Ada UU Perkebunan, Sebenarnya Mau Atur Apalagi RUU Perkelapasawitan?

Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan terus menjadi perbincangan. Firman Soebagyo, Ketua Panja RUU meyakinkan UU tak akan diskriminasi dan mengutamakan kepentingan semua pihak. Meskipun begitu, urgensi UU ini dipertanyakan, belum lagi potensi tumpang tindih aturan karena sudah ada UU Perkebunan. Rancangan UU ini juga dinilai tak jelas mau menjawab persoalan apa.

”Saya inisiatornya, UU ini bisa menjadi payung hukum untuk melindungi kepentingan, dari kecil hingga besar,” kata Firman dalam Seminar Nasional Mengkaji RUU Perkelapasawitan, baru-baru ini di Jakarta.

Dia memastikan, UU ini tak akan mematikan perkebunan rakyat. UU ini penting, katanya, karena sawit dianggap memiliki kontribusi besar dalam penerimaan negara, dibandingkan minerba dan migas.

”Jika sawit mau dimatikan seperti sekarang ini, darimana alternatif pengganti penerimaan negara? Idealismenya UU ini untuk mengedepankan nasional,” katanya coba mencari alasan. Firman meminta, kehadiran negara mendukung pelaku industri sawit.

UU ini, katanya, akan mengatur terkait pengolahan sawit dari hulu hingga hilir, termasuk sisi tenaga kerja. Dengan begitu, bisa mengakomodasi dari berbagai pelaku usaha skala kecil, menengah dan besar.

”Kita akan sinergikan, pengusaha besar kita kembangkan dan pengusaha kecil dan menengah juga kita besarkan,” katanya.

UU ini diharapkan mampu membantu industri sawit nasional dalam bersaing dagang dengan Malaysia. ”Mereka sudah rapi bikin UU, lembaga, badan khusus, kita tertinggal.”

Gayung bersambut. M. Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, jika sawit tak ada payung hukum kuat, maka persoalan, seperti intervensi dan lain-lain sulit teratasi.

Pendapat beda datang dari Diah Suradiredja, Chief Board of Representative Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) menyatakan, UU ini tak menjawab persoalan sawit sesungguhnya.

Dia menyebutkan, setidaknya ada tiga poin persoalan perkebunan sawit, yang tak terakomodir dalam beleid ini ataupun tumpang tindih dengan UU Perkebunan.

Pertama, penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan. ”Ini permasalahan serius di lapangan.” Mekanisme penyelesaian ini masih belum teratasi meski sudah ada program perhutanan sosial. Program ini memiliki celah dalam hal kepemilikan dengan menjadi kebun petani rakyat ataukah petani berdasi.

Kedua, terkait data petani dan lahan sawit. RUU ini dianggap tak mampu menyelesaikan status perkebunan di kawasan hutan. Faktanya, banyak modus lahan petani sudah menjadi kejahatan terorganisir.

Dia mencontohkan, modus lahan petani oleh korporasi melalui kebakaran/pembakaran lahan, penyerobotan, ataupun masyarakat ‘pilihan,’ yang masuk wilayah masyarakat adat belum tersentuh pemerintah,  namun sudah menanam sawit.

 

 

 

Sawit dari kebun diangkut pakai truk menuju pabrik. Keterlacakan asal sawit masih lemah hingga potensi asal buah dari kawasan-kawasan terlarang masih tinggi. Tantangan mencapai sawit berkelanjutan. Foto: Sapariah Saturi
Sawit dari kebun diangkut pakai truk menuju pabrik. Keterlacakan asal sawit masih lemah hingga potensi asal buah dari kawasan-kawasan terlarang masih tinggi. Tantangan mencapai sawit berkelanjutan. Foto: Sapariah Saturi

Tumpang tindih dan potong hukuman

”RUU ini memiliki 41 pasal tumpang tindih dengan peraturan lain. Soalnya,  ada UU Perkebunan sudah mengatur masalah hulu dan hilir. UU ini mau menjawab persoalan yang mana?” ucap Diah.

