Saat Warga Bertarung Nyawa Menjadi Penambang Pasir dan Batu di Bukit Samba

Pagi, saat mentari baru mau menampakan diri di ufuk timur, Mumin Haru (60) warga Kelurahan Roworena Barat, Ende bersiap menuju tempat kerja. Dia berjalan kaki sejauh sekitar dua kilometer dari rumahnya sembari menenteng bekal makanan. Setiap harinya, perempuan ini berjalan kaki menuju puncak bukit Samba.

Bukan lahan sawah atau kebun yang ditujunya. Pada Bukit Samba nan gersang ini, sudah puluhan tahun Mumin dan puluhan penambang lainnya menyandarkan hidup mereka.

Saban hari sejak pagi jam 07.00 hingga sore sekitar pukul 17.00, puluhan warga sekitar berjibaku dengan palu dan linggis di tangan mengais rejeki.

“Kami cari uang hanya dari jual batu dan pasir ini saja. Saya sudah puluhan tahun bekerja seperti, sudah sejak orang tua kami dahulu, sebab kami tak punya lahan untuk bertani,” ujarnya sambil mengunyah sirih pinang.

Para lelaki asal Dusun Mbomba pun turut bekerja di Bukit Samba. Foto: Ebed de Rosary
Para lelaki asal Dusun Mbomba pun turut bekerja di Bukit Samba.  Para lelaki biasanya bekerja meruntuhkan bukit dari atas. Foto: Ebed de Rosary

Pekerjaan Warisan

Perempuan tua ini tidak sendirian. Saat Mongabay berkunjung ke lokasi ini, terdapat sekitar limapuluhan warga Roworena, Roworena Barat serta desa sekitarnya. Mereka semua bekerja menambang batu dan pasir.

Di jalan menanjak sejauh satu kilometer tampak gubuk-gubuk reot beratap daun kelapa dan bertiang kayu dibangun sekedar tempat berteduh.

“Pernah Wakil Bupati Ende melewati jalan ini, dan tanya saya ‘kenapa kerja seperti ini?’, saya jawab ‘kami terpaksa’, sebab tidak punya lahan untuk berkebun,” tuturnya menerawang.

Ibu 6 orang anak ini mengaku, uang yang didapat dari kerja ini dipakainya untuk membiayai sekolah anaknya hingga lulus SMA. Selain tentunya untuk membiayai kebutuhan hidup harian keluarga dan membeli sirih pinang.

Sejak sang suami meninggal, praktis dia hanya menghidupi dirinya sendiri. Sementara anak-anaknya ada yang pergi merantau dan sudah menikah.

“Saya tinggal dengan cucu tapi dia tidak mau kerja dengan saya, dia lebih memilih menjadi tukang ojek,” terangnya.

Di lokasi itu pun tampak Petronela Pare (54), warga Dusun Mbomba, Roworena Barat, sedang memecah batu menggunakan palu beralas batu ceper.

Dia bekerja di pinggir jalan, persis di bawah tebing.

Dia mengaku, dalam sebulan dapat uang Rp500 ribu dari pekerjaan membanting tulang itu.

“Itu juga kalau ada proyek pengerjaan jalan baru banyak yang beli, kalau tidak ada proyek ya kami hanya bertahan hidup makan ubi dan makanan seadanya,” jelasnya.

Setiap pagi sekitar pukul 08.00, Petronela bersama 30-an warga Mbomba berjalan menuruni bukit sejauh tiga kilometer ke Bukit Samba. Bekal makan siang dan air minum dibawa serta, dia pergi bersama anak-anak balita. Rumah pun mereka kunci.

“Orang tua saya sudah sejak tahun 1950-an mulai menambang pasir dan batu disini. Lahan ini milik mosalaki atau Ketua Komunitas Adat Wolokaro. Tapi kami tidak dilarang bekerja disini,” tambahnya.

