Bukan Hanya Perburuan, Badak Jawa Juga Menghadapi Ancaman Langkap

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia berpostur tegap. Tingginya, hingga bahu, sekitar 128 – 175 sentimeter dengan bobot tubuh 1.600 – 2.280 kilogram. Meski penglihatannya tidak awas, akan tetapi pendengaran dan penciumannya super tajam yang mampu menangkap sinyal bahaya yang menghampiri kehidupannya. Satu cula berukuran 27 sentimeter berwarna abu-abu gelap atau hitam merupakan ciri khas utama jenis ini.

Berdasarkan catatan sejarah, dahulunya badak jawa tersebar luas. Mulai dari India, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Jawa, dan Sumatera. Namun kini, populasinya hanya ada di Taman Nasional ujung Kulon (TNUK), Banten, yang berdasarkan catatan Balai TNUK 2015, jumlahnya sekarang berada dikisaran 60 individu.

Lukisan yang mengilustrasikan perburuan badak jawa pada 1861. Sumber: Wikipedia
Lukisan yang mengilustrasikan perburuan badak jawa pada 1861. Sumber: Wikipedia

Dalam Buku “Teknik Konservasi Badak Indonesia” dituliskan, belum diketahui secara detil penyebab sesungguhnya yang membuat populasi badak ini menurun drastis. Meski begitu, perburuan cula dan badak yang dianggap hama pertanian dan perkebunan (pertengahan abad ke-19), dan ditambah kebijakan Pemerinta Belanda yang memberikan hadiah bagi yang bisa membunuh badak merupakan pemicu utama merosotnya jumlah badak jawa. Tercatat, pada medio tersebut, sebanyak 256 individu dibunuh hanya dalam waktu dua tahun.

Padahal, bila ditarik waktu mundur, awal abad ke-18, badak jawa masih berkeliaran di Jakarta yang dulunya bernama Batavia, hingga ada yang menjinakkannya. Secara keseluruhan, badak jawa yang hidup di Pulau Jawa pernah ada di sekitar Gunung Gede Pangrango, Pegunungan Sanggabuana, Gunung Salak, Ciremai, dan Gunung Slamet.

Haerudin R. Sadjudin, ahli badak yang juga Program Manajer Yayasan Badak Indonesia (YABI), beberapa waktu lalu menuturkan, dahulunya badak jawa memang menyebar dari Sumatera hingga ke Jawa Barat dan Jawa Tengah. “Perkebunan jati, kina, dan teh telah menyempitkan habitat badak ini. Sedangkan nasib badak yang berada di luar kawasan konservasi, harus berhadapan dengan pemburu.”

Bukan karangan, bila di masa lalu, sekitaran abad ke-18, wilayah Tangerang dan Bekasi tempatnya badak hidup. Begitu pula di Jakarta yang ada daerah bernama Rawa Badak dan di Bogor ada nama wilayah Kedung Badak. “Juga, Kandang Badak di Gunung Gede Pangrango yang itu semua menunjukkan habitat badak.”

Badak jawa yang berada di London Zoo pada Maret 1874 hingga Januari 1885. Sumber: Wikipedia
Badak jawa yang berada di London Zoo pada Maret 1874 hingga Januari 1885. Sumber: Wikipedia

Badak jawa yang awalnya hidup tidak jauh dari lingkungan manusia, perlahan menghindar dan menjadi “penyendiri” akibat dikejar untuk dibunuh. Jumlahnya yang terus berkurang membuatnya dijadikan sebagai satwa dilindungi melalui peraturan Staatsblaad No. 497 Tahun 1909. Akan tetapi, perburuan tetap saja terjadi yang tercatat 11 individu mati akibat perburuan ilegal, empat tahun setelah aturan tersebut dicanangkan.

Tahun 1931, penegasan perlindungan badak kembali dikeluarkan melalui Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierensbeschermingsordonantie 1931 Staadsblad 1931 Nummer 134). Namun begitu, perburuan masih saja terjadi sepanjang 1935 – 1936, yang menewaskan 15 individu. Hingga kini, perburuan badak masih marak, dipacu tingginya harga cula (sekitar $30.000 di pasar gelap), tanpa diimbangi sanksi hukum yang berat untuk pelaku.

Nasib badak jawa di luar Indonesia juga tak kalah tragis. Di Myanmar, badak jawa terakhir yang ada ditembak mati pada 1920 untuk koleksi British Museum. Di semenanjung Malaysia, juga ditembak di Perak pada 1932 untuk koleksi museum. Di Vietnam, secara resmi diumumkan badak jawa telah punah, setelah individu terakhir ini ditemukan mati dengan luka tembak dan cula menghilang di Taman Nasional Cat Tien. Berdasasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature), saat ini badak jawa berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) atau satu langkah menuju kepunahan.

