Catatan Akhir Tahun : Manis javanica, Nasibmu Tak Semanis Namamu

Manis javanica Desmarest 1822 (Sunda Pangolin/Malayan Pangolin) atau lebih dikenal dengan sebutan trenggiling/peusing di Indonesia, merupakan salah satu satwa dengan penyebaran di daratan Asia Tenggara.

Negara-negara di Asia Tenggara antara lain Indonesia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Thailand, Brunei, Laos. Saudara Manis javanica ini hidup di Afrika dan Asia.  Di Asia antara lain Manis crassicaudata (Indian pangolin), Manis culionensis (Philippine pangolin), dan Manis pentadactyla (Chinese pangolin). Satwa yang memiliki sisik ini dapat ditemukan di hutan primer dan sekunder.  Sebaran trenggiling di Indonesia di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

Trenggiling merupakan satwa yang aktif di malam hari (nocturnal) dan biasanya hidup soliter (sendiri) namun ada pula yang ditemukan berpasangan.  Tempat hidup berada dilubang-lubang yang dibuat misalnya di batang-batang pohon.  Makanan utamanya berupa rayap dan semut atau serangga dengan menggunakan lidahnya yang berselaput lendir (Masy’ud et al, 2011).

Bahkan, satwa ini mampu mengkonsumsi 7 juta semut/tahun dan biasanya trenggiling menandani wilayah mereka dengan air kencing, tinja, dan sekresi yang berbau dari kelenjar khusus (annamiticus.com).  Satwa ini tergolong pemalu, tak jarang untuk menghindari ancaman dari luar, trenggiling melingkarkan tubuhnya seperti bola.

 

Perdagangan illegal Mengancam

 Trenggiling (Manis javanica) tidak luput dari ancaman, terutama perburuan illegal.  Trenggiling telah masuk dalam PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Menurut penelusuran Mongabay, bahwa sejak puluhan tahun silam (setidaknya dari mulai tahun 2000) telah banyak informasi perburuan terhadap trenggiling.

Di tahun 2008, Wildlife Crime Unit (WCU) Wildlife Conservation Society (WCS) bersama dengan Bareskrim Mabes Polri mengungkap penyelundupan daging beku trenggiling seberat 13.8 ton di Palembang, Sumatera Selatan. Di tahun 2010, setidaknya 10 ton daging trenggiling diselundupkan dari Indonesia ke Vietnam tanpa terdeteksi oleh aparat di Indonesia.

Trenggiling hasil sitaan. Foto: Sapariah Saturi
Trenggiling hasil sitaan. Foto: Sapariah Saturi

Setidaknya pada tahun 2012 petugas menemukan 4.124,12 kg daging beku dan 31,36 kg sisik trenggiling yang jika dikalkulasikan ada kerugian Negara sekitar Rp8,23 miliar dalam bentuk daging siap saji di China (Hamzah, 2012).  Beberapa satwa hasil sitaan yang hidup dilepasliarkan kembali ke alam.

Seperti halnya, di Medan, pada tahun 2012 yang lalu 60 ekor trenggiling dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya. Pada tahun 2013, diamankan 29 trenggiling dari Ketapang, tahun 2015 yang lalu juga ada upaya penyelundupan 445 trenggiling melalui bandara Juanda. Kejadian tersebut terus berjalan hingga saat ini.

Menurut catatan Mongabay di Medan masih marak perdagangan trenggiling yang ditangani oleh BBKSDA Sumut,  satu ekor trenggiling ada yang dihargai antara Rp4-5 juta. Sebuah bisnis yang menggiurkan tentunya. Dan pelaku yang tertangkap tersebut dari mulai masyarakat biasa hingga oknum militer.

