Lambannya Pemerintah Tetapkan Hutan Adat

“Wilayah kami sudah punya asal usul dari tanah leluhur. Saya sudah empat kali ke Jakarta, belum ada kepastian. Saya khawatir apakah (perjuangan kami) tak dihargaikah, atau tidak dikerjakan…kita sama-sama manusia beradat berbudaya. Kenapa?” Begitu kata Indo Laku atau Iku, sambil terbata.

Perempuan asal Lipu Wana Posangke, Morowali Utara, Sulawesi Tengah ini tak biasa berbicara dengan Bahasa Indonesia. Namun sebisa mungkin, ibu lima anak dan nenek dua cucu ini menjelaskan kisah yang dipendam beberapa tahun terakhir.

Tak mudah bagi Iku sampai ke Jakarta. Untuk sampai ke Morowali Utara saja perlu perjalanan darat sekitar 13 jam dari ibukota Sulawesi Tengah, Palu. Dari Kolonodale, ibukota Morowali Utara,  masih lima jam perjalanan di air,  lantas masing-masing satu jam naik motor dan jalan kaki untuk sampai ke Desa Taronggo, desa terdekat dari pemukiman Iku.

Iku tinggal di kampung tak jauh dari Desa Taronggo. Dia perkirakan ada 50 keluarga hidup di sana. Sehari-hari mereka bekerja bertani, berladang, menanam padi, jagung, ketela, ubi, kacang. Setahun terakhir, warga kampung mulai menanam nilam. Nilam biasa untuk membuat minyak atsiri atau minyak nilam. Saat ini, nilam dihargai Rp5.000 perkilogram.

Dia datang ke Jakarta untuk menuntut penetapan hutan adat masyarakat adat Wana Posangke. Iku, dan masyarakat adat lain di berbagai wilayah di Indonesia menuntut penetapan hutan adat mereka.

Tuntutan ini menyusul putusan Mahkamah Konstitusi no 35 tahun 2012 tentang hutan adat. Dalam putusan MK ini, menyatakan hutan adat, bukan hutan negara.

“Empat tahun berlalu, hingga kini belum satupun hutan adat yang ditetapkan pemerintah,” kata Andi Buyung Saputra, pemangku masyarakat adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Sairin, warga adat Marga Serampas di Kabupaten Merangin Jambi juga mempertanyakan lambatnya penetapan hutan adat yang diajukan sejak 5 Oktober 2015. Padahal, kata Sairin, masyarakat adatlah yang selama ini menjaga hutan dengan baik.

“Sebelum ada Taman Nasional Kerinci Seblat, Serampas punya hutan adat dari nenek moyang kami sekitar 90.000 hektar. Lalu TNKS hadir, Kami menjaga utuh hutan kami karena kami berkepentingan langsung dengan hutan, seperti air, sungai untuk ladang dan pertanian. Kami jaga baik,” katanya.

Di Merangin, kata Sairin, sudah ada Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas. “Sampai kini belum ada (penetapan). Ada apa?” katanya.

Persawahan dengan latar belakang Hutan Adat Rantau Kermas Marga Serampas. Mereka sudah dapat pengakuan perda, menanti penetapan hutan adat dari KLHK. Foto: Elviza Diana
Persawahan dengan latar belakang Hutan Adat Rantau Kermas Marga Serampas. Mereka sudah dapat pengakuan perda, menanti penetapan hutan adat dari KLHK. Foto: Elviza Diana

Berjuang lama

Jika masyarakat hukum adat lain berjuang setelah keluar putusan MK no 35 tahun 2012, masyarakat adat Ammatoa Kajang, Sulsel berjuang untuk penetapan hutan adat sejak 2005. Didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, pemangku adat Ammatoa Kajang ingin penegasan akan hutan mereka segera diterbitkan.

Andi Buyung Saputra, mewakili masyarakat adat mengatakan, sesuai Perda no 9 tahun 2015 tentang pengukuhan masyarakat Ammatoa Kajang, mestinya KLHK tak punya hambatan lagi untuk menetapkan hutan adat mereka.

“Kami ingin mempertegas komitmen KLHK menyangkut 313,9 hektar hutan yang ada di kecamatan Kajang, wilayah adat Ammatoa untuk dikembalikan status sebagai hutan adat. Hutan adat bukan hutan negara.”

Penegasan ini penting, kata Andi, mengingat komitmen Menteri LHK, Siti Nurbaya, yang menyatakan sendiri Ammatoa Kajang telah memenuhi semua persyaratan untuk penetapan hutan adat.

“Ibu menteri sendiri yang bilang ‘tahun ini akan disahkan hutan adat yang pertama yakni Ammatoa Kajang saat kunjungan Agustus lalu. Hingga akhir tahun ini belum juga. Kami bersama pemda sudah menyiapkan usulan pembangunan berbasis adat,” katanya.

Penetapan Ammatoa Kajang sebagai pemilik hutan adat pertama, kata Andi, sangat penting sebagai ujung tombak bagi masyarakat adat lain memperjuangkan hutan.

Sardi Razak, dari AMAN Sulsel yang mendampingi warga Ammatoa Kajang mengatakan, proses administrasi sudah mereka mulai sejak 2005. “Karena terbentur berbagai regulasi, kami masukkan lagi pada 2015 sesuai putusan MK no 35,” katanya.

