Keindahan perairan di Bali serupa pisau bermata dua. Di satu sisi, pantai-pantai indah di sepanjang garis pantai pulau ini mengundang jutaan turis tiap tahun. Namun, di sisi lain, pariwisata yang tak terkendali juga rentan merusak lingkungan perairan Bali.
Karena itulah, menurut Made Iwan Dewantama Manajer Jaringan Kawasan Konservasi Perairan Bali lembaga konservasi Conservation International (CI) Indonesia, Bali sangat perlu memiliki Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Namun, upaya tersebut tidak mudah.
Dilihat dari perspektif konservasi kawasan perairan, Bali memiliki keunikan. Pertama, Bali istimewa karena dilewati arus lintas Indonesia (arlindo) yang melewati dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua samudera yaitu Pasifik dan Hindia. Kedua, kawasan perairan Bali juga penting karena kekayaan biotanya seperti rumput laut, terumbu karang, dan ikan.
Salah satu temuan baru di Bali adalah terumbu karang endemik di Bali bernama karang jepun atau coral of Bali. Karang dengan nama ilmiah Euphyllia baliensis ini ditemukan pada 2011 lalu dan hanya ada di Perairan Candidasa, Karangasem.
Bali juga memiliki sembilan spesies laut dengan kelimpahan tinggi di laut selatan Bali, lima spesies lumba-lumba dan empat spesies paus. Namun, kekayaan spesies tersebut selama ini justru tidak terlalu diketahui. “Bali begitu hebat pariwisatanya sampai tidak peduli pada kekayaan biota laut yang dimiliki,” kata Iwan.
Sebagai pulau kecil dengan kekayaan biota laut, Iwan menambahkan, sudah seharusnya Bali dilindungi dari eksploitasi. Salah satunya dengan membatasi jumlah wisatawan yang datang terutama di kawasan rentan dengan kekayaan biota laut. Namun, kenyataannya tidak. Turis justru didatangkan sebanyak-banyaknya.
Provinsi Bali sebenarnya sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) 2009-2029. Sebagaimana disebut dalam RTWP tersebut, Bali merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan ekosistem pulau kecil yang harus terintegrasi.
Dalam pola pikir ini Bali dikelola dengan prinsip satu pulau, satu perencanaan, dan satu pengelolaan (one island, one plan, one management). Salah satu tujuannya untuk mewujudkan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/ kota untuk melindungi fungsi ruang dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang.
Namun, dalam praktiknya, Perda itu tidak bergigi. Salah satu contohnya adalah masih maraknya pembangunan fasilitas pariwisata di sempadan pantai meskipun menurut aturan sebenarnya tidak boleh.
Kawasan sekitar Uluwatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung mungkin bisa menjadi contoh bagaimana tidak bergiginya Perda RTRWP Bali tersebut. Restoran, kafe, ataupun hotel bahkan dengan bebasnya berdiri di atas karang dan tebing, sesuatu yang tak boleh menurut RTRWP tersebut.
Perlunya Jejaring KKP
Menurut Iwan, untuk itu Bali memerlukan Jejaring KKP yang memberikan kesempatan untuk para pemangku kepentingan berinteraksi di tingkat provinsi atau pulau, tidak hanya di dalam kabupaten atau desa mereka sendiri.
Selama lima tahun terakhir, CI Indonesia sudah menggagas dan melaksanakan program Jejaring KKP tersebut di Bali. Proses yang sudah dilaksanakan CI Indonesia kantor Bali itu antara lain diskusi terfokus, pemetaan kawasan, hingga pelatihan parapihak terkait konservasi kawasan perairan di masing-masing wilayah.
Namun, hingga saat ini, Provinsi Bali belum memiliki jejaring tersebut ataupun peraturan daerah yang melindungi kawasan perairan Bali secara khusus. “Sebelum rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dibuatkan Perda, maka Bali belum memiliki aturan terkait tata ruang laut, kecuali beberapa kawasan yang memang sudah ditetapkan secara khusus,” ujar Iwan.