Selain di Sumut, ditemukan juga di Jambi, dimana petugas menemukan 13 kg sisik trenggiling dan 2 ton daging tenggiling beku dengan pelaku sebanyak 3 orang. Perkiraan harga satuan kilo sisik trenggiling dijual seharga USD400.  Berbagai Negara tujuan meliputi China, Vietnam, Malaysia, dan Hongkong.

trenggiling ni1-Begitu tiba di Kantor BBKSDA Sumut, belasan Trenggiling ini menjadi pemeriksaan medis (Ayat S Karokaro)

Pada tahun 2016 ini, tercatat beberapa temuan dari pihak berwajib dimana di Kapuas Hulu diamankan 15 ekor trenggiling, selain itu pada tahun yang sama ditemukan pula awetan trenggiling sebanyak 657 ekor tanpa sisik di Jombang.

Data dari WCU menunjukkan bahwa pada tahun 2015 setidaknya telah diamankan barang bukti trenggiling sebanyak 1.524 individu sedangkan barang bukti sisik sebanyak 77 kg. Sedangkan pada tahun 2016, barang bukti trenggiling yang diamankan sebanyak 1.584 ekor dan 282 kg sisik, serta 120 sisik trenggiling.

Masih dari WCU, disampaikan bahwa pelaku penyelundupan trenggiling pada tahun 2015 telah divonis pengadilan tingkat pertama dan banding dengan hukuman 30 bulan dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan. Sementara pelaku tahun 2016 telah divonis Pengadilan dengan rata-rata hukuman 3-8 bulan dengan denda antara Rp1-5juta, ada pula pelaku yang masih diproses tahap 2 dan penyidikan aparat yang berwenang.  Trenggiling tersebut dijadikan makanan (sup) dan juga obat-obatan tradisional, seperti yang diinformasikan beberapa web pedagang.

Makanan dari janin trenggiling, yang dinilai bergengsi. Foto: TRAFFIC
Makanan dari janin trenggiling, yang dinilai bergengsi. Foto: TRAFFIC

 

Kepedulian Internasional

Para bulan September-Oktober 2016 yang lalu, telah dilaksanakan Konferensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam Punah (CITES) melalui Pertemuan Para Pihak (COP) 17 di Johannesburg, Afrika Selatan.  Lebih dari 100 negara yang hadir dalam acara tersebut termasuk Indonesia.

Sebagai catatan, CITES mengeluarkan 3 appendix yaitu Appendix 1 memuat tentang daftar dan perlindungan seluruh jenis satwa dan tumbuhan yang terancam dari segala bentuk perdagangan, Appendix 2 berisi daftar spesies tumbuhan dan satwa yang tidak terancam punah namun memungkinkan terancam punah jika perdagangan terus berlanjut tanpa pengaturan.

Sedangkan Appendix 3 berisi daftar spesies tumbuhan dan satwa yang dilindungi di sebuah Negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan bagi Negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan Appendix 2 atau bahkan Appendix 1.

Pada COP 17 tersebut, Amerika dan Vietnam mengusulkan trenggiling untuk masuk dalam Appendix 1. Mengapa diusulkan naik peringkat appendix-nya? karena kedua jenis ini terancam punah yang disebabkan oleh perdagangan internasional sehingga populasi dialam terus menurun. CITES mencatat bahwa kecenderungan populasi menurun dan spesies terdaftar sebagai satwa kritis terancam punah oleh IUCN karena penurunan populasi.

Rudianto Sembiring, memperlihatkan trenggiling yang baru diserahkan warga. Foto: Ayat S Karokaro
Rudianto Sembiring, memperlihatkan trenggiling yang baru diserahkan warga. Foto: Ayat S Karokaro

Begitu perdulinya Negara Internasional terhadap nasib trenggiling ini hingga memasukkan dalam list appendix 1 CITES serta daftar merah di IUCN Redlist dengan status critically endangered.

Bagaimana dengan Indonesia?

Hasil penelusuran Mongabay mencatat bahwa delegasi Indonesia menolak proposal yang diajukan terkait peningkatan status trenggiling dari Appendix 2 ke Appendix 1.  Sikap Indonesia dalam COP 17 (23 September-5 Oktober 2016) tersebut tercermin dari catatan laman Wildlife Trade of India menyebutkan bahwa Indonesia tidak setuju dengan peningkatan status tersebut.

