Monopoli Lahan Adalah Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Benarkah?

Kedatangan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, 21 Desember 2016, hampir menggenapi dua tahun pertemuannya dengan organisasi sipil masyarakat di Kalimantan Barat. Saat itu, organisasi sipil masyarakat meminta agar Joko Widodo dapat memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Hal ini sedemikian mendesak, mengingat dampak utama yang merasakan dari buruknya pengelolaan tersebut adalah masyarakat kecil.

Dua tahun ini, kondisi tata kelola sumber daya alam belum berubah. Ekspansi investasi industri skala besar berbasis hutan dan lahan di Kalimantan Barat bahkan telah mencapai titik kritis. Dari 14,6 juta hektare luas provinsi ini, 98 persennya telah dibebani izin investasi. Sampai akhir 2014, luas dan jumlah izin perkebunan kelapa sawit telah mencapai 5,5 juta hektare untuk 513 perusahaan.

Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat pun menyampaikan kekecewaan terhadap pemerintahan Jokowi-JK atas komitmennya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak hidup masyarakat kecil. “Rendahnya komitmen tergambar dengan berulangnya berbagai pelanggaran HAM dari berbagai sektor yang berkenaan dengan hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya,” kata Wahyu Setiawan, Koordiator Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat (Kalbar).

FPR Kalbar merupakan gabungan dari beberapa organisasi sipil masyarakat yakni; Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Wilayah Kalimantan Barat, Serikat Tani Kubu Raya (STKR)-AGRA Cabang Kubu Raya, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kota Pontianak, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Ranting Universitas Tanjungpura, Serikat Pemuda Dayak (SPD) Wilayah Kalimantan Barat, Serikat Perempuan Rakyat (SPR) Wilayah Kalimantan Barat, Link-AR Borneo, dan Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan (PBHK).

Perkebunana sawit yang perlahan menggantikan hutan alam. Foto: Rhett Butler
Perkebunana sawit yang perlahan menggantikan hutan alam. Foto: Rhett Butler

FPR menilai masifnya perampasan dan monopoli atas tanah memunculkan berbagai persoalan sosial antara lain; kemiskinan, konflik agraria, perampasan upah dan jaminan sosial serta pengangguran yang terus meningkat di pedesaan, serta kondisi hidup rakyat memburuk.  Dari data FPR Kalbar, investasi kelapa sawit menjadi primadona dengan 413 izin, seluas 5,5 juta ha, diikuti pertambangan (622 izin) seluas 5,2 juta ha. Sementara hutan tanaman industri di Kalbar telah dibebani 52 Izin dengan alokasi seluas 2,4 juta hektare, serta hak penguasaan hutan sebanyak 25 izin dengan luas 1,2 juta hektare.

Menurut Wahyu, konflik agraria adalah cerminan buruknya tata kelola hutan dan lahan serta kegagalan pemerintah dalam mengatasi persoalan ekonomi, politik, dan budaya. “Perampasan dan monopoli atas tanah merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang tak kunjung usai penyelesaiannya.”

Konflik Agraria yang Terjadi di Kalimantan Barat 

No Lokasi Korban Pelaku Yang disengketakan
1 Kubu Raya, Kecamatan Kubu, Desa: Seruat Dua, Pelita Jaya, Mengkalang Jambu, Mengkalang Guntung, Olak-Olak Kubu, Dabong. 123 orang Perusahaan PT. Sintang Raya, Kepolisian, Pereman Perusahaan. Lahan masyarakat, kebun plasma.
2 Bengkayang, Kecamatan Lembah Bawang, Desa: Godang Damar, Papan Uduk, Papan Tembawang, Kinande, Kedondong. Masyarakat Adat Perusahaan PT. Darmex Agro, Kepolisian dan Preman Perusahaan. Lahan Adat Masyarakat.
3 Bengkayang, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan Desa: Rukmajaya, Karimunting. Kota Singkawang Kelurahan Sagatani dan Pamilang 300 orang Perusahaan PT. Patiware dan Kepolisian. Lahan Masyarakat
4 Bengkayang, Kecamatan Jagoi Babang, Desa: Semunying Jaya Masyarakat Adat PT. Ledo Lestari Lahan Masyarakat Adat
4 Sintang, Kecamatan Kelam Permai Desa: Ensaid Panjang, Merpak. Masyarakat Adat Perusahaan PT. Julung Lahan Masyarakat Adat
5 Kapus Hulu, Sentabai Masyarakat Adat Perusahaan PT. PGM Lahan Masyrakat dan Upah murah dan jaminan sosial bagi buruh.
6 Kapus Hulu, Kecaatan Putusibau Selatan, Desa: Nanga Bungan dan Tanjung Lokang Masyarakat Adat TN. Betung Kerihun Lahan Masyarakat Adat.
7 Landak, Kecamatan Jelimpo Masyarakat Adat PT. DLP Lahan Masyarakat Adat

Sumber: AGRA KALBAR, 2016

Agus Sutomo, dari Link-Ar Borneo menambahkan, perampasan tanah yang terjadi untuk perkebunan skala besar, HPH, pertambangan, dan mega proyek infrastruktur, telah mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan rakyat di Kalimantan Barat. “Tindakan yang dilakukan negara dan korporasi sama dengan genosida secara sistematis terhadap rakyat di Kalimantan Barat. Hanya untuk mendapatkan keuntungan dari kekayaan alam Kalimantan Barat,” ungkapnya.

Pemerintahan Jokowi-JK juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak populis, dan berdampak pada hajat hidup masyarakat. Diantaranya perundingan Regional Comperhensive Partnerships (RCEP) yang merugikan rakyat, serta skema Kesepakatan Perdagangan Bebas dan investasi (FTAs) lainnya seperti World Trade Organizations (WTO) dan Trans Pasific Partnerships (TPP).

Lahan masyarakat tak jarang terampas saat perusahaan sawit datang. Foto: Rhett Butler
Lahan masyarakat tak jarang terampas saat perusahaan sawit datang. Foto: Rhett Butler

Wahyu menambahkan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat juga menjalankan skema turunan dari pemerintah pusat. “Mereka tidak mampu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang terjadi di Kalimantan Barat, seperti perampasan tanah, intimidasi, teror, tindakan kekerasan, kriminalisasi, hingga memenjarakan petani desa Olak-Olak Kubu, Seruat 2 dan desa-desa lain di Kecamatan Kubu,” katanya.

Selain itu, keberadaan taman nasional menyebabkan terampasnya Tanah Ulayat 7 Ketemenggungan. Belum lagi, larangan seperti menebang kayu, berburu, berladang, atau melakukan pekerjaan yang turun temurun dikerjakan masyarakat adat Dayak. “Di tanah ulayat tersebut, mereka tidak bisa beraktivitas.”

Atas berbagai persoalan tersebut, FPR Kalbar menuntut pemerintah melaksanakan reforma agraria, membangun industri nasional, dan menghentikan privatisasi dan liberalisasi sektor industri vital bagi kehidupan rakyat dan bangsa. “Pemerintah harus mewujudkan demokrasi seutuhnya sebagai syarat tegaknya HAM. Pemerintah juga menghentikan tindakan kekerasan, kriminalisasi, intimidasi terhadap kaum tani, serta membebaskan seluruh petani yang ditahan akibat konflik agraria.”

Wahyu melanjutkan, pemerintah juga harus melakukan audit seluruh bentuk perizinan usaha berbasis lahan di Kalimantan Barat. “Cabut izin usaha industri ektraktif baik perkebunan, HPH, HTI yang bermasalah dan melanggar HAM,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,