Pesisir timur Sumatera yang membentang sepanjang 720 kilometer merupakan kawasan pemukiman ramai dengan berbagai aktifitas ekonomi. Wilayah ini meliputi wilayah timur pantai yang mencakup Sumatera Selatan dan Lampung saat ini. Mencakup Kabupaten Lampung Timur (panjang 98 kilometer), Tulangbawang (51,9), Ogan Komering Ilir (295,14) dan Banyuasin (275). Secara ekosistem terbagi menjadi lahan daratan (mineral) dan lahan basah (mangrove, rawa dan gambut).
Hal ini dibuktikan dengan tumbuhnya berbagai kerajaan, sejak era Sriwijaya, Kesultanan Palembang Darussalam, termasuk berbagai tinggalan artefak hingga permukiman yang masih dapat dijumpai jejaknya hingga saat ini.
Sempat redup pada era kolonial Belanda yang lebih memusatkan perdagangan di Batavia, wilayah ini mulai kembali dilirik pada awal abad ke-20.
Perkebunan karet di Sumatera Selatan mulai dikembangkan sejak 1902 oleh perusahaan asing, bersamaan dengan booming karet di awal abad ke-20. Kali pertama oleh perusahaan Harrison and Crossfield Company, kemudian Sociente Financiere des Caoutchoues, serta Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij.
Menurut Dr. Tirta Jaya Jenahar dalam artikelnya “Sejarah Perkembangan Karet di Indonesia”, (13 Mei 2010) pada tahun 1910-1911 terjadi ledakan harga karet di pasaran dunia yang mendorong para pengusaha perkebunan membuka dan mencari lahan mineral yang cocok untuk budidaya karet. Mencakup wilayah Lampung, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan yang dipusatkan di Palembang.
Adapun alur sungai, digunakan sebagai sarana transportasi untuk mengangkut karet di wilayah ini.
Meskipun sempat terjadi penurunan harga karet akibat depresi perekonomian dunia, harga karet kembali meningkat karena berkembangnya industri mobil Detroit di Amerika Serikat.
Menurut penuturan intelektual lokal, Djohan Hanafiah (1939-2010) kepada penulis beberapa tahun lalu, saat krisis ekonomi dunia (malaise) tahun 1930-an, Palembang merupakan salah satu kota yang selamat dari krisis tersebut, berkat basis produksi karet.
Sebagai bukti dari kesejahteraan, maka ribuan mobil dimiliki masyarakat Palembang yang dibeli dari pendapatan berbisnis karet. Tercatat 3.475 mobil dengan merk Ford, Albion, Rugby dan Chevrolet yang dimiliki wong Palembang.
Untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi global, pemerintah Belanda pun lalu mendirikan Rubber Restrict Kantoor di Palembang. Kantor ini mengontrol kualitas, harga dan eksport karet.
Ekspansi terus berlanjut di dataran pantai timur bertanah mineral. Wilayah pantai timur di Ogan Kemiring Ilir (OKI) mulai dilirik sebagai area perkebunan. Seiring dengan itu pemukiman mulai dibuka di Kecamatan Cengal, OKI.
Menurut Seringguk Umang (39), salah seorang warga Desa Talang Rimba, desa tertua di Kecamatan Cengal. Leluhurnya mulai membuka perkebunan di tempat itu sekitar tahun 1920-an. Menurut kakek buyutnya, masih banyak hewan liar yang dijumpai saat itu, seperti buaya, harimau dan gajah. Untuk menghindari satwa, maka rumah umumnya dibangun di tepi sungai atau tulung.
Pemerintah Belanda juga mengembangkan perkebunan karet di Sirah Pulau Padang mencakup Pampangan, serta Kayuagung mencakup Pedamaran. Daerah ini menjadi sasaran pengembangan perkebunan karet karena selain memiliki tanah mineral yang luas, juga banyak sungai dan rawa gambut sebagai jalur transportasi.
Jika getah karet oleh masyarakat pantai timur dijual atau dipasarkan ke Palembang, maka hasil bumi lainnya mereka jual ke Singapura, yang merupakan hub pelabuhan besar.
Baik ke Palembang maupun ke Singapura, mereka menggunakan perahu kajang atau tongkang, yang sudah digunakan masyarakat selama ratusan tahun.
Jalur ini pula, yang pada masa perjuangan revolusi fisik, digunakan sebagai jalur penyelundupan persenjataan dari pasar senjata gelap di Singapura yang dibarter dari hasil karet.
Namun, tidak semua desa di pantai timur terbentuk karena pengembangan perkebunan karet.
Contohnya, Mesuji, yang wilayahnya masuk Sumatera Selatan dan Lampung, terbentuk karena dikembangkan masyarakat untuk pertanian dan perikanan di akhir abad ke-19. Masyarakatnya, berasal dari Sirah Pulau Padang, Kayuagung, Tulangbawang dan Palembang.