Badak jawa yang berada di Sungai Cigenter, Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Stephen Belcher/Dok BTNUK
Badak jawa yang berada di Sungai Cigenter, Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Stephen Belcher/Dok BTNUK

Ancaman langkap

Badak jawa yang saat ini terkonsentrasi di Ujung Kulon, nyatanya juga menghadapi masalah ketersedian pakan. Berdasarkan penelitian Yayasan Mitra Rhino – WWF (2002) mengenai persaingan ekologi badak dan banteng, hasil analisis tumbuhan pakan di Semenanjung Ujung Kulon menunjukkan ada 109 jenis. Sekitar 97 jenis tumbuhan merupakan pakan badak jawa, 74 jenis tumbuhan pakan banteng, dan 62 jenis merupakan pakan bersama.

Jenis tumbuhan yang disenangi badak jawa sebagaimana dituliskan Hoogerwerf (1970) adalah salam (Eugenia polyantha), rukem (Glachidon macrocarpus), dan segel (Dillenia excelsa). Sedangkan langkap (Arenga obtusifolia) yang daun mudanya dimakan, diduga juga sebagai tumbuhan yang dapat mengancam ketersediaan tumbuhan sumber pakan. Ini disebabkan, tajuknya yang rapat membuat sinar matahari sulit menembus lantai hutan.

Spesimen badak jawa yang ada di Museum Zoologi, Kebun Raya Bogor. Foto: Rahmadi Rahmad
Spesimen badak jawa yang tersimpan di Museum Zoologi, Kebun Raya Bogor. Foto: Rahmadi Rahmad

Haryanto, pengajar di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam penelitian yang dilakukannya (1997) mengungkapkan, invasi langkap merupakan penyebab utama terjadinya degradasi habitat badak jawa secara alami. Dalam jangka panjang diduga akan menyebabkan menurunnya populasi satwa ini dan berkurangnya keanekaragaman hayati di Taman Nasional Ujung Kulon.

“Kecenderungan invasi langkap yang sangat tinggi ini diduga merupakan bagian dari proses suksesi vegetasi setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883. Peranannya dalam ekosistem hutan yang belum diketahui membuat tindakan manajemen belum bisa dilakukan.”

Langkap (Arenga obtusifolia) adalah sejenis aren invasif tinggi antara 10-15 m yang cepat berkembang biak, mengancam tumbuhan vegetatif pakan badak di Ujung Kulon. Foto: Ridzki R. Sigit
Langkap (Arenga obtusifolia) adalah sejenis aren invasif tinggi antara 10-15 m yang cepat berkembang biak, mengancam tumbuhan vegetatif pakan badak di Ujung Kulon. Foto: Ridzki R. Sigit

Widodo S. Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI) menyatakan, adanya langkap yang mengancam pakan badak jawa ini dalam hal tertentu benar walaupun tidak langsung. Sebabnya adalah, langkap dapat tumbuh di kegelapan dan bila sudah dewasa tajuknya menutupi sinar mentari, sehingga tidak menembus dasar hutan. Dampaknya, tidak ada tumbuhan pakan badak yang tumbuh. “Dengan demikian, mengurangi ketersediaan pakan badak (browser plants) yang semestinya berkembang,” jelasnya, Kamis (15/12/16).

Menurut Widodo, Selain dapat memperbanyak diri dengan trubusan batang maupun pembiakan melalui akar, ratusan hingga ribuan biji langkap juga disebarluaskan oleh musang yang memakan buah tersebut. “Ini yang dinamakan suksesi alam. Ketika hutan telah tua (climax), biasanya akan muncul satu jenis tumbuhan yang mendominasi. Bila yang dominan itu langkap, tentunya merupakan kabar yang kurang baik untuk kelangsungan hidup badak jawa.”

Penanganan terhadap ancaman langkap ini coba dilakukan dengan mengurangi populasinya. Dari beberapa percobaan, pengurangan hingga 50 persen persebaran langkap bisa meningkatkan ketersediaan pakan badak. Meskipun, hanya bertahan 1 – 2 tahun sebelum langkap kembali bersemi, mendominasi.

Posisi Ujung Kulon dalam peta. Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), Pulau Jawa telah kehilangan hutannya lebih dari 150 ribu hektare dalam 15 tahun terakhir. Peta: GFW
Posisi Ujung Kulon dalam peta. Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), Pulau Jawa telah kehilangan hutannya lebih dari 150 ribu hektare dalam 15 tahun terakhir. Peta: GFW
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,