Pasar Kalimu, Pasar Tradisional di Kaluppini yang Terancam Hilang

Namanya Pasar Kalimu. Letaknya di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Tepatnya di Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, tempat dimana masyarakat Adat Kaluppini berdomisili.

Pasar Kalimu adalah salah satu pasar tradisional yang terancam hilang. Kalimu dalam Bahasa Enrekang berarti selimut. Konon, dinamai Pasar Kalimu karena aktivitas di pasar ini dimulai di subuh hari, ketika sebagian orang masih berdekap dengan selimut karena udara dingin. Lokasi pasar ini memang berada di ketinggian sekitar 1.070 mdpl.

Kunjungan Mongabay ke pasar ini, awal Oktober 2016 lalu, didasari oleh rasa penasaran karena cerita keunikan pasar ini.

Menurut Abdul Halimatau Papa Devi, salah satu pemangku adat Kaluppini, Pasar Kalimu ini telah ada sejak dahulu kala, namun kini mulai terancam hilang seiring dengan adanya pasar modern.

“Kini tak seramai dulu. Orang-orang mulai beralih ke makanan instan seperti Indomie dan kopi instan dan lainnya,” katanya.

Tak seperti pasar umumnya, Pasar Kalimu ini memang tergolong unik dan sederhana. Waktu pasar hanya dua kali seminggu, Rabu dan Minggu. Lama bukanya pun relatif singkat. Paling lama dari pukul 5.30 hingga 09.00. Seringya malah hanya sampai pukul 6.30 atau hanya sekitar sejam saja.

Pasar ini juga tak begitu ramai. Hanya belasan orang yang duduk berjejer menjajakan dagangan. Jenis komoditas yang diperdagangkan juga terbatas. Sebagian besar hanya kebutuhan konsumsi, seperti beragam jenis sayuran, jamur, dan jawawut. Seorang pedagang makanan lokal seperti jalangkote, buroncong dan seorang lagi penjual keperluan rumah tangga dan pakaian.

Seluruh pedagang di pasar ini adalah perempuan. Dagangan yang diperjualbelikan umumnya hasil kebun atau dari hutan, seperti jamur yang diambil dari kayu yang rubuh. Tak ada ikan atau lauk lainnya karena pedagangnya berasal dari luar kampung.

“Pedagang luar akan sulit masuk karena waktu pasar di subuh hari, sementara akses ke lokasi ini sangat susah,” ungkap Halim.

Untuk sampai ke Desa Kaluppini memang bukan perkara mudah. Meski hanya berjarak 10 km dari Kota Enrekang, namun kondisi jalan yang terjal dan rusak membuatnya sulit diakses, apalagi di musim hujan. Bagi orang luar yang tak paham dengan jalanan bisa menghabiskan waktu hingga 1 jam lebih, padahal waktu idealnya tak lebih dari 30 menit.

Ikan memang tak dijual di Pasar Kalimu. Ikan diperoleh dari pedagang keliling yang datang ke Kaluppini beberapa kali dalam seminggu. Sementara daging lebih mudah diperoleh, karena sebagian besar warga memiliki ternak sapi, yang banyak disembelih di saat ritual-ritual adat dan keagamaan yang sering diselenggarakan di desa ini.

Menurut Halim, warga Kaluppini umumnya menggemari sayuran dan daging. Salah satu sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah daun kelor. Hampir setiap rumah di desa ini memiliki pohon kelor di halaman rumah mereka. Sayuran yang dibeli di pasar biasanya jenis sayuran tertentu yang jarang dibudidayakan seperti kacang panjang, rebung, dan lainnya. Sebagian warga Kaluppini juga menyukai jawawut, makanan pengganti beras yang biasa dicampur dengan beras ketan. Sayangnya, karena produksi yang terbatas harga Jawawut relatif mahal, yaitu Rp17 ribu per liter.

“Hanya sebagian kecil lahan yang ditanami jawawut karena tanaman ini hanya mau tumbuh di lahan yang baru,” jelas Halim.

Dari segi harga, jangan bandingkan dengan yang dibeli di pasar kota atau swalayan, karena pasti lebih murah. Harga beragam sayuran tak lebih dari Rp5000,-. Jalangkote, sejenis makanan lokal, bahkan hanya seharga Rp500 per buah. Sementara jamur yang di swalayan seharga puluhan ribu, hanya dijual Rp5000 per bungkus.