Demikian pula, Tulangbawang, yang sejak abad ke-15 menjadi jalur perdagangan lada. Pada masa kolonial Belanda, Tulangbawang dengan ibukotanya Menggala juga menjadi pusat perniagaan lada, karet, kopi, rotan dan damar.
Di pesisir Lampung Timur, untuk membuka perkebunan, Belanda mendatangkan koloni orang Jawa untuk bermukim, dan mengembangkan perkebunan, termasuk kebun karet.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya selama rejim Orde Lama, kondisi masyarakat di pantai timur tidak mengalami perubahan yang signifikan dari masa kolonial Belanda. Meskipun pembangunan fisik relatif lamban dibandingkan di wilayah daratan, namun masyarakatnya cenderung makmur, lantaran kekayaan alam yang melimpah.
Baru, pada saat Orde Baru, tatanan yang ada mulai berubah, dengan dibukanya berbagai permukiman transmigrasi yang menyebar di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Banyuasin, hingga OKI. Yang terbesar di Lalan, Pulaurimau, dan Air Sugihan. Para transmigran ini selain bersawah, menanam palawija, juga berkebun sawit.
Tahun 1970-an, seiring dengan liberalisasi ekonomi dan “revolusi hijau”, pemerintah Orde Baru sangat gencar dengan aktifitas penebangan pohon untuk usaha perkayuan (HPH) baik legal maupun illegal dan pembukaan area persawahan.
Saat itu wilayah pantai timur mengalami kerusakan ekologis. Selain banyak hutan gambut habis, juga terancamnya satwa khas Sumatera, khususnya harimau dan gajah. Kehadiran transmigran pun menimbulkan sejumlah persoalan, seperti konflik manusia dengan gajah dan harimau, termasuk terjadi peristiwa kelaparan di Air Sugihan pada 1991.
Masa kejayaan ekonomi era boom kayu dapat dirasakan hingga 2000-an awal. Banyak orang kaya dari pantai timur. Mereka kaya dari berbisnis kayu, baik legal maupun illegal.
Bahkan kemakmuran terus berjalan hingga tahun 2010 ketika harga karet melambung hingga kisaran Rp20 ribu per kilogram mulai tahun 2005.
Masuknya Industri Tambak Udang dan Rencana Kawasan Ekonomi Khusus
Pesisir timur juga tidak lepas dari upaya pembukaan wilayah untuk industri tambak udang. Awalnya dimulai secara kecil-kecilan oleh masyarakat asal Jawa yang membuka lahan rawa.
Sjamsul Nursalim, konglomerat yang menjadi buronan pemerintah Indonesia hingga saat ini, saat memimpin PT Gajah Tunggal, mengembangkan pertambakan udang windu modern di pantai timur yang masuk Lampung dan Sumatera Selatan.
Selain membuka lahan gambut, keberadaan perusahaan udang pun tak urung dari konflik dengan para petambak plasmanya. Seperti yang terjadi pada PT Wachyuni Mandira (WM), sebuah perusahaan pertambakan udang windu terbesar di Asia Tenggara dengan luas mencapai 20 ribu hektar yang berlokasi di Desa Bumi Pratama Mandira, yang terletak di Mesuji, OKI.
Pertambakan yang dibangun PT WM sejak 1995, serta diresmikan Ramli Hasan Basri, Gubernur Sumsel saat itu, memiliki empat blok. Setiap blok terdapat 161 kanal. Jumlah petambaknya sekitar 2.500 orang, dan bersama keluarganya menjadi sekitar 3.500 jiwa.
Konflik bermula saat para petambak plasma menuntut bagi hasil dan kejelasan jumlah hutan mereka dengan perusahaan. Sebab selama dua tahun menjadi petambak plasma, mereka hanya tahu mengembalikan pinjaman sebesar 70 ribu dolar dari Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang kemudian dibekukan.
Pada 15 November 1998, protes ribuan petambak di lokasi berujung aksi pengrusakan. Selanjutnya, puluhan petambak dipenjara karena dituduh sebagai pelaku pengrusakan dan provokator aksi tersebut, dan ratusan petambak plasma lainnya kehilangan pekerjaan.
Setahun kemudian 1999, sekitar 9.000 petambak plasma PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) di Rawajitu, Kabupaten Tulangbawang, Lampung, yang saat itu juga masuk dalam kelompok PT Gajah Tunggal, meninggalkan area budidaya udang windu, karena tuntutan mereka soal transparansi harga udang windu dan cicilan utang yang mereka tuntut sejak 1996 belum juga menemui kejelasan.
Dampak kehadiran perusahaan pertambakan udang windu tersebut mendorong masyarakat pantai timur membuka pertambakan udang windu, yang kini berkembang menjadi pertambakan udang vaname dan ikan bandeng, dari Lampung Timur, Tulangbawang, OKI, hingga Banyuasin.
