Transformasi Israk, dari Ibu Rumah Tangga Menjadi Petani Pengusaha

Israk (30) kini bisa bernafas lega. Dulu, Ia hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan apa-apa. Gaji suaminya sebagai sopir angkutan umum kadang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kini ia mendulang sukses dengan usaha pembibitan tanaman yang dilakoninya sejak empat tahun terakhir.

“Alhamdulillah sekarang saya pribadi saja bisa menghasilkan rata-rata Rp3 juta per bulan dari pembibitan ini. Belum termasuk penghasilan suami saya yang kini fokus menggarap kebun. Kalau dulu paling hanya bisa dapat Rp1 juta perbulan dari gaji suami sebagai sopir,” katanya kepada Mongabay, akhir November 2016 lalu.

Israk adalah petani pembibit dari Desa Kaluloe, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang empat tahun terakhir ini mendapatkan pendampingan dari program Agfor Sulawesi. Program ini dimulai pada tahun 2011 oleh The World Agroforestry Centre (ICRAF) dengan dukungan dari Pemerintah Kanada bermitra dengan pemerintah daerah, CIFOR, Winrock International, LSM Balang, OWT, LSM Komunitas Teras, Universitas Hasanuddin, Japesda dan BaKTI.

Menurut Israk, saat ini jenis tanaman yang dibibitnya antara lain talas, cengkeh, kakao, merica dan sejumlah tanaman perkebunan lain. Jenisnya tanaman yang dibibit tergantung pada pesanan petani.

“Biasanya kita bibit sesuai dengan apa yang banyak dipesan. Kalau saat ini stok bibit talas sekitar 3000 bibit yang siap dijual. Ada juga kakao dan cengkeh masing-masing 1000 bibit,” katanya.

Jika pembibitan tanaman kakao dan cengkeh telah dilakukannya sejak 2012 lalu, maka talas baru dilakukannya setahun terakhir seiring dengan semakin banyaknya warga yang menanam tanaman umbi-umbian tersebut.

“Pembelinya selain dari warga di sini juga dari daerah lain. Kakao misalnya banyak dari Kabupaten Jeneponto dan Gowa, sementara talas masih sebatas dari Kabupaten Bantaeng.”

Untuk tanaman talas yang memiliki masa waktu pembibitan 20 – 30 hari, dijualnya dengan harga Rp600 per bibit, sementara cengkeh dan kakao yang memiliki masa waktu pembibitan yang lebih lama, yaitu 3 – 6 bulan dijualnya dengan harga bervariasi, antara Rp7000 – Rp10 ribu per bibit.

“Umumnya dijual Rp10 ribu per bibit, namun kita lihat juga tingginya. Jika di bawah 30 cm paling dijual di bawah harga Rp7 ribu.  Umumnya dilihat dari tinggi, namun biasanya sekitar 3 bulan hingga 6 bulan. Lama waktu pembibitan cengkeh dan kakao hampir sama, hanya saja pada kakao tekniknya dengan cara disambung. Sebulan setelah disambung baru bisa dijual,” jelas Israk.

Dengan konsep agroferstry petani di Desa Kaluloe, Bantaeng, Sulawesi Selatan bisa berkebun beragam macam tanaman perkebunan di dalam hutan tanpa harus menganggu kelestarian lingkungan sekitar. Hutan pun tetap terjaga kelestariannya, termasuk sumber air yang ada di sekitar. Foto: Wahyu Chandra
Dengan konsep agroferstry petani di Desa Kaluloe, Bantaeng, Sulawesi Selatan bisa berkebun beragam macam tanaman perkebunan di dalam hutan tanpa harus menganggu kelestarian lingkungan sekitar. Hutan pun tetap terjaga kelestariannya, termasuk sumber air yang ada di sekitar. Foto: Wahyu Chandra

Untuk membuat usaha pembibitan ini, Israk tak membutuhkan lahan yang luas. Hanya memanfaatkan lahan pekarangan rumah seluas 9×6 meter. Pengetahuan dan keterampilan pembibitan diperolehnya dari berbagai pelatihan dan pendampingan dari Agfor.

“Selama ini Agfor menggenjot agar pola pikir kami berubah, namun bukan dengan paksaan tapi sukarela. Cara mendidiknya itu beda dengan program lain. Dia juga menanamkan jiwa bisnis. Sebelumnya saya hanya ibu rumah tangga yang tinggal di rumah, sekarang akhirnya sekarang bisa punya usaha sendiri. Dari program ini kami jadi tahu bahwa perempuan juga bisa tonji menjadi petani pengusaha,” ungkapnya dengan bangga.

Permberdayaan masyarakat

James M. Roshetko, pimpinan senior AgFor Sulawesi, pada acara penutupan program ini di Kabupaten Kantor Kecamatan Tompobulu, Bantaeng, Senin (28/11/2016) menyatakan kepuasan dan kebanggaannya atas apa yang telah dicapai oleh Israk dan ratusan ribu petani lainnya di Sulawesi yang mendapat dukungan dari program Agfor dalam lima tahun terakhir.

