Kala Konflik Lahan dengan Perusahaan Malah jadi Tersangka, Warga Adat Protes

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, bersama ratusan masyarakat adat, dua pekan lalu unjukrasa di Kantor Bupati Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara. Mereka membawa berbagai atribut dan berbagai selebaran bertuliskan tuntutan menolak kriminalisasi masyarakat adat.

Dalam aksi, warga adat terdiri dari orangtua dan anak muda ini, menuntut agar Pemerintah Tobasa, segera menyampaikan kepada pemerintah pusat, agar mempercepat penutupan perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL), dianggap menebang kayu hutan dan mengganti pohon eukaliptus. Mereka menuding kondisi ini memicu penggundulan hutan lindung dan hutan adat di Tano Batak.

Mereka juga menuntut kepolisian Polres Tobasa, menghentikan kriminalisasi masyarakat adat Matio dan Huta Tungko Nisolu. Komunitas adat ini kerap aksi penolakan perusakan hutan adat oleh perusahaan.

Roganda Simanjuntak, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Tano Batak, kepada Mongabay mengatakan,  ada beberapa tuntutan yaitu menghentikan proses hukum terhadap warga adat Matio dan Huta Tungko Nisolu yang jadi tersangka oleh Polres Tobasa, atas laporan TPL dengan tuduhan membakar hutan. Tuntutan lain, menghentikan kriminalisasi masyarakat adat, dan menghentikan aktivitas TPL di wilayah adat.

Mereka juga menuntut segera pengesahan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Tobasa.

Tampak dalam aksi, para ibu orasi depan pintu masuk Kantor Buoati Tobasa. Aksi mereka dihalangi petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Sebelumnya Polres Tobasa, atas laporan TPL, menetapkan empat warga adat Matio sebagai tersangka perambahan hutan, masing-masing Berlin Silaen, Hotman Siagian, Parlindungan Siagian, dan Parasian Siagian. Mereka warga Dusun Matio, Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Tobasa.

Polisi juga menetapkan Dirman Rajagukguk, Ketua Adat Tungko Nisolu, warga Dusun Tungko Nisolu, Desa Parsoburan Barat, Tobasa sebagai tersangka perambahan dan pembakaran hutan.

“Mereka jadi tersangka, selama ini aktif menolak perusakan hutan negara dan hutan adat oleh TPL. Ini membuat perusahaan mengatur strategi mencari sela agar membungkam mereka, salah satu dengan tuduhan perusakan dan pembakaran lahan,” ucap Simanjuntak.

Dia merasa aneh. Warga adat ini, katanya, turun temurun menjaga hutan agar tak rusak, malah jadi tertuduh pembakar dan perambah hutan. “Ini bentuk kriminalisasi.”

Dia curiga kalau perusahaan melaporkan para tokoh adat Batak itu ke polisi, berawal protes masyarakat adat Matio dan Tungko Nisolu terhadap TPL yang memasuki wilayah adat mereka.

Warga adat marah pada TPL yang merusak makam leluhur dan tanaman pertanian, serta sumber air yang turun temurun mereka jaga.

TPL melaporkan masyarakat adat membakar hutan. “Hutan mana yang dibakar, karena di desa mereka hutan sudah habis dibabat TPL. Begitu juga menebang hutan, hutan yang mana?”

Simanjuntak mendesak kepolisian menghentikan penyidikan terhadap warga, sebaliknya, menuntut polisi menyelidiki dugaan perambahan hutan adat oleh TPL.

Dirman Rajagukguk, Ketua Adat Huta Tungko Nisolu, mengatakan, sudah lebih 10 kali dipanggil kepolisian untuk diperiksa sebagai tersangka.

Dia menolak semua tuduhan padanya. Dia tak pernah membakar, merusak hutan seperti tuduhan TPL melalui laporan karyawan perusahaan ke Polres Tobasa.

Turun temurun, dia sudah tinggal di Dusun Tungko Nisolu, Desa Parsoburan Barat, Tobasa. Desa itu, ditemukan leluhurnya, dan selama ini sebagai lahan bertani padi.

Dia merasa aneh kala sejumlah orang mengaku karyawan TPL melarang beraktivitas di hutan adat mereka. Saat beberapa orang TPL datang, dia tengah membakar sampah bekas rumput dan jagung yang sudah panen. Atas dasar itu, dia dilaporkan ke polisi dengan tuduhan membakar dan merusak hutan.

“Ini tanah adat yang sudah kami tempati turun temurun dan jadi lahan pertanian. Eh, tiba-tiba perusahaan kayu itu datang bilang ini lahan mereka. Kalau mereka punya izin, kami punya surat adat. Dulu mana ada sertipikat tapi tanda batas ada disitu sampai sekarang bisa saya tunjukkan.”

Saurlin Siagian, Peneliti dari Hutan Rakyat Intitute (HaRI), mengatakan, negara harus mengimplementasikan dan proses pengadministrasian pengakuan hak masyarakat adat.

Dia mengatakan, ada masalah pengetahuan dari para birokrat lokal yang masih memakai ilmu lama, yaitu melihat tanah sebagai wilayah kuasa negara tanpa memperhatikan dan mengakui alas hak lain seperti hak-hak tradisional dan adat.

Komunitas adat unjuk rasa di Kantor Bupati Toba Samosir desak hentikan kriminalisasi warga oleh perusahaan. Foto: Ayat S Karokaro
Komunitas adat unjuk rasa di Kantor Bupati Toba Samosir desak hentikan kriminalisasi warga oleh perusahaan. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,