Hutan Alam dalam Konsesi Perkebunan Kayu Masih Terbabat

Hutan alam ternyata terus tergerus . Hingga penghujung 2016, penghilangan hutan alam dalam perkebunan kayu masih terjadi. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat,  pada 2013-2016,  hutan alam hilang di konsesi perkebunan kayu di Sumatera Utara dan Riau seluas 208.315 hektar.

Persentase terbesar dari konsesi penyuplai industri pulp and paper, yakni kilang Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) 59%, disusul Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) 26%, dan Toba Pulp Lestari (TPL) 2%.

Juru kampanye FWI, Mufti Fathul Barri mengatakan, total kapasitas produksi tiga kilang minyak pulp di Riau dan Sumut mencapai 5.249.521 ton per tahun. Jika pakai asumsi riap (pertumbuhan dimensi pohon, diameter dan tinggi hingga masak tebang-terendah), industri di dua wilayah ini kekurangan bahan baku 5.123.133 meter kubik. Jika riap tertinggi mampu hasilkan 1.754.259 meter kubik.

“Kekurangan bahan baku diindikasikan diambil dari kayu hutan campuran dan pembukaan kanal gambut. Jika pengelolaan maksimal seharusnya tak ada lagi hutan alam hilang di konsesi. Ini jadi citra buruk pengelolaan hutan di Indonesia,” katanya.

Tak hanya itu, dugaan pembakaran dan pembiaran kebakaran juga masih menjadi momok tak terselesaikan hingga kini.

FWI, katanya, sengaja menggunakan istilah perkebunan kayu karena pengertian hutan dalam UU Kehutanan tak relevan dengan istilah hutan tanaman.

Dalam UU, katanya, hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati didominasi pepohonan yang tak bisa dipisahkan.

Kegiatan pada izin usaha pengelolaan hutan akan menebang habis tanaman kayu hingga tak ada lagi kesatuan ekosistem.

Menurut Mufti, perusahaan-perusahaan ini bukan tak punya kebijakan melindungi hutan dalam rantai pasokan.

IKPP/APP, misal punya kebijakan Forest Conservation Policy (FCP) dengan prinsip tak ada lagi pembukaan hutan alam tempat perusahaan beroperasi. Mendukung pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca, pakai prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) untuk menghindari dan mengatasi konflik sosial dan memastikan sumber pulp impor mendukung manajemen hutan bertanggungjawab.

Rantai pasokan sumber kayu IKPP terbesar dari Riau, lewat 14 perusahaan mitra dengan total luas 800.000 hektar. Berdasarkan analisis citra satelit, selama tiga tahun terakhir terjadi kehilangan hutan alam dalam beberapa konsesi pemasok IKPP di Riau seluas 122.131 hektar.

Untuk RAPP/APRIL Group juga punya kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan dimulai 28 Januari 2014. Komimen itu menyatakan, APRIL Group dengan seluruh rantai pasokan berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan di seluruh areal kerja perusahaan dengan menerapkan praktik terbaik dalam bidang sosial, lingkungan dan ekonomi.

APRIL berkomitmen menghentikan deforestasi hutan alam dari rantai pasokan dan melindungi hutan dan lahan gambut di mana perusahaan beroperasi.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku RAPP bermitra dengan 30 perusahaan perkebunan kayu dengan lahan seluas 1.058.074 hektar. Namun hutan alam yang tersedia di konsesi RAPP di Riau dan Sumatera hanya tinggal 14,5% atau 104.407 hektar.

Dengan kata lain, selama 2013-2016 terjadi pembabatan hutan alam di konsesi RAPP seluas 53.249 hektar.

“Ini potret nyata kondisi kerusakan alam yang terjadi di rantai pasokan kilang RAPP,” katanya.

RAPP juga punya izin perkebunan kayu di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, sebuah pulau kecil seluas 111.000 hektar. Tiga tahun lalu,  pulau ini masih punya 64.000 hektar hutan alam, 27.000 hektar dalam konsesi RAPP.

Citra satelit menunjukkan, konsesi RAPP di Pulau Padang hanya menyisakan 5.000 hektar hutan alam dan 22.000 hektar lenyap sejak 2013.

Direktur Yayasan Mitra Insani. Muslim Rasyid mengatakan, kedua perusahaan perkebunan kayu telah menabrak berbagai kebijakan perlindungan gambut yakni PP 71 tahun 2014 jo PP No 57 tahun 2016. Juga, Surat Menteri LHK No 494 tahun 2015 tentang Pelarangan Pembukaan Lahan Gambut, dan surat Menteri LHK tentang arahan Presiden terkait larangan pembukaan lahan gambut meski berada di konsesi.

Pembangunan perkebunan kayu, katanya,  juga sering mengabaikan kelestarian bentang alam pulau kecil. UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, tak jadi pertimbangan dalam menjamin kelangsungan ekologi dan kehidupan di suatu pulau. Misal, di Pulau Padang dan Pulau Rupat, luas kurang 2.000 kilometer persegi.

Temuan lapangan YMI pada Oktober 2016, di Pulau Padang masih ada aktivitas penanaman akasia di lahan gambut dibuka Juli-Agustus sebelumnya.

Konsesi perusahaan mitra RAPP, PT Sumatera Riang Lestari (SRL) di Pulau Rupat, pulau kecil di Bengkalis seluas 150.000 hektar. Di pulau ini, pada 2013,  masih punya hutan alam 33.627 hektar atau 22% dari luas daratan.

