Mengintip Jual Beli Sirip Hiu di Biak

Tempurung kelapa itu dibentuk menyurupai kancing raksasa. Bagian tengah dibuat bolong untuk memasukkan besi atau rotan. Jumlah antara 30 hingga 40 buah. Sepintas serupa raket tenis lapangan, tanpa senar. Gagang dari kayu, panjang sekitar 1,5 meter.

Inilah alat tradisional masyarakat di Kepulauan Biak, Papua, untuk menangkap hiu. Cara sederhana, nelayan akan melabuhkan kapal sejauh dua mil laut atau titik tertentu tempat hiu.

Alat ini dimasukkan ke dalam air, lalu di toki (digoyangkan). Suara benturan antartempurung, akan mengundang hiu mendekat. “Kalau sudah dekat, kita tombak. Begitu saja,” kata Septinus Brabar.

Septinus nelayan di Kampung Karmon, Distrik Yaosi. Kampung ini di wilayah utara Biak, berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Pada pekan pertama Desember 2016, gelombang di pesisir utara Biak cukup bergemuruh. Gulungan-gulungan air menghantam tebing membuat udara seperti diselimuti kabut tipis.

Kampung Karmon, sama seperti kampung nelayan lain. Rumah-rumah berderet mengikuti jalur jalan utama. Punya halaman luas dan tertata baik. Pesisir cukup bersih. Pasir putih. Air jernih.

Septinus berusia sekitar 60-an tahun. Dia lupa waktu pas dia lahir. Sembari mengunyah pinang, pakai celana pendek, bertelanjang dada. Janggut dan rambut mulai memutih. Dia mengenal laut sejak kecil. “Saya ikut sama bapak toh. Iyo, di kampung ini dulu semua nelayan,” katanya.

Alat trdisional yang dibuat dari tempurung kelapa. Foto: Eko Rusdianto
Alat trdisional yang dibuat dari tempurung kelapa. Foto: Eko Rusdianto

Menangkap hiu menggunakan tempurung, adalah teknik sejak lama. Septinus, mendapat keterampilan itu dari bapaknya. Hiu bagi banyak nelayan Biak, adalah ikan yang mudah ditangkap dan salah satu lauk favorit. “Kemarin saya ke laut. Dapat hiu, Cuma kecil.” Hiu dimasak untuk lauk.

Sirip hiu Septinus, kecil-kecil. Ukuran sekitar 30 sentimeter. Sirip terbesar pernah didapat mencapai 60 sentimeter. Ukuran tubuh hiu cukup besar. Perahu hanya bisa bawa satu. Daging dimakan berhari-hari.

Sirip-sirip hasil tangkapan itu digantung, dikeringkan lalu diikat tali rapia hitam. Saya melihat sirip. Ada sirip punggung, sirip ekor, atau sirip perut. “Semua ini, empat hiu kecil. Sudah beberapa minggu,” katanya.

Dia tak menjual langsung ke pengepul di Biak. Sirip kecil dikumpulkan lalu ditimbang.  Harga bervariasi, dari Rp300.000 hingga Rp1 juta. “Kalau sirip panjang, sampai 50 senti (sentimeter), itu bisa satu juta.”

Sebelum para pembeli sirip hiu mendatangi Biak, masyarakat mengkonsumsi hiu hingga sirip. Yang paling utama adalah daging. Sirip, kata Septinus, tak begitu enak, dengan sedikit daging. Kenyal. “Kalau ada harga, kita jual. Kan daging yang paling baik.”

Siri hiu yang tergantung di Toko Lambau Sena Mandiri. Foto: Eko Rusdianto
Siri hiu yang tergantung di Toko Lambau Sena Mandiri. Foto: Yosep

Saya bertemu dengan beberapa warga Biak dan menanyakan bagaimana rasa daging hiu. Jawabannya, kenyal dan enak. Soal amis, itu tergantung cara memasak.

“Kami makan hiu. Enak. Kalau ada pesta kami cari yang besar-besar. Satu ekor cukup. Kalau tak ada pesta makan sesekali saja,” kata Feri Rumere, waga Pulau Meos Mangguandi.

