Cerita dari Sekitar PLTU Pacitan, Warga Batuk Menahun sampai Debu Kotori Pemukiman (Bagian 3)

Cagak Telu, lumayan sepi, Kamis sore Oktober lalu. Sedari siang orang datang silih berganti ke mari. Kini hanya tersisa tujuh pengunjung, termasuk saya.

Cerobong atau chimney untuk membuang panas dari boiler pembangkit itu tampak menjulang tinggi. Ujung bercat selang seling merah putih. Tinggi sekitar 275 meter. Beberapa cerobong lebih kecil tengah mengeluarkan asap putih.

Di kejauhan ada kapal tongkang batubara tengah bongkar muatan. Di sebelah selatan bangunan, dengan latar belakang laut selatan atau Samudera Indonesia. Sebelah utara,  Jalan Lintas Selatan, mulus, tetapi gelap saat malam karena tak ada penerangan jalan.

Baca juga: PLTU Pacitan Datang, Sumber Kehidupan Nelayan Teluk Kondang Nyaris Hilang (Bagian 1)

 

Cagak Telu telah menjadi lokasi favorit baru di Pacitan. Terutama bagi mereka yang kepincut kemegahan PLTU. Foto pembangkit listrik dari atas bukit yang instagrammable pun bertebaran di internet.

Nama Cagak Telu berasal dari tiga tiang teronggok di atas bukit, persis di jalan masuk. Ada empat warung di area itu. Pengunjung bisa melepas lelah, menikmati panorama, sambil melahap makanan.

Jarak PLTU Pacitan ke Cagak Telu sekitar satu km, namun suara deru mirip suara genset dari PLTU masih jelas terdengar, menimbun suara debur ombak laut selatan.

Hari beranjak sore. Enam anak muda mengendarai sepeda motor merapat ke warung tempat saya menghabiskan segelas kopi. Pemilik warung memilih menutup warung. Di antara mereka,  ada yang membawa botol air mineral berisi cairan bening. Rupanya inilah yang membuat pemilik warung memutuskan tutup. Saya memilih bertahan.

Sejurus kemudian, salah satu dari mereka yang aktif berbicara kepada saya menawarkan minuman. Saya dengan halus menolak.

“Kuping,” katanya memperkenalkan diri, seperti gelisah. Dia mengaku tinggal di desa sekitar PLTU.

Itu nama panggilannya. Telinga dia memang terlihat lebar dan besar. Dia juga mengaku bekerja di PLTU Pacitan sebagai petugas cleaning service, namun kadang-kadang masih disuruh mengangkat batubara. Dia kesal dengan pekerjaannya.

Dia bercerita soal polusi debu yang menempel di rumput dan dedaunan, hingga peternak mencari pakan mestilah mencuci terlebih dulu sebelum diberikan ke ternak.

“Kalau pagi angin ke utara, siang ke selatan,” katanya. Angin telah membawa debu-debu batubara ke permukiman warga, termasuk rumahnya.

Baca juga: Kala Limbah dan Operasi Kapal Batubara PLTU Pacitan Ganggu Konservasi Penyu (Bagian 2)

Sayang, omongan dia tak langsung bisa dipercaya. Mulutnya bau alkohol. Usai minum salah satu dari mereka muntah-muntah. Menjelang hari gelap kami pun berpisah.

Sawah warga di Sumberejo dan cerobong PLTU dari kejauhan. Foto: Nuswantoro
Sawah warga di Sumberejo dan cerobong PLTU dari kejauhan. Foto: Nuswantoro

* * * * *

Teluk Bawur, mancakup tiga desa yaitu Pager Lor, Sukorejo, dan Sumberejo. Warga dari dua wilayah yang disebut terakhir mengeluhkan debu batubara beterbangan ke permukiman mereka.

“Ya ada, walau tidak seberapa. Dampak dirasakan akhir-akhir ini wilayah terdekat,  RT2/RW1 dan RT3/ RW1,” kata Sumarni, Kaur Umum Desa Sumberejo. Saya menemui Sumarni Rabu siang, (19/10/16).

Debu sampai ke rumah warga berwarna kehitaman. Kalau disapu dan dikumpulkan terlihat jelas di lantai keramik. Desa Sumberejo, terletak di sebelah utara PLTU Pacitan. Sumberejo dan Sukorejo, dua desa terdampak, hanya dipisahkan oleh Sungai Bawur, yang bermuara persis di sebelah timur PLTU.

Sekitar tiga tahun lalu, katanya,  warga pernah mengeluhkan hal sama dan bertemu dengan PLTU Pacitan. Selain itu,  beberapa kali warga berkeluh kesah ke pamong desa soal sama.

Jemingan, warga Sumberejo, sore itu tengah mengawasi sawah dari serangan burung. Cerobong PLTU,  bisa terlihat dari pematang sawahnya. Jarak tak lebih dua kilometer. Dia dan warga lain juga mengeluhkan debu dari PLTU.

“Petani di sini mengeluh, sawah kok tidak subur. Banyak hama. Apa karena debu PLTU?” katanya menirukan keluh kesah sesama petani. Mereka hanya bisa menduga-duga.

Jemingan mempersilakan saya bertandang ke rumah untuk bertemu dengan istrinya, yang sakit batuk dan tak kunjung sembuh.