Benturan regulasi ini juga dialami masyarakat adat Kesepuhan Karang di Lebak, Banten. Seperti disampaikan Wahid, perwakilan masyarakat adat Kesepuhan Karang, sudah lima tahun mereka berjuang mulai dari pembicaraan tingkat desa, kecamatan hingga pemerintah pusat untuk memenuhi persyaratan administratif penetapan hutan adat.

“Mulai dari SK, hingga keluar Perda no 8 tahun 2015 oleh Pemkab Lebak. Kami sampai membawa kesenian adat kami ke kementerian. Kementerian pun sudah datang mengunjungi karena mungkin tidak percaya. Kami juga sudah berbondong-bondong menyerahkan semua dokumen,” katanya.

Namun, bukan penetapan yang didapat, dalam Oktober, Wahid dan masyarakat adat Kesepuhan Karang mendapat informasi, dokumen yang mereka serahkan hilang di kementerian.

“Kami masyarakat jauh di sana tentu bertanya, bagaimana bisa dokumen hilang di tangan pemerintah? Katanya orang yang memegang meninggal. Lalu mereka datang dengan persyaratan baru yang dikeluarkan setelah dokumen kami serahkan,” ucap Wahid.

Dalam persyaratan baru, katanya, mereka harus menyediakan peta wilayah adat baru yang ditandatangani Bupati.

“Permainan apa lagi ini?”

Wahid mengakui benturan regulasi ini membuat semangat mereka kadang surut untuk mendapatkan penetapan hutan adat. “Sampai satu pemangku adat mengatakan, ‘kalau mau keluarkan, keluarkan. Kalau tidak, ya sudah jangan keluarkan aturan baru lagi.” Mereka kecewa terhadap kebijakan kementerian.

Lain lagi cerita Yayasan Merah Putih, yang mendampingi masyarakat adat Wana Posangke, Sulawesi Tenggara. Meski sudah direstui KLHK, YMP kesulitan mengurus persyaratan adminitrasi di kabupaten dan provinsi.

“Saat verifikasi UPT terkait justru menolak menandatangi berita acara yang diajukan YMP. Menurut mereka data yang kami berikan tidak valid, dan mereka merasa tak ada perintah dari Dirjen KSDAE di KLHK,” kata Kiki Rizki dari YMP.

Setelah melalui perdebatan panjang, lanjut Kiki, alih-alih mendapat kejelasan, masyarakat adat dan YMP diminta mengurangi luas wilayah yang mereka ajukan. “Bagaimana komitmen dan kordinasinya ini?”

AMAN Sulsel, kata Sardi Razak, menekankan pada pentingnya negara hadir dalam setiap perampasan hak masyarakat. Penetapan hutan adat, katanya, salah satu upaya mencegah banyak konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun swasta.

Yang lebih krusial, kata Sardi, adalah membangun kepercayaan masyarakat adat terhadap pemerintah. “Masyarakat adat banyak tak percaya pemerintah. Kami pelan-pelan membangun kembali kepercayaan itu sesuai komitmen presiden dalam Nawa Cita. Karena itu,  pemerintah sebaiknya membuktikan komitmen pada masyarakat adat,” katanya.

Direktur Eksekutif HuMa, Dahniar mengatakan,  belum ada penetapan hutan adat sejak putusan MK menunjukkan kegagalan penegakan hukum oleh negara.

“Kita tak melihat penegakan hukum serius,” katanya mencontohkan validasi dokumen yang mestinya hanya dalam 15 hari kerja bisa molor berbulan-bulan.

Keempat komunitas adat ini, katanya, telah memenuhi persyaratan hukum Permen LHK tentang Hutan Hak No 32 tahun 2015 yakni melampirkan minimal tiga dokumen.  Yakni, pernyataan permohonan hutan adat, perda tentang pengakuan hutan adat dan peta wilayah. Mereka juga telah melewati verifikasi dan validasi KLHK.

Mengenai ketakutan negara bahwa masyarakat adat kelak tak bisa menjaga hutan adat, kata Dahniar, sangat tak beralasan. “Justru negara diuntungkan karena dengan masyarakat adat, negara tak perlu biaya patroli dan penjagaan lagi.”

Amran Tambaru, Direktur Yayasan Merah Putih, mengatakan, dengan ketidakjelasan penetapan hutan adat ini akan berdampak makin banyak warga dikriminalisasi, misal, dituduh memasuki cagar alam.

Selain empat masyarakat adat ini, HuMA bersama berbagai lembaga pendamping lain tengah membantu proses penetapan hutan ada beberapa daerah yakni Seko di Kabupaten Luwu Utara (Sulawesi Selatan), Mukim Lango di Kabupaten Aceh Barat (Aceh), Malalo Tigo Jurai di Kabupaten Tanah Datar (Sumatera Barat). Lalu, Margo Suku IX di Kabupaten Lebong, (Bengkulu), Ketemenggungan Desa Belaban Elladi Kabupaten Melawi, (Kalimantan Barat), Ngata Marena di Kabupaten Sigi, (Sulawesi Tengah), Mukim Beungga di Kabupaten Pidie, (Aceh), Ketemenggungan Desa Tapang Semadak di Kabupaten Sekadau, (Kalimantan Barat) dan Kampong Mului di Kabupaten Paser.

Kayu manis, komoditas selain kopi di masyarakat adat Serampas. Foto: Elviza Diana
Kayu manis, komoditas selain kopi di masyarakat adat Serampas. Foto: Elviza Diana
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,