Agfor sendiri mengklaim bahwa selama pelaksanaan program lebih dari 630.000 orang, yang 52 persen di antaranya adalah perempuan, telah mengalami peningkatan pendapatan, berkat penerapan teknologi pertanian. Sementara sekitar 950.000 petani, yang setengahnya adalah perempuan, telah mendapatkan akses yang lebih mudah untuk pembibitan yang berkualitas, peningkatan hasil produksi, pengendalian hama dan penyakit, sehingga pendapatannya meningkat dan lebih berkelanjutan.

AgFor juga telah mendampingi 25.000 orang dalam mengelola lahan secara berkeberlanjutan dan meningkatkan pendapatan mereka melalui pembuatan 500 kebun contoh agroforestri dan 280 pembibitan yang kemudian telah menghasilkan lebih dari 1,5 juta bibit unggul.

“Berkat dukungan dari Pemerintah Kanada dan mitra kami, angka capaian proyek benar-benar melampaui target yang ditetapkan. Proyek ini harus menjadi contoh pada tingkat nasional, bahkan internasional, bahwa kerjasama yang efektif antara masyarakat, LSM, peneliti dan pemerintah pada berbagai tingkatan akan menghasilkan capaian yang luar biasa,” ungkap Roshetko.

Peter MacArthur, Duta Besar Kanada untuk Indonesia, yang hadir dalam penutupan tersebut juga menyatakan kebanggaan dan apresiasinya pada capaian program Agfor tersebut, yang manfaatnya bisa dirasakan oleh petani.

“Sebagai duta besar Kanada untuk Indonesia, saya merasa senang dapat menjadi bagian dari peristiwa penting ini dalam perjalanan pertama saya ke luar Jakarta,” katanya.

Peter MacArthur, Dubes Kanada untuk Indonesia, menilai pentingnya pelestarian hutan sekaligus pemberdayaan masyarakat yang ada di sekitar hutan. Foto: Wahyu Chandra
Peter MacArthur, Dubes Kanada untuk Indonesia, menilai pentingnya pelestarian hutan sekaligus pemberdayaan masyarakat yang ada di sekitar hutan. Foto: Wahyu Chandra

Menurut McArthur, selama ini kawasan Sulawesi menjadi penting bagi pemerintah Kanada dan menjadi wilayah prioritas pemerintah Kanada dalam sektor pembangunan.

“Praktek-praktek cerdas yang disampaikan kepada masyarakat di Bantaeng dan lainnya ini tak lain tujuannya untuk perubahan, yaitu pertama perubahan ekonomi masyarakat. Kedua perubahan tata kelola lahan terutama hutan. Bantuan ini juga sesuai dengan strategi pengelolaan sumberdaya alam nasional Indonesia.”

Hal yang penting dari program ini, menurutnya adalah kemampuan petani untuk mendiserfikasi lahan dimana terdapat produk tambahan yang bisa diproduksi oleh para petani melalui praktek pertanian yang berkelanjutan.

“Selain itu, sangat tepat kalau Agfor berada di Sulawesi karena Pemerintah Kanada saat ini juga melihat isu perubahan iklim sebagai hal yang penting.”

Terkait perubahan iklim ini, menurut MacArthur, Pemerintah Kanada melihat pentingnya melindungi atmosfir dan pengaruh CO2 secara global.

“Jadi, ada konsep solusi win win win dimana petani bisa diberdayakan, kemampuan dan kapasitasnya juga meningkat dan di sisi lain dunia diuntungkan dengan adanya pelestarian hutan.”

Syamsu Alam, Kepala Bappeda Bantaeng, menilai keberadaan program Agfor ini memberikan manfaat terkait pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam hal peningkatan keterampilan masyarakat, baik dalam hal budidaya dan pengolahan, serta mendorong perbaikan lingkungan hidup.

“Manfaat lainnya adalah mendorong lahirnya regulasi pengelolaan sumberdaya alam yang lebih adil dengan lahirnya Peraturan Bupati tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan,” tambahnya.

Selain itu, program ini juga dinilai mampu merubah mindset pemerintah, yang dulunya hanya bekerja dengan pendekatan proyek yang parsial dan sektoral, kini lebih pada pendekatan program.

“Kalau pendekatan proyek yang penting pekerjaan selesai, sementara dengan pendekatan program harus berkelanjutan. Lalu ada juga sinergitas antarstakeholder, baik itu dari pemda, masyarakat, universitas dan LSM.”

Salah satu contoh sinergitas ini, menurut Syamsu Alam, bisa dilihat dari apa yang dilakukan Pemda Bantaeng saat ini, yang sedang membangun kawasan industri untuk pengolahan dan pemasaran kopi dimana semua pihak berpartisipasi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,