“Ini yang sebenarnya jadi masalah. Janji, komitmen, banyak tetapi realisasi masih nol dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red). Sebenarnya apa masalahnya disini?” kata Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pada acara Catatan Akhir Tahun AMAN di Medan, Kamis pekan lalu.
Dia mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk penetapan hutan adat. Kekecewaan Abdon beralasan. Hingga kini, belum ada satupun penetapan wilayah adat termasuk yang sudah punya peraturan daerah sekalipun. Itu hanya satu, masih banyak janji-janji pemerintah terhadap masyarakat adat yang baru sebatas janji.
Tahun 2016, katanya, tak terpisahkan dari tahun-tahun sebelumnya. Awalnya, tahun ini jadi harapan besar bagi masyarakat adat, yang telah mendukung kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla saat maju pada 2014.
Salah satu alasan mereka begitu optimis mendukung Jokowi-JK, karena ada enam poin tawaran Jokowi-JK terhadap masyarakat adat. Yakni, reformasi hukum agraria, melanjutkan pembahasan RUU masyarakat adat, mendorong perubahan-perubahan sektoral melalui UU sektoral yang berkaitan masyarakat adat. Lalu, membangun mekanisme nasional penyelesaian konflik-konflik agraria, membentuk komisi independen sebagai proses penyiapan yang akan mengawal dan memastikan masyarakat adat jadi bagian sistem nasional.
Point terakhir, memastikan penerapan UU Desa, terutama menyangkut masyarakat adat.
“Pembangunan infrastruktur khusus masyarakat adat sebenarnya poin ketujuh yang kami tawarkan, namun Presiden menyatakan itu tak masuk karena Presiden ingin mengintegrasikan infrastuktur masyarakat adat itu dalam infrastruktur keseluruhan dan menjadi prioritas utama. Realisasi kami tunggu sampai sekarang,” katanya.
Begitulah konsep masyarakat adat yang disusun Pemerintahan Jokowi-JK pada 2015 hingga menjadi angin segar bagi masyarakat adat.
Pada 25 Juni 2015, AMAN kembali bertemu Presiden. Kala itu, Presiden sepakat pembentukan Satgas Masyarakat Adat.
Sebelum memasuki 2016, Presiden Jokowi pada 11 Desember 2015 berpidato di istana negara, pada peringatan Hari Hak Azasi Manusia. Ia menjadi harapan lagi memasuki 2016.
Kala itu, Presiden menyampaikan soal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, penyelesaian konflik agraria, penghormatan terhadap masyarakat adat.
Presiden kala itu, kata Abdon, menyebutkan, jalan keluar harus berani rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur-jalur yudisial maupun non yudisial. Mengenai konflik agraria, jalan keluar dengan membenahi tumpang tindih hak atas tanah, dan menghentikan kriminalisasi masyarakat adat.
“Betapa berbunga-bunganya hati masyarakat adat akhir 2015 itu,” katanya.
Bagaimana pada 2016? Menurut Abdon, tahun ini hubungan dengan pemerintah makin baik. Masa lalu, masa Presiden Soeharto, kala bicara masyarakat adat dianggap supersif atau makar.
Selama setahun terakhir, ada upaya mengundang masyarakat adat dalam berbagai perbincangan negara tentang masa depan Indonesia.
Hubungan AMAN dengan KLHK membaik, sampai ikut tim membahas ketika Presien menjanjikan pembentukan Satgas Masyarakat Adat. Peta wilayah masyarakat adat sudah diterima.
“Meskipun AMAN belum tahu setelah diterima KLHK akan diapain peta wilayah adat 8,3 juta hektar itu.”
Interaksi dengan KLHK, katanya, sudah berjalan baik, tetapi hasil belum kelihatan. Tak ada satupun, katanya, ada penetapan hutan adat. Jadi, kalau mau dibilang, tahun ini sebenarnya harapan tinggi namun hasil masih nol.
AMAN kembali mempertanyakan keseriusan KLHK. “Apa sebenarnya kesulitan KLHK hingga dari 700 sekian peta wilayah hutan adat yang diserahkan, satupun tidak diproses oleh kementerian ini?”
Pada banyak pernyataan di media, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan keseriusan penetapan hutan adat ini. AMAN melihat, di lapangan belum ada bukti kongkrit.
Masih disiapkan?
Roland Pangaribuan, Kepala Seksi Pengukuhan Hutan Adat dan Perlindungan Pengetahuan Tradisional, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK, mengatakan, KLHK sudah menyiapkan penetapan enam hutan adat, yakni, satu di Bulukumba 314 hektar, dan lima di Jambi, salah satu masuk Taman Nasional Kerinci Sebelat 24 hektar.
Selain itu, ada sembilan hutan adat sudah verifikasi dan belum proses, karena berkas permohonan belum lengkap. Jika nanti dilengkapi, baru proses lanjut.
Jadi, katanya, proses penetapan hutan adat ini ada di alokasi penggunaan lain, hutan produksi terbatas sampai hutan lindung. “Secara teknis sudah tak ada masalah lagi.”
Mereka para penjaga hutan
Pemerintah lamban sekali dalam merealisasikan penguatan masyarakat adat, termasuk terhadap penetapan wilayah mereka. Padahal, mereka inilah para penjaga alam yang bisa menjadi andalan dalam menghadapi perubahan iklim.
Andi Buyung Saputra tak habis pikir, mengapa nyaris penghujung 2016, pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tak kunjung menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat Ammatoa Kajang—(salah satu masyarakat adat yang sudah punya perda).
Andi, yang bergelar Labbiriya, semacam tangan kanan dan juru bicara pimpinan masyarakat adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, menilai partisipasi dan peran penting masyarakat adat tak boleh disepelekan dalam menanggulangi perubahan iklim, terutama kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca.
