Begini Cara Jatam Bangun Ekonomi Warga, Berkelanjutan Tanpa Tambang

Bisnis tambang seringkali disebut industri kotor, bukan hanya karena kerusakan lingkungan, pencemaran sumber air, perubahan bentang alam, polusi dan bahaya bagi kesehatan dan nyawa anak. Dari sisi ekonomi, industri ini juga dianggap kotor karena banyak pelanggaran terkait izin, jual beli dan ketidakpatuhan terkait pajak.

Di penghujung tahun ini, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) ingin mengajak dan menawarkan cara usaha rakyat berkelanjutan dan berdaulat. Jatam punya cara menghadapi ekonomi tambang dengan membangun ekonomi tanding tanpa tambang.

Apakah itu?  Melalui sebuah langkah sederhana, Jatam mendampingi sejumlah desa untuk memproduksi sendiri bahan pangan dari pekarangan rumah.

“Pada skala mikro ekonomi kita butuh lompatan besar,” kata Andre Wijaya pernah menjadi koordinator Jatam era 2010-2013 dalam diskusi di Jakarta, pertengahan Desember.

Lompatan itu, katanya, dengan memberdayakan petani kota atau urban farmer dengan kegiatan terdiri dari produksi, konsumsi dan sirkulasi yang tangguh.

Sisi produksi, petani memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam beberapa bahan, kemudian dikonsumsi sendiri. “Apa yang kita tanam, itu yang kita makan,” katanya.

Jika ada kelebihan, dikumpulkan dan dijual bersamaan ke pembeli. “Kalau ada surplus baru masuk Kedai Jatam. Mungkin ini hal kecil tapi membawa pelajaran luar biasa. Untuk distribusi, jika petani bertemu langsung dengan pembeli dapat memutus rantai middleman atau tengkulak.”

Kedai Jatam awalnya dirintis pada 2013. Jatam, “belajar” kepada Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, Garut yang fokus pada pendidikan ekologi berdaya pulih melalui pendidikan pesantren. Mereka lantas mencetuskan ide Terminal Benih, sebuah gerakan sederhana menjaga benih lokal.

Kedai ini lantas turut didukung oleh Kedai Kopi Abah, Jatam Kaltim, Jatam Sulteng dan Terminal Benih sendiri.

Beras merah, salah satu produk dari kampung dampingan Jatam. Foto: Della Syahni
Beras merah, salah satu produk dari kampung dampingan Jatam. Foto: Della Syahni

Hingga kini berbagai tanaman pangan dihasilkan, seperti beras merah, beras hitam, kopi, teh, bunga telang, daun kelor, daun pegagan dan lain-lain.

“Kita mulai konsumsi sendiri. Kami sudah tak beli teh kemasan pabrik, teh kebun sendiri. Kalau diukur rupiah mungkin kecil, Rp1.000 atau Rp.1500. Kalau dihitung setahun lumayan besar,” ucap Andre.

Langkah ini disertai membiasakan diri memisah sampah organik dan anorganik. Sampah organik dikembalikan ke tanah mengembalikan kesuburan dan tanah kembali sehat. Kelebihan hasil tanam dikumpulkan dan ditabung dalam bentuk bank panen.

“Ini tentu beda dengan pertanian skala besar. Beberapa kelompok rumah mengumpulkan hasil panen, misal seperti di Cijabon, Sarongge, dan lain-lain.”

Ide memasukkan hasil panen berlebih ke Kedai Jatam, sebagai tameng agar Jatam tak terjebak dengan jargon membangun ekonomi tanding menghadapi daya rusak tambang yang sama sekali tak mensejahterakan.

“Mungkin belum sepenuhnya lepas dari produk industri, namun kita bisa mengurangi ketergantungan dan menambah ketergantungan pada produk berdaya pulih.”

Peran perempuan

Membangun ekonomi anti tambang tak bisa lepas dari peran perempuan. Merekalah yang berhubungan langsung dengan daya rusak tambang dan penyediaan pangan dan konsumsi keluarga.

Siti Maimunah dari Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) mengatakan, cara pandang berbeda antara masyarakat lokal, pemerintah dan perusahaan tambang seringkali membuat perempuan tak hadir dalam ruang publik terutama mengambil kebijakan.

Mai, sapaan akrabnya, mencontohkan bagaimana masyarakat lokal Mollo, Nusa Tenggara Timur,  menganggap Gunung Batu penuh batu marmer sebagai sebagai tulang dari satu kesatuan tubuh.

“Bagi masyarakat sekitar Gunung Batu, gunung adalah tulang, tanah seperti daging, air seperti darah dan hutan sebagai kulit dan rambut. Kalau menghancurkan gunung batu, sama dengan menghancurkan tubuh,” katanya.

Adalah Aleta Baun, akrab disapa Mama Aleta memimpin 12 kampung di Mollo untuk menyelamatkan Gunung Batu. “Dalam perjuangan Mama Aleta harus keluar malam hari dari satu desa ke desa lain. Dia mesti ambil risiko disebut pelacur.”

Mama Aleta hanya satu dari banyak perempuan yang harus melewati perjuangan berlapis untuk bisa berperan dalam penyelamatan daerah sekitar yang jadi sasaran pemerintah dan perusahaan tambang.

Kini, para perempuan Molo, terus mengembangkan tenun khas mereka,  beragam motif dengan pewarna alam.

Dewi Candraningrum Pimpinan Redaksi Jurnal Perempuan menyoroti hubungan perempuan dan alam secara filosofis yang kerap dilupakan saat membuat kebijakan perubahan iklim.

Dewi mencontohkan, petani perempuan asal Surokonto, Wetan, Kendal terancam kehilangan lahan karena desa menjadi kawasan tukar menukar hutan untuk pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang.

“Bagi mereka tanah itu satu. Mereka memang tak punya sertifikat, namun adalah ibu penjaga alam, menjaga tanah di bawah yang mendapat air dari atas,” katanya dalam diskusi berbeda.

Sekitar 77% angkatan kerja di wilayah ini adalah perempuan. Jika mereka kehilangan lahan, mereka terancam ‘terusir’ karena akan bermigrasi dengan menjadi tenaga kerja perempuan di luar negeri. “Hak reproduksi seksual mereka terganggu, kalau mereka tak punya lahan mereka makan apa?” kata Dewi.

Keamanan, kepemilikan lahan dan ketahanan pangan, ujar Dewi, dapat dilihat dari apakah perempuan memiliki hak dan suara dalam pengelolaan tanah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,