Korporasi Masih Kuasai Kelola Lahan di Jambi, Bagaimana Hutan Rakyat?

Korporasi masih menjadi penguasa pengelolaan hutan di Jambi. Catatan Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi memperlihatkan, 804.000 lebih hektar atau 37% dari total hutan di Jambi ‘milik’ korporasi untuk hak pegHPH dan HTI.

Kepala Dinas Kehutanan Jambi, Irmansyah mengatakan, sekitar 70% luas hutan di Jambi diberikan hak pengelolaan untuk hutan tanaman dan restorasi pada perusahaan. Pengelolaan korporasi,  bisa berkembang untuk kesejahteraan masyarakat sekitar dan dalam hutan.

“Pemda Jambi sejak 2014 sudah open akses, hutan untuk rakyat,” katanya, saat dialog penguatan ekonomi masyarakat di Jambi.

Nyatanya, pada 2016, BPS mencatat lebih 6,2 juta masyarakat miskin hidup di sekitar dan dalam hutan Sumatera. Di Jambi, terdata ada 174.000 lebih penduduk miskin tinggal di pedesaan dan sekitar hutan. Kerusakan sumber daya hutan di Sumatera justru kontradiktif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan dalam hutan.

Direktur Pundi Sumatera, Sutono, fasilitator pendanaan konservasi hutan Sumatera mengatakan, soal kemiskinan ikut andil sebagai penyumbang kerusakan hutan.

“Langsung tak langsung ada hubungan,” katanya.

Menurut dia, ada pembukaan lahan besar-besaran untuk pertanian, perkebunan dan pembalakan liar, semua demi memenuhi kebutuhan ekonomi, meski itu masih perdebatan. “Paling tidak ekonomi salah satu motif yang menyebabkan pembukaan lahan.”

Sutono mencontohkan, masyarakat di Renah Pemetik yang membuka perkebunan kopi di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Begitu juga banyak terjadi di Merangin di sekitaran TNKS.

Kerusakan hutan memicu berbagai bencana. “Kita sudah miskin bencana di mana-mana. Kemiskinan jadi tambah parah, bencana lebih memiskinkan,” katanya.

Pemerintah, melalui skema perhutanan sosial membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat sekitar dan dalam hutan mengelola hutan negara.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perhutanan sosial di Sumatera 779.904 hektar di 10 provinsi. Di Jambi, ditargetkan 228.971 hektar menjadi perhutanan sosial.

Saat ini, ribuan masyarakat Jambi yang tinggal di sekitar hutan telah mendapatkan hak pengelolaan hutan untuk sekitar 102.000 hektar hutan negara, terbagi dari 9.400 hutan adat dan 93.200 hutan desa.

Sutono menganggap, inisiatif perhutanan sosial belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi, setelah memperoleh izin pemanfaatan hutan, sebagian besar pengelola hutan bingung apa yang ingin mereka kembangkan. Sementara potensi hutan yang bisa dikelola cukup besar, mulai rotan, madu alam, getah-getahan, hingga buah-buahan.

Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, katanya, tak bisa berhenti hanya pada memberikan legalitas  pengelolaan  hutan  oleh  masyarakat, tetapi  harus lanjut dengan upaya serius mendorong dan memperkuat bisnis pengelolaan hutan oleh  masyarakat  atau (community  base  forest  enterprise).

“Perlu berlanjut dengan dukungan pengembangan bisnis agar efektif mendorong perekonomian masyarakat sekitar hutan.”

 

 

Konflik

Kesejahteraan makin rumit saat pendampingan lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepada masyarakat, baru sebatas tahap administrasi dan pengorganisasian untuk mendapatkan izin perhutanan sosial.

Hambali, Dewan Pembina Mitra Aksi Foundation, lembaga pendamping masyarakat untuk konservasi, mengatakan proses pengawalan tak kuat pascamendapatkan izin perhutanan sosial, kerap dimanfaatkan elit desa untuk jual beli lahan bawah tangan.

Meski tak terbuka, tetapi banyak terjadi di Batanghari, Kerinci, Bungo, Merangin, dan Tebo. Terutama di tapal batas antara perhutanan sosial dengan taman nasional. Hambali menyebut sebagai kawasan abu-abu. “Nah di situ mereka bermain.”

Ironisnya, jual beli merembet hingga taman nasional, hutan desa maupun hutan adat. “Dijual pada pendatang. Kadang dijual untuk investasi tambang atau geotermal, mereka butuh lahan untuk fasilitas jalan,” ucap Hambali.

Ujung-ujungnya konflik. “Seperti di Muara Madras atara Rantau Kermas dengan Pulau Tengah. Itu daerah abu-abu dan ada jual beli masyarakat lokal dengan pendatang, kan jadi konflik. Atau di Rantau Alai dengan Suangai Lalang,” katanya.

Konflik menjadi kian rumit saat isu dimanipulasi antarkelompok untuk membangun dukungan komunitas. Sejatinya,  hanya masalah pribadi dan kepentingan segelintir orang.