Ketika pengambilan suara dilakukan, sebanyak 114 negara mendukung proposal pengajuan peningkatan status trenggiling menjadi appendix 1, 5 negara abstain termasuk (China dan Jepang), dan Indonesia menolak. Mengapa? Alasannya karena penangkaran di yang ada di Indonesia menunjukkan keberhasilan.

Indonesia, seperti dikutip dari grinners.co menolak usulan Appendix 1 untuk trenggiling karena dalam PP N0.7/1999 sudah melindungi trenggiling dan menerapkan zero kuota atau tidak boleh diperdagangkan sama sekali.

657 ekor trenggiling beku tanpa sisik dalam 5 freezeer ini disita polisi dari rumah pelaku di Jombang, sekarang diamankan di Mapolda Jawa Timur. Foto: Petrus Riski
657 ekor trenggiling beku tanpa sisik dalam 5 freezeer ini disita polisi dari rumah pelaku di Jombang, sekarang diamankan di Mapolda Jawa Timur. Foto: Petrus Riski

Menurut Indonesia, upaya peningkatan daftar status ke dalam Appendix 1 tidak akan signifikan dalam mencegah perdagangan illegal tanpa adanya upaya peningkatan regulasi dan penegakan hukum baik di range, transit maupun Negara konsumen.

Upaya penangkaran terus dikembangkan seperti yang telah dilakukan di Indonesia sebagai strategi peningkatan pelibatan masyarakat dalam menjaga populasi di alam.

Benarkah demikian? Fakta berkata lain bahwa perdagangan semakin marak hingga tahun 2016 ini karena banyak temuan-temuan berupa trenggiling yang masih hidup, awetan, maupun sisiknya yang masih diperdagangkan secara illegal.

Apakah pengkaran trenggiling dikatakan berhasil?  Hal ini perlu menjadi perhatian apakah penangkaran yang ada saat ini telah menghasilkan keturunan yang bisa menyumbang populasi di alam.  Keterbukaan hasil penangkaran perlu dipublikasikan sehingga benar bahwa penangkaran menghasilkan turunan yang berkontribusi untuk populasi.

Berdasarkan hasil penelitian dari Novrianti (2011) menyebutkan bahwa awal pembangunan penangkaran di Sibolga contohnya sebanyak 110 ekor trenggiling (45 ekor jantan dan 65 ekor betina).  Namun dalam perkembangannya terus mengalami penurunan drastis akibat kematian menjadi 26 ekor dan menurun lagi menjadi 12 ekor yang kemudian dipindahkan ke penangkaran Sunggal pada 2009.

Di penangkaran tersebut jumlahnya juga terus mengalami penurunan hingga akhir 2010 walaupun ada juga kelahiran anak trenggiling di penangkaran sebanyak 3 ekor (1 ekor jantan dan 2 ekor betina) dengan jumlah indukan hanya 6 ekor (4 ekor jantan dan 2 ekor betina). Diduga kematian induk trenggiling tersebut karena penyakit caplak dan infeksi luka akibat jerat oleh manusia.

Oleh karena itu, perlu ditinjau ulang terhadap upaya penangkaran. Upaya penegakan hukum terhadap perdagangan/penyelundupan satwa masih tergolong rendah, baik hukuman maupun dendanya, sehingga belum memungkinkan terjadinya efek jera bagi pelaku.

