Tahun Ini Masa Penting Pemerintah Beraksi Nyata Pulihkan Lingkungan

Lebih dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo menata kelola lingkungan termasuk kehutanan negeri ini. Ada yang positif, dan masih ada juga pertentangan. Tahun 2017, dinilai sebagai masa cukup berat bagi pemerintahan ini untuk menunjukkan kerja atau implementasi beragam rencana, mengingat pertengahan 2018 mulai masuk masa pemilihan Presiden 2019.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, 2017 jadi pembuktian kerja konkrit pemerintah Joko Widodo. ”Untuk serius dan konsisten memulihkan lingkungan dan kehidupan bangsa yang sedang sakit,” katanya di Jakarta.

Kebijakan pemerintah, katanya, masih terbelah, ada beberapa kemajuan sektor lingkungan dan kehutanan tahun lalu, seperti pemerintah memberikan akses kelola hutan kepada rakyat.

Namun, katanya, sisi lain, pemerintah memberikan kemudahan berlebihan pada investasi merusak hutan, lingkungan dan menimbulkan konflik sosial.

”Ketidakkonsistenan itu masih terjadi hingga kini. Perlu membuktikan negara hadir di tengah masyarakat sebagai komitmen nyata ataukah hanya janji kosong,” katanya.

Dia mengingatkan, permasalahan lingkungan masih terus menghantui tahun ini, seperti bencana ekologi, konflik agraria dan sumber daya alam, korupsi serta kejahatan lingkungan.

”Aksi perlu diperbanyak, tahun ini waktu efektif untuk betul-betul memperbaiki tata kelola hutan,” kata Aditya Bayunanda, Manajer Tranformasi Pasar Komoditas kehutanan WWF- Indonesia kepada Mongabay.

Dia mengatakan, pemerintah pusat sudah memiliki landasan kuat lewat berbagai kebijakan. Hanya, perlu politicall will dalam membumikan keadilan lingkungan bagi seluruh masyarakat.

 

Hutan gambut dalam berubah jadi kebun sawit di Riau dengan penanganan kasus tak jelas termasuk terhadap perusahaan penggarap yang berdalih menjadi 'bapak angkat.' Ada larangan pembukaan lahan gambut, ada PP Gambut, dan aturan lain-lain, apakah hal-hal macam ini akan terus terjadi ke depan? Foto: KLHK
Hutan gambut dalam berubah jadi kebun sawit di Riau dengan penanganan kasus tak jelas termasuk terhadap perusahaan penggarap yang berdalih menjadi ‘bapak angkat.’ Ada larangan pembukaan lahan gambut, ada PP Gambut, dan aturan lain-lain, apakah hal-hal macam ini akan terus terjadi ke depan? Foto: KLHK

 

 

Kelola hutan

Akhir tahun lalu, kemajuan pemerintahan Jokowi dalam mengimplementasikan komitmen pengelolaan hutan kepada rakyat melalui perhutanan sosial dan pengakuan hutan adat. Pada 2017, kata Yaya, perlu lebih ditingkatkan. ”Hingga kini luasan masih jauh dari target,  12,7 juta hektar,” katanya.

Untuk itu, perlu ada komitmen bersama baik pemerintah pusat, daerah maupun kelompok masyarakat sipil yang mendampingi komunitas hingga gerakan lebih cepat dan meluas.

”Resolusi konflik tenurial menjadi bagian tak terpisahkan dalam akses kelola masyarakat. Sering tumpang tindih dengan konsesi korporasi,” katanya.

Selain itu, proses pengukuhan kawasan hutan melambat sejak 2014, dengan capaian hingga 68,9%. ”Jika tak tuntas, akan memperbesar risiko timbul konflik dalam pemanfaatan hutan dan konflik lain,” Syahrul Fitra, Peneliti Auriga kepada Mongabay.

Kondisi ini, katanya, karena penerapan proses koordinasi dan supervisi lintas kementerian dan lembaga masih lemah. Beberapa intrumen terkait kehutanan, katanya, tak menguntungkan kelompok masyarakat terdampak pembangunan.

”Antar kementerian dan lembaga terlihat masih saling menunggu dalam inventarisasi penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam hutan yang masih menjadi utang.”

Mulai 15 November 2016, lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Goverment and Trade) berlaku efektif, yang menjadi langkah positif.

Yayasan Auriga menyebutkan, dengan pengakuan itu permasalahan bisa meminimalisasi pembalakan liar. Meskipun begitu, pengawasan tak boleh lengah. Bukan mustahil, lewat SVLK (sertifikasi verifikasi legalitas  kayu)—bagi yang pegang sertifikat ini bisa serta merta dapat lisensi FLEHT—malah jadi ajang bersembunyi pelaku illegal logging.

Greenpeace mendesak pemerintah konkrit dan konsisten dalam komitmen Nationally Determined Contributions (NDC).

