Menanti Keseriusan Pemerintah Tinggalkan Energi Kotor

Untung Purwanto,  hanya bisa menatap kosong.  Lahan pertanian kena buldoser, tertimbun tanah. Sejak 28 Maret 2016, semua akses ke lahan ditutup perusahaan pembangkit listrik batubara di Batang, Jawa Tengah, PT. Bhimasena Power Indonesia (BPI).  Senasib dengan Mugiah, warga Ponowareng, Batang. Lahan pertanian dirusak, sekadar panen pun tak boleh.

Mugiah dan Untung, sama-sama tak menjual lahan pertanian mereka. Demi buat pembangkit listrik batubara 2.000 Megawatt itulah, mereka terlarang masuk lahan sendiri. Lahan pertanian warisan keluarga terampas.

Tak pelak, kehidupan ekonomi mereka berubah. “Warga desa terpaksa cari nafkah jadi kuli bangunan dan buruh serabutan untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Untung.

Banyak warga terpaksa menganggur, tak mampu lagi jadi kuli, karena faktor usia. Padahal, janji Presiden Joko Widodo,  ingin melindungi petani dan berdaulat pangan.

“Mengapa selalu petani dikorbankan. Bangun energi tak mengorbankan nelayan dan petani. Harus ramah lingkungan. Komitmen menekan perubahan iklim, tapi energi batubara,” katanya.

Terdampak tak hanya lahan pertanian juga merusak pesisir laut Batang. Kelestarian laut sebagai sumber kehidupan nelayan mulai dirusak.

Pembangunan dan pengeboran tiang-tiang pancang untuk pelabuhan batubara menurunkan hasil tangkapan warga.

Bejo Glopot dan nelayan lain di Roban Timur, Batang, tak pernah menerima sosialisasi pemasangan tiang dengan pengeboran. Tiba-tiba saja melihat ada kapal membawa alat berat. Puluhan nelayan langsung protes. Nelayan mendesak aktivitas dihentikan.

Greenpeace, tegas menyampaikan, energi batubara memperburuk perubahan iklim melalui polusi yang dihasilkan.

Arif Fiyanto, dari Greenpeace mengatakan, sejak 2011, warga Batang berjuang mempertahankan lingkungan. Berbagai cara dilakukan dari aksi di Batang, Jakarta–termasuk audiensi ke sejumlah kementerian, hingga berangkat ke Jepang,  bertemu investor.

Proyek raksasa seluas 226 hektar ini, merupakan lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, serta sawah tadah hujan. PLTU ini akan menggunakan Kawasan Konservasi Laut Ujungnegoro-Roban, Batang, salah satu perairan paling kaya ikan di Pantai Utara Jawa.

Batubara, sebagai energi terkotor, mengemisi 29% lebih banyak karbon perunit energi dibandingkan minyak, dan 80% lebih banyak dari gas.

“Secara global batubara berkontribusi lebih 65% emisi karbondioksida penyebab terbesar perubahan iklim,” ucap Arif.

Komitmen pemerintah, katanya, menekan emisi karbon guna mengatasi perubahan iklim harus dengan energi terbarukan.

SUmber: KESDM
SUmber: KESDM

***

Pertemuan para pihak (Conference of the Parties/COP) soal perubahan iklim ke-22, sudah usai di Marrakesh, Maroko, November lalu. Pada pertemuan itu, antara lain berisi deklarasi “Marrakesh Action Proclamation for Our Climate and Sustainable Development.”

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta baru-baru ini mengatakan, deklarasi ini sinyal bagi seluruh pemangku kepentingan segera beranjak dari fase komitmen menuju realisasi aksi penanganan perubahan iklim melalui implementasi Perjanjian Paris.

“Indonesia bersama-sama Negara Pihak lain siap mengimplementasikan Perjanjian Paris memenuhi target ambisius,” katanya.

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK mengatakan semua pihak punya peran masing-masing berkontribusi dalam upaya nasional mengendalikan perubahan iklim.  Cuaca ekstrim terjadi baru-baru ini di Solo, Bandung dan Samarinda, katanya, bukti nyata pengaruh perubahan iklim.

Dia bilang bila tak ada aksi-aksi nyata, perubahan iklim merupakan krisis besar yang berakibat fatal bagi bumi. Krisis ini hanya dapat diatasi efektif dengan menyasar akar permasalahan. Penyebab utama, katanya, pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia dalam menghasilkan energi.

Merah Johansyah, Koordinator Jatam mengatakan, pemerintah Indonesia harus menjadikan sektor energi bagian utama menekan perubahan iklim. Caranya,  menghentikan penggunaan energi batubara (fosil), beralih ke energi terbarukan.

“Jika mayoritas energi bersumber batubara, ini penistaan COP,” katanya.

Dalam pencanangan pengembangan 35.000 Megawatt, 60% lebih dari batubara. “Tentu target penurunan emisi juga dinistakan.”

Kata Merah, wujud konkrit pemerintah dalam komitmen, dengan evaluasi proyek energi 35.000 MW, menghentikan energi batubara.

Energi batubara, katanya, tak hanya kotor, juga menciptakan kerusakan lingkungan dan korban kemanusiaan luar biasa. Dia mencontohkan, di Kalimnatan Timur 27 anak meninggal di lubang bekas batubara.

Komnas HAM bahkan mengeluarkan laporan, kematian anak-anak di Kaltim merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

“Pemerintah sudah temukan indikasi 34 proyek PLTU mangkrak. Ini artinya proyek energi kotor diduga terindikasi korupsi,” katanya.

Mega proyek 35.000 MW menimbulkan perampasan lahan luar biasa, seperti PLTU Batang dan Cirebon. “Dibangun di atas penghancuran pesisir dan lingkungan.”

Pemerintah Indonesia, kata Merah, harus menyelamatkan rakyat, keberlangsungan alam dan produktivitas. Energi terbarukan penting, dengan memastikan kelestarian alam dan keselamatan rakyat.

Energi nuklir disebut-sebut energi terbarukan, tetapi mengancam keselamatan rakyat. Ada juga energi panas bumi, tetapi juga land grabbing.

“Artinya kita perlu energi terbarukan, namun yang memastikan kelestarian dan keselamatan rakyat.”

Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati mengatakan, tindaklanjut COP-22, pemerintah harus menyusun roadmap capaian 29% untuk 2030 dengan melibatkan masyarakat.

Dia bilang, harus ada evaluasi menyeluruh, khusus kebijakan sektor energi. “Apakah masih pada energi fosil dan batubara sebagai sumber utama.”

Seharusnya,  Indonesia bisa radikal mengubh perencanaan, agresif mendorong energi terbarukan.

“Jika masih menjadikan energi fosil sebagai sumber dominan, tentu kami akan menggugat komitmen itu,” kata Yaya, panggilan akrabnya.

Energi terbarukan, katanya, sering dianggap mahal dan dianggap tak mampu mencukupi kebutuhan energi dalam negeri. Untuk itu, perlu ada mekanisme fiskal dan anggaran mempermudah akses energi terbarukan dalam negeri, bukan lagi solar panel dan baling-baling impor.

Pemerintah, katanya,  harus membuat prioritas energi terbarukan, di wilayah di mana rasio listrik masih rendah seperti pulau terluar dan perbatasan yang secara ekonomis menjadi wilayah kurang menarik untuk bangun pembangkit.

Keruk-keruk batubara di Jambi. Foto: Perkumpulan Hijau
Keruk-keruk batubara di Jambi. Foto: Perkumpulan Hijau
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,