Trenggiling hasil sitaan jaringan peredaran satwa di Medan yang akan dimusnahkan di KIM 4 Medan oleh Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penegakan hukum masih lemah dan belum memberikan efek jera bagi pelaku perdagangan satwa dilindungi. Tak pelak, perdagangan terus marak. Foto: Ayat S Karokaro
Trenggiling hasil sitaan jaringan peredaran satwa di Medan yang akan dimusnahkan di KIM 4 Medan oleh Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penegakan hukum masih lemah dan belum memberikan efek jera bagi pelaku perdagangan satwa dilindungi. Tak pelak, perdagangan terus marak. Foto: Ayat S Karokaro

 

Langkah kedepan

Indonesia merupakan Negara yang telah menjadi bagian dari CITES, sehingga tetap harus menghormati keputusan yang dihasilkan dari COP 17 Johannesburg tersebut.

Langkah-langkah nyata yang perlu segara ditindaklanjuti adalah mengawasi dengan serius upaya perburuan, penyelundupan, maupun perdagangan trenggiling baik hidup maupun mati, baik secara utuh maupun bagian-bagiannya sebagai komitmen terhadap hasil COP 17 tersebut.

Memutuskan aliran perburuan dari hulu hingga hilir menjadi penting untuk dilakukan, termasuk pengawasan di pintu-pintu keluar, baik jalur darat, laut, maupun udara.

Memperkuat jaringan pengamanan lintas Negara. Dengan kuatnya pengakan hukum di wilayah Asean akan dapat menjadi nilai positif bagi banyak pihak, bahkan di luar Negara Asean. Kerjasama internasional selain di Asean mutlak diperlukan, terutama dalam upaya penangkal perdagangan illegal trenggiling ini.

657 ekor trenggiling beku tanpa sisik dalam 5 freezeer ini disita polisi dari rumah pelaku di Jombang, sekarang diamankan di Mapolda Jawa Timur. Foto: Petrus Riski
657 ekor trenggiling beku tanpa sisik dalam 5 freezeer ini disita polisi dari rumah pelaku di Jombang, sekarang diamankan di Mapolda Jawa Timur. Foto: Petrus Riski

Penegakan hukum menjadi salah satu kunci yang penting untuk menekan penyusutan populasi dan ancaman terhadap trenggiling yang bernasib pahit ini. Diharapkan dengan hukuman dan denda maksimal akan dapat membantu pengurangi ancaman terhadap trenggiling di masa depan.

Menjaga habitat dan satwanya lebih aman merupakan tindakan yang lebih baik, namun demikian jika memang akan diarahkan ke penangkaran yang belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan maka perlu memperhatikan dan memastikan pengangkaran memiliki kaidah (syarat/kriteria) yang ketat dalam pengadaan bibit.  Karena dari penangkaran yang ada di Sumut pada tahun 2010 tersebut menunjukkan trend kematian yang cenderung naik.

Hal ini dimaksudkan agar tidak semakin banyak kematian dalam penangkaran dan tentunya pengawasan/pemantauan yang ketat dari lembaga terkait agar pengawasan/pemantauan dapat memberikan dampak positif bagi penangkaran dengan tidak tergantung/mengandalkan dari alam/hasil tangkapan.

Dengan demikian trenggiling tidak mengalami nasib semakin buruk akibat perburuan dan perdagangan ditingkat local maupun regional dan internasional untuk berbagai alasan kebutuhan. Keseriusan Indonesia dalam mengawal trenggiling yang telah masuk dalam Appendix 1 CITES perlu lebih kuat lagi agar trenggiling tidak mengalami kepunahan.

***

Sumber bacaan:

KLHK. 2016.  Laporan mengikuti the Seventeenth Meeting of the Conference of the Parties to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (COP XVII CITES)

Novriyanti.  2011.  Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara.  Dep. Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fahutan, IPB

Sawitri, R., et al. 2012.  Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran Purwodadi, Deli Serdang, Sumatera Utara.

http://www.iucnredlist.org/details/12763/0

https://cites.org/sites/default/files/eng/cop/17/prop/060216/E-CoP17-Prop-11.pdf

http://www.greeners.co/berita/klhk-indonesia-terpaksa-setuju-trenggiling-masuk-kategori-appendix-i/

PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

WCU, 2016.

www.mongabay.co.id

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,