Subatin, nama istrinya. Dia batuk cukup lama. “Sudah ke Puskesmas, tapi belum sembuh,” kata Subatin, sembari menyodorkan segelas teh hangat.

Jemingan bilang, batuk seperti itu bukan hanya Subatin. Beberapa warga lain mengidap penyakit sama, batuk tak kunjung sembuh. Kata dia, menandainya gampang. “Saat sholat berjamaah di masjid makin banyak yang batuk,” katanya.

Seorang guru di SD Negeri Sukorejo I, enggan nama disebutkan dengan alasan status PNS mengatakan hal serupa. Beberapa murid batuk tak kunjung sembuh.

Cerobong pembangkit bisa terlihat dari depan SDN Sukorejo I, menandakan jarak tak terlalu jauh dari PLTU. Guru itu lalu menunjukkan bukti lain soal polusi debu pembangkit. Beberapa puluh langkah dari SD ada mushola dengan lantai kerap kotor, berdebu.

Di mushola,  saya meraba lantai. Tak ada jejak debu. Sejurus kemudian seorang perempuan datang menjelaskan kalau lantai baru saja dipel.

“Saya bisa menghabiskan tujuh ember air untuk mengepel lantai. Dulu tiga sudah cukup,” kata Sulis, perempuan itu membandingan jumlah air untuk mengepel mushola,  dulu dan sekarang.

Data 2012 dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan, sekolah di Kecamatan Sudimoro ada 41 unit, negeri dan swasta.

Setidaknya ada beberapa sekolah tak jauh dari PLTU Pacitan. SDN Sumberejo I, Dusun Secang, Sumberejo, SDN Sumberejo II, Dusun Karangturi, Sumberejo, SDN Sukorejo I, Dusun Krajan, Sukorejo, SDN Sukorejo II, Bubakan, Sukorejo. SMP PGRI Sudimoro, Sukorejo, SMPN VI Sudimoro, Sukorejo, dan SMKN I  Sudimoro, Sukorejo.

SDN I Sukoharjo, berdektan dengan PLTU. Foto: Nuswantoro
SDN I Sukorejo, berdektan dengan PLTU. Foto: Nuswantoro

Jajang Junaedi, Kepala Puskesmas Sukorejo, Rabu siang, (19/10/16) mengatakan, belum menemukan keterkaitan antara PLTU dengan pasien berobat ke puskesmas.

“Data saya terima, belum menunjukkan pengaruhnya. Angka pesakitan juga wajar. Tak ada fluktuasi,” katanya.

Dibandingkan tahun lalupun tak banyak berubah. “Dari tahun kemarin, pesakitan infeksi pernafasan tak berubah. Angka kunjungan, penyakit kulit juga tak berubah. Diare sempat naik, demam berdarah sempat naik. Sempat KLB (kejadian luar biasa-red) untuk  DBD, berkaitan dengan jentik nyamuk di lingkungan.

Laporan gangguan pernapasan di tiap Puskesmas,  pasti ada, dan selalu tinggi. Dia bilang, penyebab belum tentu PLTU.

Puskesmas Sukorejo,  selama ini membawahi empat desa, yaitu Sumberejo, Sukorejo, Pager Lor dan Pager Kidul. Walau begitu pasien luar kecamatan ada juga berobat ke sana.

Terkait ada laporan debu di rumah warga, dan apakah mereka mengeluhkan sakit pernapasan, dokter itu menjawab belum bisa mengaitkan itu. Meskipun dari data penyakit yang dia berikan, data 2014, ISPAberada pada urutan tertinggi, sebanyak 4.500-an orang lebih.

Catatan lain menunjukkan, kunjungan kasus mata 412, temuan 392 kasus. Data tanpa angka tahun.

Terkait warga mengidap tumor atau kanker, dokter itu menjawab tak ada. Debu PLTU batubara sebenarnya mengandung radionuklida atau unsur radioaktif.

Menurut data Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), batubara mengandung uranium, thorium, radium, dan kalium, dengan kadar bervariasi. Jika dibakar, asap dan debu khawatir membawa unsur radioaktif.

“Saya lebih menyoroti sulfat atau SOX-nya. SOX, secara teori berpengaruh pada tanaman. Produktivitas tanaman warga yang harus dilihat. Di sekitar  PLTU juga ada padi. Kalau kadar cukup tinggi mempengaruhi warna daun cenderung kuning. Jadi itu yang bisa dilihat dari jangka menengah,” katanya.

Mengaitkan debu PLTU akan berbahaya bagi kesehatan, katanya, tak bisa disimpulkan secara cepat. Meski begitu, Jajang mengakui jika ada peningkatan kadar sulfat, atau molekul debu makin banyak akan berakibat buruk bagi kesehatan.

“Ya jelas akan berpengaruh dalam jangka menengah maupun panjang terhadap kesehatan, terutama pernapasan.” (Bersambung)

Sulis, yang baru selesai membersihkan musolla yang kerap berdebu. Foto: Nuswantoro
Sulis, yang baru selesai membersihkan musolla yang kerap berdebu. Foto: Nuswantoro
PLTU Pacitan dari kejauhan. Foto: Nuswantoro
PLTU Pacitan dari kejauhan. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,