Kritis, Kondisi Korban Penembakan Jagawana di Selayar

Kondisi Husain atau Saddam (26), nelayan korban penembakan yang diduga dilakukan oleh polisi hutan (jagawana) Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan belum juga membaik, bahkan semakin kritis. Ia harus dirujuk ke RS Pelamonia Makassar dari RS Benteng Selayar, karena terjadi infeksi di bagian usus.

(Baca : LBH Makassar Kecam Penembakan Terhadap Nelayan di Selayar. Begini Peristiwanya)

Ketika ditemui Mongabay di ruang ICU RS Pelamonia, Makassar, Senin, (26/12/2016), Saddam tampak tak berdaya, harus bernafas dengan bantuan alat bantu oksigen. Nafasnya satu-satu. Ibunya, Kalsum, yang berdiri di sampingnya tampak sangat terpukul dan putus asa. Semua pertanyaan hanya dijawab dengan anggukan dan gelengan lemah.

“Sudah dua kalimi lepas jahitannya karena infeksi sewaktu masih di Selayar. Makanya dibawa ke Makassar agar dapat perawatan yang lebih baik,” Aminuddin, salah seorang paman Saddam, menjelaskan.

Menurut Aminuddin, perawatan di RS Pelamonia agak berbeda dibanding di Selayar sebelumnya dari segi fasilitas. Ia memperlihatkan usus Saddam yang baru dioperasi namun dibiarkan tetap di luar tubuh terbungkus plastik.

“Sewaktu di Selayar dulu, setelah dioperasi langsung dimasukkan ususnya, makanya infeksi terus.Perutnya mengeras dan kesakitan,” jelasnya.

Biaya perawatan Saddam selama di Selayar dan di Makassar ditanggung seluruhnya oleh pihak TN Takabonerate, termasuk di dalamnya biaya operasi sebesar Rp30 juta ketika di Selayar, biaya ambulans ke Makassar dan operasi dan rawat inap selama di RS Pelamonia. Sedangkan biaya akomodasi pihak keluarga menjadi tanggungan sendiri.

“Sebenarnya katanya biaya kami bisa ditanggung, yang penting ada tanda bukti kwitansi, tapi masa untuk belanja-belanja makanan saja semuanya harus pakai kwitansi. Jadi kami patungan saja dari keluarga kumpul-kumpul uang,” jelas Aminuddin.

Proses hukum tetap berlanjut

Meski seluruh biaya telah ditanggung oleh pihak TN Takabonerate namun Aminuddin berharap proses hukum terhadap pelaku penembakan tetap dlanjutkan. Pihak Polres Selayar pun telah menerbitkan surat pemeriksaan terhadap kasus tersebut.

“Surat dari polisi sudah ada, cuma sayangnya di situ tidak tertulis siapa pelakunya padahal sudah jelas nama-nama pelaku berdasarkan identifikasi pelapor,” ungkap Suharjo, kerabat Saddam yang lain.

Peristiwa penembakan terhadap Saddam, sebagaimana diberitakan Mongabay sebelumnya terjadi pada Sabtu (28/11/2016) lalu ketika Saddam dan dua orang temannya baru saja pulang dari bagang yang ditempatkannya di sekitar Pulau Rajuni, Selayar.

Terkait tuduhan illegal fishing yang dituduhkan pada Saddam, Aminuddin merasa tuduhan itu berlebihan, karena Saddam sama sekali tak membawa bom dan senjata apa-apa pada saat penembakan itu terjadi dan dalam posisi duduk.

“Saddam duduk di belakang kamar perahu tiba-tiba ada peluru dari belakang tembus ke perutnya. Ia tidak sedang berdiri saat ditembak, jadi keliru kalau dikatakan menyerang jagawana itu. Pelaku penembakan setelah kejadian langsung menuju Kota Selayar tanpa berusaha membantu,” tambah Aminuddin.

Saddam, nelayan korban penembakan yang diduga dilakukan oleh polisi hutan (jagawana) Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan, mengalami luka tembak tembus dari belakang ke depan mengenai ususnya. Dalam dua kali operasi sebelumnya sempat terjadi infeksi sehingga harus dirujuk ke RS Pelamonia Makassar yang memiliki fasilitas operasi yang lebih baik. Foto: Wahyu Chandra
Saddam, nelayan korban penembakan yang diduga dilakukan oleh polisi hutan (jagawana) Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan, mengalami luka tembak tembus dari belakang ke depan mengenai ususnya. Dalam dua kali operasi sebelumnya sempat terjadi infeksi sehingga harus dirujuk ke RS Pelamonia Makassar yang memiliki fasilitas operasi yang lebih baik. Foto: Wahyu Chandra

Informasi yang mereka dengar penembakan tersebut terkait dengan aktivitas illegal fishing di kawasan pulau tersebut, namun pihak keluarga mencurigai ini terkait adanya indikasi dendam antara pelaku dan korban.

“Saya tidak tahu hubungannya bagaimana, mungkin untuk membenarkan penembakan tersebut, sore hari setelah kejadian tiba-tiba ada penangkapan terhadap 17 nelayan di Pulau Tarupa, pulau tetangga, dengan tuduhan illegal fishing. Kami takutnya kedua kejadian ini sengaja dikait-kaitkan untuk membenarkan penembakan terhadap Saddam,” jelas Suharjo, yang juga merupakan Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Selayar (HPMKS).