Seluruh pedagang di pasar Pasar Kalimu, Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan adalah perempuan dengan dagangan berupa hasil kebun atau dari hutan, seperti jamur yang diambil dari kayu yang rubuh. Foto: Wahyu Chandra
Seluruh pedagang di pasar Pasar Kalimu, Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan adalah perempuan dengan dagangan berupa hasil kebun atau dari hutan, seperti jamur yang diambil dari kayu yang rubuh. Foto: Wahyu Chandra

 

Indikator Ketahanan Pangan

Menurut Nurbaya, mahasiswa pascasarjana ilmu gizi dari Seameo-Recfon, Universitas Indonesia, keberadaan Pasar Kalimu memiliki fungsi yang sangat penting. Bukan hanya sebagai tempat transaksi jual beli, namun juga sebagai indikator ketahanan pangan dan keberagaman pangan mereka.

“Di Pasar Kalimu, kita dapat menemukan pangan lokal yang dijual secara berbeda-beda setiap minggunya, tergantung ketersediaan pangan saat itu. Pangan lokal tidak hanya murah tetapi juga bergizi dan sesuai dengan pola konsumsi masyarakat adat selama ini,” katanya.

Nurbaya juga melihat keberadaan Pasar Kalimu sebagai gambaran bagaimana peran perempuan dalam menjaga ketersediaan pangan di rumah tangga. Perempuan adat bukan hanya bertanggung jawab terhadap ketersediaan makanan di atas meja makan tetapi juga merupakan kunci-kunci pengetahuan tradisional yang harus dijaga dengan baik.

Perempuan adat, menurutnya, memiliki pengetahuan yang telah diwariskan secara turun temurun terkait jenis pangan tertentu yang dapat dijadikan sebagai obat tradisional atau functional food, serta cara mengolah dan memasak bahan makanan tradisional.

“Ini merupakan kekayaan budaya yang harus terus dilestarikan sebagai ciri khas masyarakat adat tersebut.Maka sangat disayangkan jika fungsi pasar tersebut sudah mulai menurun.Terlebih lagi jika masyarakat kemudian memilih menjual dan mengonsumsi makanan instan yang kurang bergizi dan tidak sehat,memiliki kandungan energi dan garam yang cukup tinggi yang berasal dari bumbu masak instan.”

Pola konsumsi makanan instan ini dinilai akan merusak pola konsumsi tradisional masyarakat. Dampaknya pada kesehatan dimana akan mulai muncul penyakit-penyakit seperti hipertensi, obesitas dan defisiensi zat gizi mikro.

Wilayah adat Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan berada di ketinggian 1.070 mdpl dengan akses jalan yang sulit diakses. Kondisi hutan masih terjaga dan menjadi bagian dari ritual adat. Foto: Wahyu Chandra
Wilayah adat Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan berada di ketinggian 1.070 mdpl dengan akses jalan yang sulit diakses. Kondisi hutan masih terjaga dan menjadi bagian dari ritual adat. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Nurbaya, masyarakat adat akan lebih mampu bertahan dari krisis pangan selama mereka dapat menjaga sistem pangan tradisional yang ada. Selain ketersediaan pangan yang cukup dari alam sekitar, mereka juga biasa menyimpan hasil panen padi untuk kebutuhan hidup hingga panen selanjutnya.

“Keberadaan ritual-ritual adat yang intens, yang dibarengi dengan acara makan, menjadi sarana saling berbagi bahan makanan,khususnya kepada warga yang kurang mampu. Ini menjadi salah satu kunci ketahanan pangan mereka,” tambahnya.

Menurutnya, sistem pangan pada suatu masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Di masyarakat kota misalnya lebih kompleks dibandingkan dengan masyarakat pedesaan, karena akses dan ketersediaan pangan yang lebih mudah.

“Begitu pula dengan masyarakat adat, yang memiliki sistem pangan tradisional yang berakar dari sejarah, kebudayaan dan pengetahuan lokal masyarakat setempat. Menjaga sistem pangan tradisional sama halnya menjaga tatanan sosial yang telah adaselama ini.”

 

Hilangnya Modal Sosial

Tasrifin Tahara, antropolog dari Universitas Hasanuddin menilai hilangnya pasar tradisional secara tidak langsung menghilangkan institusi lokal yang dibangun oleh pranata atau modal sosial dalam masyarakat. Pasar yang semakin modern dan kemajuan teknologi dalam bertransaksi menjadi salah satu penyebabnya.

“Alhasil modal sosial semakin hilang seiring dengan semakin pudarnyatrust dalam berinteraksi. Keinginan orang yang mengunjungi pasar semata hanya untuk transaksi ekonomi saja. Hubungan sosial seperti utang piutang juga tidak lagi ada karena semuanya serba cash.”

Menurut Tasrifin, keberadaan pasar tradisional sebenarnya sangat memberdayakan masyarakat karena apapun hasil kebun akan dibawa langsung ke pasar meski dengan modal yang terbatas.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,