Pondok sederhana sebagai tempat berteduh para penambang galian C ilegal. Para perempuan biasanya memilih untuk mengumpulkan batu runtuhan. Foto: Ebed de Rosary
Pondok sederhana sebagai tempat berteduh para penambang galian C ilegal. Para perempuan biasanya memilih untuk mengumpulkan batu runtuhan. Foto: Ebed de Rosary

Sering Longsor

Alfred Mitan (40) penambang lainnya,  mengaku dia harus memanjat tebing dan menggali dari arah atas bukit. Dengan linggis, tebing digali hingga runtuh. Baru setelah itu mereka turun dan memungut batu dan pasir.

“Cara ini lebih cepat sebab dalam 2 minggu bisa dapat batu dan pasir satu truk,” bebernya.

Apakah tak takut tertimbun longsor saat menggali?

Alfred dengan santai berujar, mereka sudah terbiasa dan paham kapan tanah akan longsor. Menurutnya, barusan sekitar 15 menit lalu sebuah batu besar terguling dari tebing dan hampir mengenai mobil yang melewati jalan.

“Kalau mau longsor kami tahu, biasanya malam hari ada tanda batu kecil yang jatuh,” jelasnya.

Selain memilih pasir dan batu kerikil, para pekerja pun menggunakan linggis untuk menggali lubang di lereng bukit. Dengan martil, batu berukuran besar dihancurkan.

Semua pekerjaan dilakukan manual mengandalkan tenaga manusia. Satu-satunya alat modern yang dipergunakan hanya gerobak dorong beroda satu untuk mengangkut material pasir dan batu yang kemudian dikumpulkan di pinggir jalan.

Para calon pembeli biasanya bertemu di pinggir jalan.

Untuk batu pecah berukuran sekepalan tangan orang dewasa (dinamakan batu 3/5), mereka menjualnya Rp500 ribu per satu truk. Batu kerikil dihargai Rp700 ribu, batu berukuran sebesar mangga atau 5/7 dilepas dengan harga Rp300 ribu, sedangkan pasir satu truk Rp250 ribu.

Diakui Alfred, petugas dari Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi serta Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kabupaten Ende hingga pihak gereja sempat turun memberikan sosialisasi terkait keselamatan kerja dan bahan galian C.

Menurutnya, warga masyarakat di wilayah Samba, Kelurahan Roworena Barat, Kecamatan Ende Utara tercatat pernah melakukan perlawanan terhadap surat keputusan (SK) Bupati Ende Nomor 87 Tahun 2009 tertanggal 5 Mei 2009 tentang larangan melakukan aktifitas penambangan tanpa ijin di lokasi sepanjang ruas jalan Woloare-Nuabosi.

Namun, warga tetap melakukan penambangan hingga Bupati Wangge berakhir masa jabatan tahun 2014 silam.

Siprianus Rindo, Kadis Pertambangan dan Energi Kabupaten Ende, saat ditemui Mongabay, mengakui aktifitas penambangan tersebut liar dan sudah berulang kali pemerintah melakukan teguran namun masyarakat tetap beraktifitas. Mereka beralasan, terpaksa menambang karena tidak mempunyai lahan untuk bertani.

Jelas Rindo, Pemda Ende, berencana memberikan lokasi penambangan di Kampung Woloare, Desa Reworena di bagian utara lokasi saat ini, agar penambang tidak mengganggu jalan raya.

Rindo menyebut, selain mengancam keselamatan bagi orang lain maupun para penambang sendiri, aktifitas penambangan liar ini juga merusak lingkungan dan akan berpengaruh terhadap daerah aliran sungai Ndona di bagian lembah.

Perlu ada solusi agar masyarakat dapat hidup layak, tidak semata mengandalkan nasibnya dari menjadi penggali pasir dan batu.

Nasib Bukit Samba kini pun mulai terlihat rata dan rawan longsor. Tak lagi terlihat seperti dahulu kala.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,