Rapor Merah Tata Kelola Lahan dan Kekayaan Alam Sumbar

Tata kelola hutan dan lahan di Sumatera Barat, masih terbilang buruk. Deforestasi terus terjadi terutama eksploitasi hutan dan kekayaan alam untuk pemodal besar, diikuti beragam bencana sampai konflik lahan. Demikian paparan akhir tahun 2016 soal tata kelola hutan, beberapa organisasi masyarakat sipil di Sumbar.

Ada Walhi Sumbar, LBH Padang, Yayasan Citra Manciri (YCM) Mentawai, Perkumpulan Qbar, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumbar.

Luas hutan Sumbar 2,6 juta hektar atau 61,48% luas provinsi. Data Dinas Kehutanan Sumbar 2016, luas hutan meliputi suaka alam 67,5%, hutan lindung 1,7 juta hektar, 32,5% berfungsi sebagai hutan produksi terbatas 247.385 hektar, hutan produksi 434.538 hektar dan hutan produksi konversi 161.655 hektar.

Forest Watch Indonesia (FWI) 2013, menyebutkan, selama 2009-2013, tutupan hutan Sumbar hilang 81.830 hektar hingga tutupan hutan yang tersisa pada 2013 seluas 1,683. Laju deforestasi per tahun 20.457 hektar atau 5,35%.

Dari sektor pertambangan, data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumbar ada 278 izin. Sebanyak 153 IUP belum memenuhi persyaratan administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan dan keuangan atau belum clear and clean (CnC).

Kondisi ini,  berimplikasi sanksi administrasi berupa pencabutan IUP oleh Dirjen Mineral batubara atas nama Menteri dan Gubernur.

Seluas 97.014,06 hektar hutan konservasi dan hutan lindung Sumbar terbebani IUP. Berdasarkan surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan KLHK No. S.704/VII-WKH/2014 tertanggal 10 Juli 2014 terindikasi pada kawasan hutan, 11 IUP pada kawasan hutan konservasi 190,16 hektar. Mereka, katanya, tersebar di Pasaman, Padang, Solok, Pesisir Selatan, Solok Selatan, Pasaman Barat, Lima Puluh kota, Sijunjung, Dharmasraya dan Agam.

Dt Paduko Alam, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sijunjung, meminta, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam Sumbar, harus izin pemegang otoritas harta adat (pusako).

Sayangnya, kebijakan dan praktik pemanfaatan alam selama ini malah mengasingkan, meminggirkan dan mengkerdilkan peran otoritas adat.

Selama ini, katanya,  izin pemanfaatan tak bermusyawarah dengan pemangku adat. Jika legal, izin dari pemerintah tanpa mensyaratkan persetujuan pemangku adat. Pada kegiatan ilegal, “bungo” yang seharusnya dibayarkan pada pemangku adat justru diberikan pada oknum aparat pengambil kebijakan.

“Ini gambaran hukum rimba pengelolaan sumber daya alam Sumbar, ditandai dengan pihak kuat akan memperoleh manfaat dari kehancuran sumber daya alam,” katanya.

Walhi Sumbar menilai, IUP hutan konservasi dan hutan lindung merupakan pelanggaran UU Kehutanan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan hanya bisa di hutan produksi.  Hutan lindung dilarang penambangan terbuka.

Beban izin terhadap kawasan hutan tak hanya dari IUP yang memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) juga izin HPH 221.872 hektar, HTI 83.213 hektar dan izin restorasi eksositem 50.000 hektar. Luas pemanfaatan hutan 494.460 hektar.

Pelepasan kawasan hutan juga menjadi salah satu penyebab deforestasi di Sumbar. Sejak 1987, lebih dari 242.827,56 hektar kawasan hutan dilepas jadi perkebunan sawit untuk 43 perusahaan baik modal asing maupun dalam negeri.

Sedangkan, program pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial di Sumber masih jauh dari target 500.000 hektar.  Data Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Desember 2016 menunjukkan, realisasi perhutanan sosial baru 21% atau 107.700 hektar.

Paduko Alam mengatakan, para pemangku adat merasakan kewenangan hampir nol dalam pemanfaatan sumber alam. Karena itu, dia sebagai bagian pemangku adat memandang perlu pemulihan kembali marwah adat atas sumber alam. “Demi terwujud pengelolaan yang menyejahterakan dan berkelanjutan,” katanya.

Berbagai  organisasi masyarakat sipil ini mendesak,  Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno,  mengeluarkan kebijakan pro-lingkungan dan menindak korporasi melanggar hukum dan tak melaksanakan kewajiban pengelolaan sumber alam.

 

 

 

Jalan amblas terkena banjir di sekitar Kantor Bupati Padang Pariaman. Foto: BPBD Sumbar
Jalan amblas terkena banjir di sekitar Kantor Bupati Padang Pariaman. Foto: BPBD Sumbar

 

 Konflik tenurial dan bencana alam

Ketimpangan penguasaan lahan dan pemberian izin tak sesuai ketentuan memicu konflik tenurial antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat versus pemerintah atau masyarakat dan perusahaan.

Data Walhi Sumbar 2016, konflik saling klaim penguasaan lahan, missal, di Nagari Malalo Tigo Jurai, Tanah Datar, masyarakat dengan perusahaan pertambangan emas. Lalu, konflik masyarakat Lunang, Pesisir Selatan dengan pemerintah soal klaim ulayat.

Data Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), di Mentawai, sederet  konflik muncul karena penguasaan negara atas hutan 82%. Di Siberut Utara, misal, muncul konflik pemutusan jembatan milik HPH. PT. Salaki Summa Sejahtera November 2016 oleh masyarakat tiga suku. Buntut persoalan tata batas dan fee kayu. Kasus ini,  selain memunculkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, juga antara masyarakat dengan masyarakat.

