Banyak Masalah, Imum Mukim Aceh Minta KLHK Cabut Izin PT. Aceh Nusa Indrapuri

Imum Mukim atau pimpinan adat di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, Aceh, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Aceh Nusa Indrapuri. Alasannya, perusahaan tersebut banyak menimbulkan masalah bagi masyarakat, terutama menghadirkan konflik tata batas lahan.

“Sejak izin HTI dikeluarkan, konflik batas kawasan dengan masyarakat selalu terjadi. Ini  sangat mengganggu masyarakat di 21 Mukim di Kabupaten Aceh Besar,” ujar Imum Mukim Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, Asnawi Zainun, baru-baru ini.

Asnawi mengatakan, para mukim di Aceh Besar melihat pengelolaan hutan oleh perusahaan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat. Justru merugikan. “Pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal (adat) terbukti mampu menjaga dan mempertahankan kawasan hutan dari kehancuran.”

Tiga Imum Mukim di Kabupaten Pidie juga mengharapkan hal yang sama, meminta KLHK mencabut izin PT. Aceh Nusa Indrapuri. Selanjutnya, menyerahkan pengelolaan kawasan hutan tersebut kepada Mukim atau menjadikannya hutan adat.

“Kami meminta KLHK mencabut izin HTI PT. Aceh Nusa Indrapuri dan mengembalikan pengolaannya kepada masyarakat adat. Perangkat desa di tiga mukim juga sepakat, mendesak KLHK mencabut izin perusahaan ini,” papar Ketua Majelis Mukim Pidie, Zamah Sari.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pidie Syarkawi memaparkan, ketimbang mempertahankan perusahaan, warga justru lebih membutuhkan lahan untuk meningkatkan produksi pertanian. Pemerintah Kabupaten Pidie pun mendukung pencabutan izin HTI PT. Aceh Nusa Indrapuri untuk dikelola masyarakat adat.

“Pada 21 Oktober 2016 Pemerintah Kabupaten Pidie sudah mengirimkan Surat Nomor 140/6521 kepada Menteri LHK, perihal Permohonan Pelepasan Kawasan Hutan dari Konsesi HTI PT. Aceh Nusa Indrapuri.”

Selain Pemerintah Kabupaten Pidie, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie juga mengeluarkan surat dukungan terhadap pelepasan kawasan itu. Surat bernomor 170/269/2016 tanggal 5 Desember 2016  telah dikirimkan ke KLHK yang ditandatangani Ketua DPRK Pidie Muhammad AR. “DPR Kabupaten Pidie tidak keberatan dan mendukung sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pemusnahan kebun sawit ilegal yang masuk kawasan KEL di Aceh Tamiang, Aceh. Kawasan ini akan dikembalikan fungsinya sebagai hutan lindung. Foto: Junaidi Hanafiah
Pemusnahan kebun sawit ilegal yang masuk kawasan KEL di Aceh Tamiang, Aceh. Kawasan ini akan dikembalikan fungsinya sebagai hutan lindung. Foto: Junaidi Hanafiah

Tidak sesuai

Jaringan Komunikasi Masyarakat Adat (JKMA) Aceh menyebutkan, dalam izin yang diberikan kepda PT. Aceh Nusa Indrapuri (1993 – 2035), perusahaan hanya diizinkan menanam pohon akasia. Kenyataannya, di kawasan tersebut ditemukan galian C dan kebun sawit.

Kepala Divisi Advokasi Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), Efendi menjelaskan,  PT. Aceh Nusa Indrapuri didirikan di Jakarta, 2 April 1993, dengan komposisi saham 60 % milik PT. Takengon Pulp dan Paper Utama, serta 40% milik PT. INHUTANI IV.

“Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No. 762/kpts-II/92 tertanggal 5 Agustus 1992 yang bersifat sementara, Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) telah diberikan kepada PT. Takengon Pulp dan Paper Utama seluas 166.500 hektare. Selanjutnya, melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan No 1571/MENHUT-IV/1993 tertanggal 10 September 1993, IUPHHK-HTI tersebut dialihkan kepada PT. Indonusa Indrapuri (sekarang PT. Aceh Nusa Indrapuri). Luas arealnya menjadi 118.515 hektare.”

Dalam perkembangannya, sebut Efendi, arealnya mengalami pengurangan menjadi 111.000 hektare setelah dikeluarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No. 95/kpts-II/97, tanggal 17 Febuari 1997. Izin ini juga tumpang tindih karena sebagian besar wilayahnya berada  di hutan lindung dan milik masyarakat adat di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie.

“Saat ini, izinnya disalahgunakan. Ada perkebunan sawit dan galian C. KLHK harus mencabut izinnya karena telah menyalahi aturan dan tidak beroperasi cukup lama,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,