Tahun 2016, masih merupakan waktu yang belum bersahabat untuk lingkungan Aceh. Pembukaan hutan dan kebakaran masih terjadi. Perburuan dan pembunuhan satwa juga tak kunjung usai.
Perburuan satwa dilingungi yang berakhir dengan kematian merupakan ancaman serius. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa bangkai gajah yang dibunuh dengan cara diracun. Penangkapan pelaku serta penyitaan awetan harimau oleh kepolisian yang dibantu lembaga swadaya masyarakat adalah bentuk kejahatan berikutnya.
Pembukaan lahan ilegal untuk perkebunan juga masih berlangsung. Sebagaimana yang terjadi di hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan. Pembukaan hutan gambut tersebut bahkan menggunakan alat berat.

Kebakaran hutan juga turut mewarnai kerusakan lingkungan di 2016 di beberapa kabupaten di Aceh. Termasuk, Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan yang terletak di Kabupaten Aceh Besar, atau hanya 80 kilometer dari Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh.
Selain hutan dan satwa, laut di Provinsi Aceh juga terancam. Ini ditunjukkan di pantai Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Sekitar 4.000 ton batubara yang hendak di angkut untuk pembangkit listrik ke salah satu pabrik semen di Aceh, tumpah ruah di bibir pantai.

“2016, masih menjadi tahun yang belum menggembirakan untuk penyelamatan lingkungan baik itu hutan, satwa maupun laut. Banyak kejahatan yang masih gentayangan, hanya beberapa kasus yang berhasil dibongkar oleh aparat penegak hukum,” terang Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.
Muhammad Nur juga menyebutkan, kepedulian pemerintah dan swasta untuk menyelamatkan hutan dan satwa tersisa di Aceh masih minim. Bahkan, beberapa kasus lingkungan yang masuk ke ranah hukum pun berakhir dengan vonis yang tidak berpihak pada lingkungan.

“Semoga 2017 ini, semua pihak khususnya pemerintah, lebih peduli pada penyelamatan lingkungan dan penegakkan hukum terhadap kejahatan lingkungan. Tegakkan hukum tanpa pandang bulu,” tegas Muhamad Nur.



