Koridor Gajah Itu Ada di Antara Jejak Sriwijaya dan Sumber Mineral

Hubungan harmonis antara masyarakat di masa Kerajaan Sriwijaya dengan gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) di Sumatera Selatan, sebenarnya masih terbaca hingga saat ini. Ini terlihat dari berbagai penemuan situs permukiman di masa Kerajaan Sriwijaya dengan koridor gajah yang masih bertahan. Benarkah?

Nunu Anugrah, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, menjelaskan ada delapan habitat gajah di provinsi ini yang menjadi wilayah kekuasaan pertama Kerajaan Sriwijaya. Yaitu, Benakat Semangus, Meranti Sungai Kapas, Lalan, Hutan Jambul Nanti Patah, Mesuji, Saka Gunung Raya, Suban Jeruji, dan Sugihan Simpang Heran.

“Delapan kantong habitat tersebut berada di wilayah pegunungan dan pesisir,” jelas Nunu kepada Mongabay Indonesia, medio Desember ini.

Jika dikaitkan dengan berbagai situs sejarah atau permukiman masa lalu, baik sebelum dan pada masa Kerajaan Sriwijaya, sebagian besar penemuan itu berada dalam kawasan koridor gajah.

Candi Bumiayu, merupakan satu-satunya candi peninggalan agama Hindu dari masa Kerajaan Sriwijaya di penghujung kehancurannya, sekitar abad ke-13 dan 14 Masehi. Candi yang terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir), di sekitar Sungai Lematang ini, menjadi wilayah jelajah kawanan gajah dalam koridor Benakat Semangus.

“Gajah selain masuk Benakat juga sering datang ke Bumiayu, sebab wilayah itu satu koridor dengan Semangus,” kata Noviansyah, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel), Minggu (18/12/2016).

Kawasan hutan di sekitar Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumsel, dulunya merupakan koridor gajah. Kini menjadi wilayah eksplorasi batubara. Foto: David Herman-INFIS
Kawasan hutan di sekitar Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumsel, dulunya merupakan koridor gajah. Kini menjadi wilayah eksplorasi batubara. Foto: David Herman-INFIS

Yang paling banyak ditemukan situs terkait Kerajaan Sriwijaya, yang masuk koridor gajah, terpantau berada di pesisir atau pantai timur Sumatera Selatan. Misalnya pada koridor gajah di Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), ditemukan sejumlah situs permukiman pra-Sriwijaya. Situs permukiman ini ada diperkirakan abad ke-4 dan 5 Masehi.

Begitu juga dengan koridor Sugihan-Simpang Heran, yang meliputi Air Sugihan, Ulak Kedondong, Ketupak dan Simpang Heran, banyak juga ditemukan situs-situs permukiman semasa Kerajaan Sriwijaya.

Kawasan hutan di sekitar Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumsel, dulunya merupakan koridor gajah. Kini menjadi wilayah eksplorasi batubara. Foto: David Herman-INFIS
Kawasan hutan di sekitar Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumsel, dulunya merupakan koridor gajah. Kini menjadi wilayah eksplorasi batubara. Foto: David Herman-INFIS

Koridor gajah dan sumber daya mineral

Yang menarik, hampir semua koridor gajah tersebut berkaitan dengan keberadaan sumber daya mineral. Misalnya, koridor gajah Benakat Semangus yang masuk Kabupaten Musirawas, Muara Enim dan PALI, yang memiliki kekayaan sumber daya batubara dan migas.

Koridor gajah Suban-Jeruji pun kaya dengan potensi migas. Sama seperti di koridor gajah Benakat Semangus, banyak perusahaan saat ini mengeksplorasi migas. Termasuk yang dilakukan masyarakat yang memanfaatkan sumur-sumur tua, peninggalan kolonial Belanda. Begitu juga, koridor gajah Lalan di Kabupaten Muba, yang memiliki potensi migas.

Koridor gajah Saka Gunung Raya di Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan juga diperkirakan memiliki potensi panas bumi. Sementara koridor gajah Mesuji yang masuk di wilayah Sumatera Selatan dan Lampung juga memiliki potensi batubara dan gas metan batubara. Potensi batubara masuk wilayah Lampung dan gas metan batubara masuk Sumatera Selatan.

Lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, yang menjadi perkebunan sawit. Foto: Faisal-INFIS
Lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, yang menjadi perkebunan sawit. Foto: Faisal-INFIS

Kemungkinan besar koridor gajah lainnya di Sumatera Selatan memiliki sumber daya mineral cukup besar. Misalnya, koridor gajah Meranti-Sungai Kapas yang masuk Kabupaten Muba dan Provinsi Jambi juga diperkirakan banyak terdapat potensi metan. Kemudian, koridor gajah Sugihan-Simpang Heran yang dikabarkan memiliki potensi batubara dan migas.

Bahkan jejak koridor gajah yang sudah hilang, seperti di Merapi, Lahat, saat ini menjadi kawasan eksplorasi batubara yang cukup besar. Kini di lokasi itu tersisa 10 gajah di Sekolah Gajah Perangai.

Arca manusia memeluk gajah di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat, Lahat, sebagai simbol keharmonisan hidup manusia dengan gajah. Foto: Rahmadi Rahmad
Arca manusia memeluk gajah di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat, Lahat, sebagai simbol keharmonisan hidup manusia dengan gajah. Foto: Rahmadi Rahmad

Hati-hati

Dengan data di atas, kerusakan lahan gambut di pesisir, baik karena kebakaran maupun pembukaan lahan yang tidak lestari, serta eksplorasi batubara dan migas, bukan hanya mengancam koridor gajah. Tapi juga, mengancam keberadaan situs sejarah terkait Kerajaan Sriwijaya maupun peradaban megalitikum Pasemah.

“Hati-hatilah mengelola lahan gambut dan hutan di Sumsel. Baik yang dilakukan perusahaan, pemerintah, maupun masyarakat. Jangan sampai atas nama ekonomi, jejak peradaban Sriwijaya hilang dari wilayah pesisir timur Sumatera Selatan. Jika ini terjadi, siapa pun dia, baik pemberi kebijakan, pendukung, maupun pelakunya, dapat dikatakan sebagai penjahat kebudayaan karena menghancurkan jejak peradaban Kerajaan Sriwijaya,” kata Conie Sema, pekerja seni dari Teater Potlot kepada Mongabay Indonesia, Minggu (18/12/2016).

Dengan kata lain, kata Conie, apapun yang dilakukan terhadap lahan gambut dan hutan di Sumatera Selatan, yang harus diperhatikan bukan hanya ancaman ekologi dan ekonomi masyarakat. Tetapi juga jejak peradaban Kerajaan Sriwijaya. “Perlindungan artefak Sriwijaya dan gajah merupakan harga mati, jika kita ingin menjaga jejak peradaban Sriwijaya.”

Conie kembali mengingatkan jika skema Taman Sriwijaya yang digagas Tim Spirit Sriwijaya harus didukung pemerintahan Jokowi, baik itu dalam skema restorasi gambut atau lainnya. “Jika itu semua tidak didukung, percayalah jejak peradaban Sriwijaya akan hilang,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,