Saat ini,  45% atau sekitar 15.000 hektar hutan alam Pulau Rupat dalam konsesi SRL. “Perusahaan ini menguasai 25,4% daratan pulau ini,” ucap Muslim.

Pada 2015, izin perusahaan sempat dibekukan karena mengalami kebakaran hutan. Tiga tahun terakhir hutan alam dalam konsesi SRL hilang 3.323 hektar.

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13). Mereka protes penangkapan warga yang menuntut tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat hidup secara turun menurun. Hingga kini, belum ada penyelesaian konflik. Foto: Sapariah Saturi
Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13). Mereka protes penangkapan warga yang menuntut tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat hidup secara turun menurun. Hingga kini, belum ada penyelesaian konflik. Foto: Sapariah Saturi

Konflik dengan masyarakat

Menurut Muslim, kebakaran hutan terjadi di konsesi SRL seolah ingin mengkambinghitamkan masyarakat. Beberapa warga di Desa Titi Akar ditangkap dan ditahan di Polsek Rupat Utara diduga membakar lahan. Karena tak cukup bukti, mereka dilepaskan.

Pembukaan hutan alam oleh RAPP juga menimbulkan konflik dengan masyarakat Desa Bagan Melibur, Mengkirau dan Lukit. Konflik bermula saat warga protes, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 180 tahun 2013 menyatakan desa mereka dikeluarkan dari konsesi RAPP.

Kasus lantas ditengahi pemerintah Kepulauan Meranti dan disepakati perusahaan harus menghentikan operasi di Bagan Meranti hingga ada penyelesaian. “Perusahaan tetap lanjut menebang hutan alam dan menggali gambut untuk kanal dengan pengawalan aparat polisi.”

Inspeksi mendadak Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) menemukan kanal cabang selebar lima meter dan kanal induk 20 meter. “Namun Presiden Direktur RAPP, Tony Wenas mengatakan itu untuk sekat api dan embung untuk mengurangi kebakaran,” kata Muslim.

Bagaimana dengan Sumatera Utara dan TPL? Keadaan tak jauh beda.

TPL, punya kebijakan kelestarian yang digagas sejak Desember 2015, komitmen menghilangkan deforestasi dari semua rantai pasokan mereka. Pada 2014,  TPL juga pernah berkomitmen moratorium atas inisitaif sendiri.

Dari hasil kunjungan FWI dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) selama 2016, TPL tetap menebang hutan campuran.

Menurut analisis citra satelit, sejak 2013, di konsesi TPL terjadi deforestasi 4.988,89 hektar atau 52% mengubah hutan menjadi non hutan.

Dalam konsesi TPL, dari total 188.055 hektar, 15.590 hektar hutan lindung dan 4.385 hektar area penggunaan lain (APL). Dari hutan lindung, 1.694,04 hektar jadi kebun eucalyptus, yang makin memicu kerusakan daerah tangkapan air Danau Toba.

“Berbagai masalah timbul sejak kehadiran TPL,” kata Delima Silalahi mewakili KSPPM.

TPL menggunakan limbah padat sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan di area hutan tanaman industri mereka. Area ini,  berada di hulu sungai. “Akibatnya timbul gatal-gatal dan ISPA saat warga menggunakan air sungai,” katanya.

“Setiap hari masyarakat mencium bau busuk tajam dan membuat kepala pening dari produksi pulp yang mengeluarkan berbagai limbah gas beracun dan berbau, seperti metilmerkaptan.”

Selain itu,  juga muncul hama dan penyakit tanaman pada kopi dan padi warga serta pencemaran air dan tanah sekitar hutan kemenyan.

Dampak lain, jalan rusak akibat truk bertonase lebih lalu lalang. “Saat Kapolres berusaha menertibkan, Kapolres malah dimutasi,” ucap Delima.

Belum lagi, tanah adat terampas dengan dalih reboisasi dan perluasan hutan. Sejak 1989,  seringkali terjadi konflik antara TPL—dulu Inti Indo Rayon Utama.

“Warga menuntut mengeluarkan wilayah adat dari konsesi TPL dan membuat kebijakan terkait pelestarian hutan kemenyan. Sementara itu TPL harus berhenti operasi terutama di Desa Pandumaan dan Sipituhuta,” katanya.

 

 

Rekomendasi

FWI bersama YMI dan KSPPM meminta pemerintah mengkaji ulang izin konsesi perkebunan kayu yang terbukti melanggar, baik menghilangkan hutan alam maupun menimbulkan konflik dengan masyarakat.

FWI juga meminta penegakan hukum adil, kaji ulang tata batas hutan, menjalankan mandat UU, penyelesaian konflik, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,  dan penghentian izin perkebunan kayu yang berpotensi menimbulkan konflik.

Kepada perusahaan,  FWI mendesak mereka menjalankan komitmen yang dibuat untuk melindungi hutan, dan bertanggungjawab terhadap oknum perusahaan yang melanggar. Juga mengakui dan melindungi masyarakat sekitar wilayah kelola.

“Yang terpenting, tak ada lagi ekspansi atau koversi hutan alam jadi perkebunan kayu saat ini dan mendatang,” ucap Mufti.

Muslim berharap,  ada ketegasan dari pihak berwenang mengembalikan kawasan hutan sesuai fungsi.

“Pemerintah harus tegas dan serius tangani konflik perusahaan dengan warga, hentikan kriminalisasi masyarakat,” ucap Delima.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,