“Mungkin kita semua tak menyadari, masyarakat adatlah yang nyata menjaga keseimbangan alam dan iklim, sebelum kata perubahan iklim itu kita kenal,” katanya dalam diskusi catatan akhir tahun soal perubahan iklim di Jakarta.
Masyarakat Ammatoa Kajang, katanya, hingga kini masih mempertahankan adat istiadat dan aturan berupa pasang (pesan) dan prinsip to kamase mase (kesederhanaan).
Pasang ri Kajang, kata Andi, merupakan hukum adat tak tertulis masyarakat Kajang, berisi nilai-nilai prinsip, hukum, dan aturan dalam merajut hubungan dengan Tuhan, antarsesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Masyarakat Ammatoa Kajang, katanya, salah satu dari 13 masyarakat adat yang mengajukan penetapan hutan adat ke KLHK sejak November 2015.
Penetapan ini penting, mengingat ada pengakuan konstitusi dan hukum nasional atas masyarakat adat, yakni Ketetapan MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Putusan MK No 35 tahun 2012 soal penetapan hutan adat.
Berbagai syarat untuk penetapan telah diikuti masyarakat Kajang melalui dokumen termasuk SK Bupati Bulukumba No 760/VII/2013 dan Perda No.9 tahun 2015 tentang Masyarakat adat Ammatoa Kajang.
Alasan lain penetapan penting, katanya, mengingat ancaman eksternal dan internal yang dihadapi masyarakat Ammatoa Kajang.
Dahniar Adriani, Direktur Eksekutif Perkumpulan HuMA, mengatakan, luas hutan adat yang dimohonkan HuMa dan berbagai lembaga pendamping kepada KLHK pada 2015 hanya 0,4% dari total hutan Indonesia. “Tak sampai satu persen.”
Sayangnya, kepastian perlindungan dan pengakuan hak masyarakat hukum adat atas hutan ini cukup sulit, karena harus punya hukum daerah (perda).
“Saat ini UU yang mengakui masyarakat adat belum ada. Ada perbedaan pendekatan dalam menyebut masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum hingga komitmen politik lemah pada tingkat implementasi.”
Masyarakat adat yang diajukan, katanya, memiliki hutan dengan status bersih dan jelas, alias tak dalam kondisi konflik. Meski ada beberapa daerah berada dalam cagar alam, seperti masyarakat Wana Posangke di Sulawesi Tengah dan Kesepuhan Karang di Lebak, Banten.
Namun, kedua masyarakat adat di cagar alam ini memiliki kearifan lokal yang bisa menjamin mereka menjaga hutan.
Masyarakat Kesepuhan Karang, misal, hanya mengambil kayu sesuai kebutuhan mereka, tanpa eksploitasi berlebihan. Atau masyarakat Wana Posangke punya prinsip Kapali atau hutan larangan, yang tak boleh dimanfaatkan atau diolah.
Kapali, ada yang boleh dimasuki anggota komunitas namun tak boleh mengambil atau merusak. “Adapula yang sama sekali tak boleh dimasuki, dalam model pengelolaan hutan versi negara semacam hutan konservasi,” ucap Dahniar.
Masyarakat Wana juga punya istilah pangale, atau hutan rimba yang tak diolah demi menjaga perlindungan mata air, kesuburan tanah dan rekreasi– yang dalam pengelolaan hutan negara sama dengan hutan lindung.
Ada pula, pompalivu, yakni hutan tempat mencari hasil hutan bukan kayu seperti rotan, damar, gaharu dan madu. “Seperti hutan produksi terbatas dalam pembagian kawasan hutan versi negara.”
Dosen Hukum Agraria Universitas Andalas, Kurniawarman mengatakan, keberadaan hutan adat sangat penting sebagai katup pengaman kepunahan hutan alam di hutan negara.
“Sebagian besar hutan alam di negara berkembang menjadi obyek eksploitasi melalui instrumen izin. Penguatan hutan adat sesuai fungsi diharapkan mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” katanya seraya mengatakan, hutan negara hanya menjadi modus eksploitasi izin.
Penetapan hutan adat, katanya menjadi bermasalah, karena UU Kehutanan mensyaratkan perda. Seharusnya, hutan adat tak memerlukan penetapan kecuali masyarakat hukum adat perlu penetapan atas tanah, misal, terkait batas-batas.
“Jadi yang didaftarkan tanah bukan hutan. Hutan adat adalah hutan di atas tanah adat.”
Keberpihakan pemerintah
Peneliti Forest People Program, Emil Ola Kleden, mengatakan, kebijakan publik baik masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maupun Joko Widodo hingga kini, tak mengatur partisipasi dan hak masyarakat adat. “Padahal partisipasi masyarakat itu kontrol masyarakat atas pemerintahan yang baik dan bersih,” katanya.
Dalam penelitian terbaru Emil menyimpulkan, tak ada konsistensi dalam peraturan perundangan dan kebijakan terkait perubahan iklim. Terbukti dari tak jelas makna partisipasi masyarakat dalam banyak kebijakan publik.
“Kebijakan terkait hutan dan perubahan iklim sedikit sekali mengatur partisipasi masyarakat sementara UU Kehutanan mengatur partisipasi masyarakat. Ini artinya peraturan turunan tak menerjemahkan lebih jauh kandungan partisipasi dalam UU.”
Partisipasi yang dimaksud, katanya, adalah hak masyarakat ikut dalam pembuatan keputusan atau kebijakan publik. “Masyarakat mestinya memegang kontrol atas kebijakan publik agar tercipta tata kelola pemerintahan yang baik dan tertib sosial.”