Selain sebagai nelayan, Saddam ternyata juga mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Makassar.

“Ia sedang cuti untuk mencari biaya tambahan kuliah, makanya ia melaut lagi,” tambah Suharjo.

Terkait pernyataan Kapolres Kepulauan Selayar,AKBP Edy S Tarigan, yang menyatakan penembakan tersebut adalah legal dan sesuai dengan prosedur yang ada karena korban melawan, dianggap Suharjo terlalu tergesa-gesa dan hanya berdasar pada keterangan dari pihak pelaku saja.

Atas pernyataan tersebut, Syafruddin, Ketua Gerakan Mahasiswa Pelajar Pasilambena (GMPP) menuntut agar Kapolda segera mencopot Kapolres Kepulauan Selayar dan segera membentuk tim investigasi ke Selayar tanpa menunggu laporan dari Kapolres.

“Kita sudah sampaikan pada aksi di Polda 10 Desember lalu agar Kapolres segera dicopot atas pernyataannya tersebut,” ungkap Syafruddin.

Edi Kurniawan, dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar, juga menilai pernyataan Kapolres Kepulauan Selayartak masuk akal dan menyalahi ketentuan yang ada.

“Tidak selayaknya Kapolres menyatakan hal seperti, karena untuk menentukan apakah itu sesuai SOP atau tidak harus mekanisme tersendiri. Misalnya ada proses penyelidikan dan ditelusuri dari pihak korban maupun pelaku, baru bisa disimpulkan apakah sesuai SOP atau tidak. Ini kan pernyataannya terkesan panik dan terkesan melindungi pelaku,” ungkap Edi.

Menurut Edi, penembakan terhadap pelaku illegal fishing termasuk dalam standar operasional prosedur (SOP) terkait pengerahan kekuatan dan senjata api, yang diatur dalam Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009.

“Jika merujuk pada aturan itu, penembakan bisa dibenarkan jika pelaku melakukan tindakan pidana illegal fishing dan sudah diperingatkan, namun tetap melakukan pengeboman ikan. Apalagi jika melawan, maka sah-sah saja ditembak.”

Aminuddin, paman Saddam, nelayan korban penembakan yang diduga dilakukan oleh polisi hutan (jagawana) Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan, memperlihatkan surat pelaporannya ke Polres Selayar, sehari setelah kejadian penembakan. Sayangnya hingga saat ini belum juga dilakukan gelar perkara terhadap kasus ini. Foto: Wahyu Chandra
Aminuddin, paman Saddam, nelayan korban penembakan yang diduga dilakukan oleh polisi hutan (jagawana) Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan, memperlihatkan surat pelaporannya ke Polres Selayar, sehari setelah kejadian penembakan. Sayangnya hingga saat ini belum juga dilakukan gelar perkara terhadap kasus ini. Foto: Wahyu Chandra

Berbeda dengan kasus Saddam, dimana tak ada satu pun bom ikan yang ditemukan di perahu Saddam, sehingga tak ada bukti-bukti bahwa ia sedang melakukan praktek illegal fishing pada saat itu.

“Kalau alasannya mau ditabrak kapalnya kan aneh juga, karena pelurunya seharusnya dari depan ke belakang, nah justru faktanya kan dari belakang tembus ke depan. Ini berarti korban sedang membelakangi pelaku penembakan. Danyang paling parah bahwa tak ada upaya pertolongan yang dilakukan terhadap korban.”

Edi juga menilai proses hukum kasus Saddam ini sangat lamban karena hingga saat ini belum ada kepastian status untuk pelaku penembakan dan bahkan belum ditetapkan siapa pelakunya.

“Kalau proses hukumnya lamban masyarakat semakin resah dan ini akan memancing reaksi dari masyarakat karena tidak diproses secara hukum. Apalagi kondisi korban juga semakin kritis.”

Edi juga menyesalkan adanya informasi yang berkembang akan adanya tawaran dari pihak Taman Nasional yang akan menanggung seluruh biaya pengobatan dengan syarat laporan penembakan dicabut.

“Ini yang kami sesalkan, seharusnya tak ada istilah seperti itu. Ini memang kewajiban Taman Nasional untuk menanggung biaya terlepas dari proses hukum yang harus tetap lanjut.”

Menurut Edi, hingga saat ini polisi baru melakukan pemeriksaan terhadap dua saksi dari pihak korban. Sementara untuk pelaku sendiri belum diketahui secara pasti proses pemeriksaannya. Ia berharap seluruh proses pemeriksaan ini nantinya dilakukan secara terbuka dan transparan.

“Lakukanlah secara transparan supaya tidak terkesan ada yang dilindungi,” katanya.

Upaya hukum lain yang akan dilakukan pihak korban, menurut Edi, adalah melaporkan kasus ini ke Komnas HAM, Kompolnas, Propam dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri.

“Supaya dipantau betul-betul kasusnya, penanganan kasus dipercepat dan harus ada transparansi penyelidikan dan penyidikan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,