Di Pagai Utara dan Sikakap, Mentawai, wilayah warga Desa Taikako masuk HPH. PT. Minas Pagai Lumber. Mereka protes plang tata batas HPH di perladangan dan pemukiman, Desember 2016.

Masyarakat juga meminta desa keluar dari HPH. Sebelumnya, juga konflik antara masyarakat Desa Saumanganyak di Pagai Utara dengan perusahaan. Warga menahan kunci alat berat dan dump truk perusahaan.

Paduko Alam meminta,  gubernur mengambil keputusan tentang pengelolaan sumber alam melibatkan pemangku adat. Gubernur, katanya, diminta sungguh-sungguh mengfungsikan Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin, sebagai prinsip dasar dalam pengambilan keputusan yang konstruktif di Ranah Minang.

Gubernur, katanya,  agar menghentikan eksploitasi alam ilegal, seperti illegal mining dan illegal logging.  “Jangan biarkan kegiatan mengibuli otoritas adat dalam penerbitan sebuah izin,” katanya.

Desakan lain, katanya, gubernur harus konsekuen menjalankan produk hukum daerah yang mendukung peran dan penguatan otoritas adat.

Selain rawan konflik, perubahan fungsi hutan sebagai kawasan penyangga dan sumber kehidupan bagi masyarakat Sumbar juga menurunkan kualitas lingkungan hingga memicu bencana.

Sumbar tercatat sebagai daerah rawan bencana tinggi. Ada 12 ancaman bencana yaitu banjir, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan. Lalu, abrasi pantai, letusan gunung api, angin puting beliung, badai dan gelombang ekstrem, gempa bumi serta tsunami.

Hal ini disebabkan tidak hanya karena faktor alam dan geografis namun juga dipicu oleh kerusakan lingkungan.

Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) 2016, tercatat 462 bencana  di Sumbar, terhitung 28 Januari 2011-30 November 2016. Bencana menyebabkan 122 orang meninggal, 17 hilang, 225 terluka dan 41.736 orang harus hidup di pengungsian.

Banjir terbanyak dengan 135 kejadian disusul tanah longsor 111, angin puting beliung 99 serta 16 banjir disertai tanah longsor.

 

 

 

Kayu log perusahaan melintas di pemukiman. Foto: YCMM
Kayu log perusahaan melintas di pemukiman. Foto: YCMM

Penegakan hukum lemah

Penegakan hukum terhadap pelanggaran perusahaan berizin legal maupun penebangan illegal dinilai lemah.

PBHI Sumbar bersama masyarakat Nagari Sungai Batuang, Sijunjung melaporkan aktivitas ilegal di hutan suaka alam Juni 2016. Belum ada tindak lanjut.

LBH Padang bersama masyarakat Sungai Abu, Solok, juga melaporkan penebangan ilegal dan tambang ilegal dalam hutan lindung ke Polda Sumbar. Sampai kini,  masih menunggu respon.

LBH Padang telah mengajukan pencabutan izin terhadap 79 IUP, 12 pada hutan konservasi seluas 190,16 hektar. Sisanya, 67 IUP terindikasi pada hutan lindung seluas 97.315,06 hektar. Permintaan pencabutan izin ini tengah proses PTUN Padang.

Direktur LBH Padang, Era Purnama Sari mengatakan, muara problem eksploitasi sumber alam terutama tambang dan hutan berkenaan dengan masalah perizinan. Untuk itu, katanya, harus ada pembenahan  tata kelola seperti perbaikan adminisrasi jadi garda depan.

Gubernur sebagai pemegang otoritas tertinggi di Sumbar, katanya, perlu penataan penegakan hukum administrasi terutama pengawasan dan penjatuhan sanksi-sanksi administrasi.

“Gubernur harus tegas, tak boleh ragu menindak korporasi pelanggar hukum, termasuk berani mencabut izin-izin melanggar hukum dan kewajiban,” katanya.

Pemerintah, katanya,  dalam mengeluarkan izin tambang harus memegang prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC). Di mana, hak masyarakat menentukan bentuk-bentuk kegiatan yang mereka inginkan pada wilayah mereka.

Bila ingin pakai hak masyarakat seperti tanah, hutan maupun kekayaan harus meminta persetujuan masyarakat adat.

“Di sini gubernur penting memastikan birokrasi memfasilitasi penguatan masyarakat untuk membuat perjanjian adil dengan investor,” katanya seraya bilang,  adil, berarti keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak pertama dan kedua.

Menanggapi ini Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno mengatakan, tak bisa semena-mena mencabut izin tambang. Katanya, harus ada langkah-langkah sebelum pencabutan.

Dia mengajak masyarakat dan berbagai lembaga sawadaya masyarakat bersinergi memberikan informasi kalau ada pelanggaran-pelanggaran perusahaan, hingga jadi pegangan dalam pengambilan keputusan.

Irwan mengatakan, tak mungkin melarang pengelolaan hutan 100%, tetapi bisa membatasi. Dia meminta, LSM bersikap obyektif, missal, hutan produksi ditetapkan pemerintah bisa keluar izin. Kalau hutan konservasi,  dia berkomitmen sama-sama menjaga.

Pemprov Sumbar, katanya, juga berkomitmen mewujudkan hutan adat sampai 500.000 hektar, kini baru 100.000 hektar.

sumbar-tata2

Sagu di Pulau Siberut. Wilayah kelola warga makin terhimpit karena lahan-lahan sudah berizin. Foto: Rachmadi
Sagu di Pulau Siberut. Wilayah kelola warga makin terhimpit karena lahan-lahan sudah berizin. Foto: Rachmadi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,