola menyediakan peta jalan, nomor telepon “emergency” dan kantong plastik untuk sampah.

Kalau nantinya para pendaki tidak membawa sampah turun, maka ada sanksi lima kali harga tiket, yakni Rp25 ribu. Hanya saja, kelemahannya adalah kami tidak tahu apakah seluruh sampah yang dibawa ke bawah adalah keseluruhan atau sebagian saja,”ujarnya.

Pihaknya juga menempuh dengan cara edukasi bagi para pendaki. Artinya, mereka terus menerus disadarkan akan pentingnya tidak mencemari gunung. Sebab, kalau kesadaran sudah muncul, tanpa harus diminta saja, mereka dengan sukarela akan membawa sampah turun. Itu harapannya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,