Walhi: Ancaman Bencana Ekologis di Jawa Timur Itu Ada

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia telah mengeluarkan Catatan Lingkungan Hidup Jawa Timur 2016. Hasilnya, dari catatan tersebut terlihat kondisi lingkungan yang ditinggali masyarakat Jawa Timur sudah mengalami kerusakan.

Walhi menyebut, selama 2016, situasi ekologis di Jawa Timur belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Hal ini didasari atas banyaknya kasus lingkungan (127 kasus) yang terjadi, terutama sosial ekologi.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah satu dari sekian regulasi di tingkat pusat yang menjadi problem pada upaya penyelamatan lingkungan. “Ini dikarenakan, kebijakan ini perpanjangan dari MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia),” ujar Rere Christanto, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, di Surabaya, Senin (09/1/17).

Regulasi ini, membuka lebar-lebar masuknya investasi untuk mengeksploitasi lingkungan hidup. Belum lagi, regulasi daerah seperti RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berandil dalam pengambilalihan lahan masyarakat untuk kepentingan invenstasi.

“Wilayah-wilayah penting secara ekologi yang diambil itu merupakan area kelola rakyat seperti sawah, ladang, maupun daerah tangkap nelayan. Akibatnya, konflik sosial muncul antara investasi dengan masyarakat.”

Kulit dan tulang harimau sumatera yang disita dari penjual satwa di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Kulit dan tulang harimau sumatera yang disita dari penjual satwa di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Menurut Rere, pengambilalihan wilayah kelola masyarakat dapat dilihat dari luasan lahan usaha pertambangan migas dan mineral di Jawa Timur. Walhi Jawa Timur mencatat, ada 63 Wilayah Kerja Pertambangan dengan pembagian 31 Wilayah Kerja Pertambangan berstatus eksploitasi atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama), dan 32 Wilayah Kerja Pertambangan berstatus eksplorasi.

Korsup KPK (Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk Pertambangan Mineral dan Batubara mencatat, ada penurunan izin usaha pertambangan (IUP) per 29 Agustus 2016. Jumlah IUP di Jawa Timur turun bila dibanding data Kementrian ESDM di 2012. Dari 378 IUP kini menjadi 347 IUP. Namun, dari luasan lahan pertambangan justru mengalami peningkatan hingga 535 persen dalam kurun waktu 4 tahun, yaitu dari 86.904 hektare menjadi 551.649 hektar.

“Kerusakan lingkungan yang terjadi bukan melulu karena faktor alam, tapi campur tangan manusia melalui regulasi. Sektor tambang begitu mencolok.”

Walhi Jawa Timur mendesak pemerintah pusat dan daerah segera melakukan perbaikan regulasi, atau bila perlu mencabut aturan yang merugikan dan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup. “Berbagai regulasi yang cenderung melanggengkan eksploitasi alam dan meningkatkan konflik harus dicabut.”

Semburan lumpur Lapindo, salah satu bukti regulasi di bidang pertambangan yang tidak memperhatikan faktor lingkungan dan keselamatan masyarakat. Foto: Petrus Riski
Semburan lumpur Lapindo, salah satu bukti regulasi di bidang pertambangan yang tidak memperhatikan faktor lingkungan dan keselamatan masyarakat. Foto: Petrus Riski

Limbah B3

Selain kerusakan lingkungan, Walhi Jawa Timur juga menyoroti masalah pencemaran. Terutama, pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan pengolahan limbah B3 yang tidak sesuai aturan. “Kasus limbah B3 di Mojokerto menjadi perhatian berbagai media di Jawa Timur. Pemerintah harus peduli. Perbaikan lingkungan harus terus dilakukan agar bencana ekologis dapat dihindari,” papar Rere.

Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Prigi Arisandi di tempat terpisah mengatakan, Jawa Timur merupakan provinsi yang masuk kategori darurat limbah B3. Ada beberpa wilayah yang memiliki kawasan industri terpusat, seperti Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Pasuruan, dan Surabaya.

“Di Pasuruan, kami menemukan tanah bekas galian C yang dipakai untuk tempat pembuangan limbah perorangan. Sidoarjo dan Jombang juga demikian, termasuk kasus di Lakardowo, Mojokerto.”

Persoalan limbah kata Prigi, tidak dapat dilepaskan dari kewenangan perizinan dan pengawasan yang ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedangkan pemerintah daerah cederung enggan menangani karena merasa bukan kewenangan mereka.

“Menurut kami, ada semacam penistaan hak asasi masyarakat yang tidak terlayani. Padahal, negara tahu ada pelanggaran dan ada dampak terhadap kesehatan, tapi dibiarkan. Keselamatan warga dikesampingkan karena alasan kewenangan,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,