Henri Subagyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law menganalisa berdasarkan struktur RUU Perkelapasawitan.  ”Dari 13 bab dari 17 merupakan substansi utama sudah diatur dalam UU 39/2014, UU 7/2014 dan UU 32/2009,” katanya.

Dalam UU Perkebunan, Bab III-V sudah mengatur pelaku usaha perkelapasawitan, jenis dan izin usaha perkelapasawitan, kemitraan usaha perkelapasawitan. Juga, tanggung jawab sosial dan lingkungan, penguasaan dan pengusahaan lahan, pengembangan ekspor, perlindungan dan pengamanan perdagangan dan fasilitas penanaman modal.

Tak hanya itu, kegiatan hulu, budidaya, dan pengolahan hasil yang dijabarkan dalam beleid itu sudah masuk dalam peraturan Menteri Pertanian dan peraturan pemerintah.

Begitu juga sanksi pidana, ada upaya potong hukuman atau ‘diskon sanksi’ dari UU Perkebunan bagi pelanggaran penggunaan sarana yang mengganggu kesehatan, keselamatan manusia dan menimbulkan gangguan dan kerusakan lingkungan sangat ringan.

”Pidana kurungan maksimal satu tahun empat bulan, denda maksimal Rp145 juta. Kalau merujuk UU Perkebunan ancaman maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.”

Sama dengan sanksi bagi pelanggaran kegiatan panen dan pasca panen berakibat kerusakan lingkungan, kesehatan dan keselamatan manusia pun berkurang. Ancaman penjara dari lima tahun menjadi maksimal satu tahun dan denda maksimal dari Rp5 miliar menjadi maksimal Rp100 juta.

Adapun dalam RUU ini ada usulan baru terkait kelembagaan perkelapasawitan di bawah Presiden untuk perumusan kebijakan, NSPK (norma, standar, prosedur, kriteria), standardisasi dan pemberian fasilitas.

”Kalau dilihat normanya, semua jadi tugas dan fungsi badan pengatur dimandatkan kepada pemerintah pusat dan daerah. Ini tak urgen karena tak spesifik dan potensial terjadi ovelap dengan pemerintah pusat.”

 

 

 

 

Soal ISPO

Hal lain yang belum terjawab dalam RUU ini soal keterimaan pasar terhadap produk sawit dalam negeri. ”Jika sawit kita mendapatkan devisa cukup tinggi tapi keteriamaan pasar minim karena digempur dengan banyak isu sama saja,” kata Diah.

Indonesia harus menunjukkan kepada dunia bahwa produksi sawit berkelanjutan. Salah satu, melalui Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Diah, juga Wakil Ketua Tim Kerja Penguatan ISPO menyebutkan, ISPO lambat karena masalah legalitas lahan petani sulit. ”HGU di kawasan hutan banyak, penguatan ISPO sedang mengedepankan keberlanjutan. Ini tantangan dunia.”

Dia memperkirakan     Peraturan Presiden (Perpres) terkait ISPO terbit Januari 2017. ISPO, katanya, akan lebih baik dari sebelumnya dengan penguatan meliputi aspek kelembagaan, sistem sertifikasi, kementerian atau lembaga yang bertanggung jawab dan adaptasi regulasi-regulasi baru.

ISPO antara lain membahas, antara lain, pertama, pendampingan petani kecil untuk memperoleh sertifikasi termasuk penyiapan kebutuhan dokumen sebagai syarat ISPO. Selama ini,  petani mandiri tak mendapatkan pendampingan pemerintah langsung. Langkah ini, katanya, sekaligus buat keterlacakan sawit hilir hingga ke hulu.

Kedua, kelembagaan dalam sistem sertifikasi ISPO. Sebelumnya, Komisi ISPO berada di Kementerian Pertanian, nanti didukung lintas kementerian dan lembaga.