Keberadaan perkebunan sawit di wilayah pantai timur juga menimbulkan berbagai konflik lahan, antara perusahaan dengan masyarakat. Puncaknya konflik berdarah yang terjadi di Desa Sodong, Mesuji, Kabupaten OKI yang menewaskan tujuh orang.
Setelah “revolusi hijau” dan pembukaan lahan gambut untuk pertambakan udang, pantai timur mulai mengalami kebakaran yang hebat. Kebakaran besar terjadi pada tahun 1997 dan 1998. Berdasarkan catatan Pemda Sumsel, kawasan ekosistem rawa gambut yang terdegradasi dan rawan kebakaran di wilayah pantai timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Luasnya mencapai 645.249 hektar. Pada tahun 2015, kembali kebakaran hebat melanda lahan gambut di pantai timur ini.
Pantai timur pun direncanakan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Salah satunya lewat rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api yang ditetapkan melalui PP No.52 Tahun 2014 tertanggal 1 Juli 2014.
Luas KEK Tanjung Api-Api mencapai 2.030 hektar. Selain akan ada pelabuhan international, maka KEK ini akan diperuntukan bagi industri pengolahan karet, kelapa sawit, dan petrokimia.
Diperkirakan akan menyerap tenaga kerja langsung sekitar 149 ribu orang. Investasinya pembangunan kawasan Rp12,3 triliun dan investasi pelaku usaha sebesar Rp 125 triliun hingga 2025.
Awalnya, rencana pembangunan pelabuhan ini oleh Sainan Sagiman ketika menjadi Gubernur Sumsel, namun hingga tiga gubernur selanjutnya belum juga terwujud.
Pada era kepemimpinan Gubernur Rosihan Arsyad hingga Syahrial Oesman di Sumsel, pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api gencar dipromosikan. Berbagai MoU pun dilakukan.
Tetapi rencana tersebut mandeg ketika sejumlah anggota DPR RI (2004-2009) ditahan KPK karena diduga korupsi terkait alih fungsi hutan lindung, termasuk pula Syahrial Oesman turut ditahan, yang diduga mengetahui dan menyetujui pemberian uang Rp5 miliar oleh Direktur PT Chandratex kepada sejumlah anggota DPR RI agar mereka memberikan rekomendasi pengalihan hutan lindung di kawasan Pantai Air Telang dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-Api.
Di era kepemimpin Alex Noerdin, pelabuhan ini dilanjutkan dengan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api yang luasnya mencapai 2.030 hektar.
Para penggiat lingkungan hidup, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel pun tidak tinggal diam dengan rencana alih fungsi ini, protes dan meminta rencana proyek tersebut dihentikan karena merusak kawasan mangrove di Tanjung Api-Api.
Namun, protes tersebut tidak bersambut. Tanjung Api-Api terus berkembang, dan kini menjadi pelabuhan ferry yang menghubungkan Tanjung Api-Api ke Pulau Bangka.
Pudarnya Ikatan Masyarakat dengan Alam
Dinamika di pesisir pantai timur, politik dan ekonomi yang saling sengkarut, penanaman modal yang intensif, menjadikan masyarakat lebih melihat lahan sebagai faktor komoditas.
Saat ini sebagian besar masyarakat produktif yang menetap di pantai timur, rata-rata kelahiran tahun 1970-an. Memori mereka terhadap lahan tak lepas dari berbagai aktifitas perusahaan HPH, perkebunan, pertambakan udang dan ikan, HTI, aktifitas pertanian transmigran, serta pembangunan fasilitas yang dilakukan pemerintah dan pelaku usaha.
Dalam berbagai diskusi dengan masyarakat yang dilakukan Mongabay Indonesia, menyimpulkan ada tiga sikap masyarakat pantai timur terhadap lahan gambut.
Pertama, melihat lahan sebagai sumber ekonomi. Meskipun sebagian besar hutan gambut sudah habis, tapi masyarakat terus mencari kayu di lahan gambut. Misalnya mengambil kayu yang terendam di gambut–sisa dari aktifitas HPH—serta menebang pohon gelam karena adanya permintaan di masyarakat.
Kedua, sebagian masyarakat memanfaatkan lahan untuk pertambakan udang, ikan, perkebunan sawit, dan pertanian. Yang lainnya pun ingin melakukan hal yang sama jika memiliki modal.
Ketiga, hampir sebagian besar masyarakat melakukan penimbunan rawa gambut untuk membangun rumah, tempat usaha, dan lainnya.
Jalan masih panjang untuk melakukan perbaikan tata kelola lahan di pesisir timur Sumatera. Sepanjang puluhan dasawarsa ini, perubahan fisik, spiritual, dan bentang lahan telah terjadi. Perbaikan memerlukan tidak saja melalui perencanaan, tetpi pula kualitas sumberdaya manusia. Termasuk memperbaiki perilaku dan mental pengambil kebijakan, pelaku ekonomi dan manusia yang bermukim di sini.