Kawasan-kawasan khusus yang sudah diatur tersebut misalnya Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Nusa Penida di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung seluas 20.057 hektar. KKPD Nusa Penida ini diatur oleh Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang diluncurkan pada November 2010 sebagai bagian dari penerapan Coral Triangle Initiative (CTI) bersama lima negara lain, yaitu Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.
Kawasan lain di Bali yang sudah memiliki peraturan perlindungan perairan adalah KKP Buleleng dan Jembrana. Namun, statusnya masih pencadangan. Artinya, dia masih sebatas rencana dan belum disahkan.
Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2014, KKP di Kabupaten Buleleng telah diinisiasi sejak 2004 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Upaya ini berlanjut dengan evaluasi inventarisasi dan penilaian potensi calon kawasan konservasi laut daerah (CKKLD) Kabupaten Buleleng pada 2006.
Pada tahun 2007, Balai Riset dan Observasi Kelautan melakukan kegiatan Survei dan Analisa KKLD Pemuteran, Kecamatan Gerokgak. Namun sampai akhir tahun yang sama, kawasan-kawasan yang diusulkan belum dapat ditetapkan karena masih ada pro-kontra.
Pada 2010, pemerintah lokal kembali menginisiasi pembentukan KKP tingkat kabupaten. Setahun kemudian, tepatnya 2 Agustus 2011, Bupati Buleleng pun menandatangani Surat Keputusan Nomor 523/630/HK/ 2011 tentang Pencadangan KKP Kabupaten Buleleng. Wilayah yang masuk pencadangan KKP Buleleng ini total luasnya mencapai 14.040,83 hektar. Dia meliputi tiga wilayah yaitu Buleleng Timur seluas 6.661,68 hektar, Buleleng Tengah seluas 6.727,91 hektar, dan Buleleng Barat seluas 651,24 hektar.
Namun, menurut Iwan, KKP di dua wilayah tersebut perlu didukung dengan Perda Tata Ruang Laut di tingkat provinsi. “Kami mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bali untuk segera menyusun dan membuat perda tata ruang laut Bali karena aktivitas dan investasi di sektor perairan dan kelautan terus tumbuh dengan cepat tanpa izin,” kata Iwan.
I Made Sudarsana, Kabid Pengawasan Kelautan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali mengatakan DKP Bali tetap konsisten untuk membuat peraturan daerah untuk melindungi kawasan perairan, termasuk melalui penganggaran. “Namun dalam proses penganggaran ada mekanisme sangat panjang,” katanya.
Menurut Sudarsana, penganggaran tersebut sangat penting karena akan digunakan untuk membuat rencana zonasi dari survei kawasan, sosialisasi rencana zonasi, hingga pembuatan draf Rancangan Peraturan Daerah. “Paling tidak kami perlu Rp1 miliar untuk proses tersebut,” ujarnya.
Undang-Undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi salah satu hambatan. Dulunya, kewenangan mengatur ada di kota tapi sekarang ke provinsi. Akibat perubahan ini, menurut Sudarsana, daerah tingkat dua yang sebelumnya sudah siap menerapkan konservasi perairan pun harus membatalkannya karena tidak lagi menjadi kewenangan mereka.
Upaya konservasi perairan di Bali yang sudah ada, menurut Sudarsana, menggunakan keputusan yang sudah ada, terutama di wilayah Nusa Penida, Klungkung. Selain itu, Dinas KKP Bali juga masih aktif menggunakan 59 kelompok masyarakat pengawas yang terbentuk di beberapa tempat di Bali. “Mereka sebagai mata kami dalam pengawasan wilayah perairan Bali,” kata Sudarsana.
Menurut Iwan, adanya Kawasan Konservasi Perairan di Bali akan memungkinkan adanya dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memastikan efektivitas pengelolaan KKP dengan indikator jelas terutama pada dampak ekologi dan ekonomi buat masyarakat lokal.
Selain sebagai upaya perlindungan, implementasi kawasan konservasi di perairan sekitar Bali ini memang memprioritaskan kegiatan ekonomi berkelanjutan dan sesuai dengan prinsip ekologi seperti wisata perairan, aktivitas budidaya serta perikanan tangkap skala kecil yang berkelanjutan.