Menurut Hambali, konflik muncul buntut masyarakat belum memahami utuh fungsi hutan dan segala macam tata landscape.

Orang Rimba menanti kehadiran pihak perusahaan. Hampir satu bulan mereka mengungsi karena bentrok dengan satpam perusahaan. Foto: Elviza Diana
Orang Rimba menanti kehadiran pihak perusahaan. Hampir satu bulan mereka mengungsi karena bentrok dengan satpam perusahaan. Foto: Elviza Diana

Kala masyarakat belum siap, kadang menjadi masalah, seperti inisiatif perhutanan sosial, katanya,  terlalu buru-buru masuk dalam administratif rekognisi. Proses-proses yang semestinya dibangun sejak awal dilompati.

Perhutanan sosial apapun bentuknya, kata Hambali, terpenting pengawalan pascaperolehan izin pengelolaan. Hutan desa maupun hutan nagari yang langgeng, karena proses dengan benar.

 

 

Tekan deforestasi

Rudi Syaf Manager Warsi mengatakan,  laju deforestasi naik 50% ketika hutan dikelola korporasi. Dia mencontohkan, kasus DAS Pelapat, pengelolaan pada korporasi, laju deforestasi 1.262 hektar per tahun. Sesuai analisis citra satelit, tahun 2000 tutupan hutan DAS Pelapat 39.706 hektar, pada 2016 tinggal 19.509 hektar.

“Akibatnya, awal tahun, Dusun Batu Kerbau ke Kecamatan Pelepat hanyut disapu banjir bandang, padahal sebelum-sebelumnya kawasan ini relatif aman banjir. Jikapun banjir tak spontan, air naik perlahan dan turun perlahan tanpa menimbulkan kerusakan berarti,” katanya.

Dia bilang, perusahaan yang mendapat izin disitu ada PT Mugi Triman Internasional (HTI), PT Malaka Agro Perkasa (HTI), PT Citra Sawit Harum (sawit), serta perusahaan tambang batubara.

Sepanjang 2016,  Jambi dihantam banjir dan longsor akibat deforestasi. Sepuluh orang meninggal, empat hilang dan tujuh luka-luka. Banjir bandang juga menghanyutkan 78 rumah dan merendam 9.142  rumah lain.

Dampak banjir meluas, 14.694 hektar sawah gagal panen dan 39 bangunan sekolah terendam. Banjir bandang juga menyebabkan 140 desa terisolasi akibat jalan dan jembatan putus.

“Kondisi ini boleh dibilang berkebalikan dengan tahun lalu, tahun lalu kita kebakaran hebat,  tahun ini Jambi mengalami kebasahan cukup hebat. Ini memberi gambaran, ada kekeliruan dalam mengelola sumber daya alam kita,” ucap Rudi.

Berdasarkan interpretasi Lansat 8 Unit Geographic Information System  Warsi, dalam rentang 2012-2016, Jambi, kehilangan tutupan hutan 189.125 hektar.  Dari interpretasi 2012 hutan Jambi masih 1.159.559 hektar, tahun 2016 turun menjadi 970.434 hektar, setara delapan kali lapangan bola per jam.

Pemerintah, katanya, perlu pemulihan lingkungan dan mengurangi dominasi korporasi dalam penguasaan lahan dengan memperluas keterlibatan masyarakat dalam mengelola sumber daya.

“Dari pengalaman kami, ketika hutan dikelola masyarakat, laju deforestasi boleh dibilang nol persen.”

Dia mencontohkan,  pengelolaan Bukit Panjang Rantau Bayur di Kabupaten Bungo, dikelola masyarakat dengan skema Hutan Desa, sejak 2013-2015 laju deforestasi nol.

Pengelolaan hutan desa juga memberi multi manfaat, seperti pengembangan komoditas bertingkat dan pengembangan listrik mikro hidro.

Sukmareni, Koordinator Devisi Komunikasi Warsi mengatakan, masyarakat sekitar kawasan hutan di Jambi telah mengantongi 23 izin hutan adat dan 35 izin hutan desa, dengan luas 102.000 hektar. Lebih separuh bagian, mendapat hak pengelolaan hutan desa dari gubernur.

Ada tiga wilayah lagi kini proses persetujuan izin hutan desa, yakni Napal Melintang, Lubuk Bedorong dan Temalang. Ketiga wilayah di Sarolangun ini diusulkan sekitar 2013/2014 dan sempat terhenti karena overlapping dengan konsesi Gading Karya Makmur dan Semen Batu Raja.

“Proses cukup lama soalnya harus lewati 27 meja,” kata Reni. “Sekarang, ada Permen KLHK No.83 sudah bisa langsung, tapi dengan syarat masuk RPJMD atau punya pergup.”

Skema perhutanan sosial,  kata Sukmareni, bisa menekan laju deforestasi dari perambahan. Masyarakat menjaga hutan dari pembalak liar. “Masyarakat lokal justru akan menjaga, soalnya mereka akan terdampak langsung kalau hutan rusak.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,