Pada akhir 1990-an, Feri, saat putus sekolah ikut kapal nelayan Buton. Wilayah operasi di sekitar Pulau Biak. “Saya bantu mereka mengenali karang. Supaya kapal tak tabrak karam.”

Feri menghabiskan waktu sekitar enam bulan bersama nelayan Buton. Menangkap hiu dengan cara sama, menggunakan tempurung kelapa. Bedanya, nelayan Buton ketika menggoyangkan tempurung, pasir pantai yang putih disiram dari atas permukaan, untuk mengelabui hiu. Lalu disebar hingga 150 mata kail.

Nelayan Buton, kata Feri, juga menggunakan umpan lain, seperti ikan-ikan kecil. Paling utama pakai daging umpan dari lumba-lumba. “Lumba-lumba gampang ditangkap. Ketuk-ketuk lambung kapal, sudah ada beberapa datang main di sekitar kapal. Kalau sudah dekat, tinggal tombak,” katanya.

“Jadi sehari, bisa sampai 20 hiu. Kalau dekat dengan pulau, daging hiu dibagikan ke masyarakat. Kalau jauh, daging dibuang kembali ke laut. Ambil sirip saja,” katanya.

sirip-hiu7-nampak-depan-toko-lambau-sena-mandiri-di-jalan-erlangga-nomor-3-biak-foto_yosep

Toko yang me jual sirip hiu. Foto: Yosep

Ketika Feri menjadi nelayan mandiri, beberapa kali menangkap hiu. Dia menjual pada seorang pedagang dari Makassar di Biak. Pedagang inilah yang menjadi tempat Septinus memindahkan sirip hiu tangkapannya.

Ketika mendatangi tempat pengepul sirip hiu, pemilik sedang ke Makassar. Namanya H Agus. Karyawan tak mengizinkan kami mengambil gambar. Meskipun berkali-kali meminta izin.

Toko itu berada di Jalan Erlangga Nomor 3, Biak. Ini wilayah strategis. Di ujung jala ada pelabuhan ramai. Ujung lain ada pasar dengan pertokoan mencolok. Pada bagian depan toko, tertulis nama “Lambau Sena Mandiri; Cabang Biak.” Usaha:  membeli hasil dan kerang laut.

Senin 12 Desember 2016, dalam toko kecil, ada teripang menumpuk, di sudut lain beberapa burung endemik Papua berkicau. Di dinding dalam tergantung ratusan sirip hiu. Ukuran besar-besar.

“Sudah sepi sekarang. Ini saja, sudah sekitar enam bulan, sirip belum terjual-jual,” kata seorang pekerja, yang tak ingin nama disebutkan.

“Sirip ini dijual kemana?,” kata saya.

“Di bawa ke Makassar. Pembeli besar di Makassar.”

“Bukankah hiu itu dilindungi, dan dilarang memperdagangkan siripnya?”

Kan ada hiu dilindungi, ada yang tak dilindungi. Kami ambil yang tak dilindungi. Maka, gantung di bagian dalam toko, karena kalau di luar, banyak orang salah arti.”

Pegawai toko itu juga berasal dari Makassar. Sama dengan si pemilik.

Septinus memperlihatkan alat tradisional menangkap hiu. Foto: Eko Rusdianto
Septinus memperlihatkan alat tradisional menangkap hiu. Foto: Eko Rusdianto

***

Di lautan lepas, hiu memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hiu menjadi predator tertatas dalam rantai makanan. Hiu memangsa ikan-ikan.

Dalam skala nasional, penangkapan dan perdagangan sirip hiu diatur Kepmen KKP Nomor 59 Tahun 2014, tentang pelarangan sementara ekspor sirip hiu martil dan hiu koboi.

Dalam level global, larangan perdagangan hiu disepakati melalui Konvensi Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar (CITES) di Bangkok pada 2013.

Saya bertanya pada Septinus mengenai larangan penangkapan hiu. “Itu hiu kami makan dari dulu. Kami juga tak ambil banyak, untuk makan saja. Dulu sirip tak jual, kalau dilarang tak masalah,” katanya.

Salah satu spot di Biak Utara. Foto: Eko Rusdianto
Salah satu spot di Biak Utara. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,