Ini hutan dengan pepohonan rapat di lahan gambut yang terbakar (dibakar). Kala itu, saya melihat di seberang kanal ada ban mobil yang sudah terbakar sebagian--diduga dipakai buat membakar hutan. Di dekatnya, hutan yang sudah terbakar duluan dan sudah ditanami sawit. Foto: Sapariah Saturi
Ini hutan dengan pepohonan rapat di lahan gambut yang terbakar (dibakar) di Kalteng. Kala itu, saya melihat di dekat saya (daratan seberang kanal hutan yang terbakar) ada ban dalam mobil yang terpotong dan hangus  sebagian–diduga dipakai buat membakar hutan. Di sebelahnya, hutan sudah terbakar duluan dan telah ditanami sawit. Foto: Sapariah Saturi

Ketiga, ISPO penguatan akan mengakomodir pembentukan strategi promosi dan komunikasi di tingkat internasional, terutama negara-negara pembeli. ”Jadi diplomasi internasional harus dibangun seperti Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu,” katanya.

Ketiga, penguatan ISPO menyertakan pemantau independen dalam industri sawit. ”Nanti bisa menjadi lembaga maupun individu. Akses informasi penting, nanti akan ada monitoring dan pelaporan detail dan benar.”

 

 

 

Usulan Badan Sawit Nasional

Pada kesempatan lain, Dewan Minyak Sawit Indonesia mengusulkan pembentukan Badan Sawit Nasional. DMSI berpendapat, sawit komoditi yang patut diperjuangkan. ”UU ini akan mampu mengakselerasi pembangunan sawit. Kami akan melindungi masyarakat dan investasi,” kata Iskandar Andi Nuhung, Direktur Eksekutif DMSI.

Kepastian hukum industri sawit, katanya,  perlu ditingkatkan. Badan Sawit Nasional akan mengakomodir dan berkoordinasi tentang usaha sawit dari hulu hingga ke hilir.

Derom Bangun, Ketua Umum DMSI, menyadari pembentukan lembaga ini cukup dipertentangkan. Padahal kebijakan ini mempermudah industri dalam menjalankan usaha sekaligus meningkatkan produktivitas sawit.

Badan ini berperan mengelola informasi satu data dalam satu pintu. Masyarakat mudah memperoleh informasi dengan data tepat dan akurat. Dia contohkan, luasan lahan sawit milik perusahaan dan petani, produktivitas dan lain-lain. ”Informasi sawit dapat tercatat valid dan terpercaya.”

Skemanya, badan ini langsung dibentuk Presiden. Sedang BPDP Sawit yang ada, dipertimbangkan melebur kesini. Lembaga ini, akan membuat perencanaan hingga roadmap lima tahunan, mulai budidaya, pengolahan hasil hingga perdagangan, kebutuhan dunia serta energi baru dan terbarukan dan lain-lain.

Termasuk kala perlu perluasan kebun, katanya, perlu menganalisa kaitan  perubahan iklim dengan degradasi hutan. Yang jadi pikiran Derom bukan soal bahasan bagaimana kerentanan hutan kala terbabat berkaitan perubahan iklim, tetapi bagaimana Indonesia yang masih berhutan, boleh menebang hutan.

”Kita memiliki hutan cukup tinggi, dibandingkan negara lain lalu bagaimana berdiplomasi. Ini tugas pemerintah, DPR, Kementerian Luar Negeri, KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red). Bagaimana bernegosiasi dengan pihak luar agar kita bisa diperkenankan dunia mengurangi hutan kita secara wajar. Ini menjadi tugas bangsa agar tak dianggap hal buruk,” katanya.

Dia bilang, dari roadmap diharapkan mampu menjadi landasan pemerintah membuat kebijakan, seperti perlu tidak ada moratorium lahan gambut disesuaikan kebutuhan minyak sawit dalam dan luar negeri.

 

 

 

 

        

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,