Leonardo Simanjuntak, Kepala Greenpeace di Indonesia menggarisbawahi sektor kehutanan 2017 akan menuntut konsistensi kebijakan, seperti: moratorium ekspansi perkebunan sawit, izin konsesi hutan primer dan kawasan gambut. Juga, restorasi lahan gambut yang jadi target BRG dan penegakan hukum tegas dan keras.

”Implementasi seperti restorasi gambut masih terhalang dengan ada kelemahan koordinasi lintas kementerian dan lembaga terkait,” katanya saat dihubungi Mongabay melalui surat elektronik. Padahal, restorasi gambut jadi komitmen Indonesia pada COP21 di Paris.

Soal moratorium, katanya, GP menilai masih ada titik kelemahan. ”Ada inkonsistensi antara pemerintah pusat dan daerah.”

Banyak moratorium izin konsesi mendapatkan ‘pemutihan’ hingga terjadi deforestasi kala mengeluarkan konsesi dari hutan.

Terkait moratorium sawit juga masih terjadi pertentangan dari anggota DPR dan pelaku usaha. Pemerintah, perlu tegas melihat lebih jernih.

”Kami tak menentang apriori industri sawit, tetapi fakta menyebutkan hutan menyusut signifikan karena ekspansi sawit,” katanya mengatakan, peningkatan produksi melalui intensifikasi seharusnya menjadi peluang keberlanjutan.

Penegakan hukum

Mengenai penegekan hukum, Syahrul menilai sebagai salah satu pekerjaan rumah yang harus diperbaiki tahun ini.  Tahun lalu, ada beberapa putusan, seperti PT Bumi Mekar Hijau, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Merbau Pelelawan Lestari dan PT Nusantara Sawit Persada menunjukkan kepada publik korporasi perusak hutan mampu diminta pertanggungjawaaban.

”Perlu disadari kasus ini tunggakan rezim sebelumnya. Kejelasan tindak lanjut korporasi kasus karhutla 2015 masih belum jelas,” katanya.

Praktik ‘salah urus’ tata kelola hutan di hulu dipercaya sebagai korupsi. ”Kami akan bekerjasama lebih erat dengan KPK tahun 2017,” ucap Leonardo.

Catatan penegakan hukum sektor kehutanan dan lingkungan hidup masih perlu dibenahi. ”Kita apresiasi upaya serius Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penuntutan, tetapi masih prihatin atas ketidakkonsistenan pengadilan dalam memberikan hukuman bagi penjahat lingkungan,” katanya.

Satgas KLHK kala turun lapangan memantau konsesi tebu yang menjadi kebun sawit akhir tahun lalu. Bagaimana kelanjutan penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran ini? Mari lihat pada 2017. Foto: Humas KLHK
Satgas KLHK kala turun lapangan memantau konsesi tebu yang menjadi kebun sawit akhir tahun lalu. Bagaimana kelanjutan penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran ini? Mari lihat pada 2017. Foto: Humas KLHK

Banyak keputusan hakim memberikan hukuman sangat ringan, hingga tak menimbulkan efek jera.

Monitoring dalam moratorium izin dan konversi lahan, katanya,  perlu kuat dengan penyertaan penegakan hukum. Jika 2016, pengurangan titik api karena kontribusi musim yang lebih basah, pemerintah tak boleh lengah pada 2017.

”Harus bersiap menghadapi musim tak seramah 2016,” kata Yaya.

Seiring itu, penegakan hukum perlu didorong dengan transparansi sistem informasi tata kelola, tata ruang dan peta kehutanan.

Kebijakan Satu Peta, katanya, mesti diseriusi, tak hanya bicara informasi geospasial juga komitmen memberikan akses publik seluas-luasnya dalam informasi tata kelola hutan.

 

 

 

Hutan Papua

Menurut dia,     hutan primer dan gambut Papua juga harus menjadi isu yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah.

”Deforestasi meluas, baik logging maupun ekspansi perkebunan sawit,” katanya.

Rencana konversi jutaan hektar hutan di selatan Papua untuk pertanian beras, biofuel dan sawit sangat menghawatirkan. Papua akan kehilangan hutan hujan tropis dengan masif.

Fakta memperlihatkan, cadangan hutan hujan di Indonesia di Sumatera dan Kalimantan,  sudah lenyap. ”Apakah akan membuat Papua kehilangan hutan hujan seperti di Sumatera dan Kalimantan?”

Papua memiliki posisi strategis dalam mitigasi perubahan iklim di dunia bersama Brazil (Amazon) dan Kongo. Jika deforestasi berlanjut, kepercayaan dunia terhadap di Indonesia akan terancam.

Untuk hak kelola warga, Greenpeace mengapresiasi pemberian pengakuan pemerintah terhadap hutan adat di pengunjung tahun 2016. ”Tetapi luasan terlalu kecil dibandingkan jutaan hektar yang diberikan kepada konsesi logging, sawit dan tambang,” katanya.

Dia berharap, 2017, Presiden menyerahkan penetapan hutan adat berlipat ganda. Termasuk hutan adat dan kearifan lokal masyarakat Papua.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , ,