Nestapa Hidup Harimau Sumatera, Diburu hingga Menuju Kepunahan (Bagian 2)

Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan subspesies yang masih tersisa di Indonesia. Dua subspesies lainnya yang pernah ada yaitu harimau jawa dan harimau bali dinyatakan telah punah. Tahun 1940-an untuk harimau bali dan 1980-an untuk harimau jawa.

Bagaimana nasib harimau sumatera saat ini? Hampir 50% habitat harimau sumatera berada di Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu (Borner dalam Santiapillai and Widodo, 1987). Terutama di Bengkulu, habitatnya berada di Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sebagiannya lagi, berdasarkan kajian Forum Harimau Kita, ada di koridor Balai Bukit Rejang Selatan.

Perwakilan Forum Harimau Kita wilayah Bengkulu drh. Erni Suyanti Musabine saat ditemui akhir Desember 2016 menyebutkan, jumlah harimau sumatera di Balai Bukit Rejang Selatan sekitar 30 individu. Sementara itu, Koordinator Pelestarian Harimau Sumatera – Taman Nasional Kerinci Seblat (PHS – TNKS) Wilayah Bengkulu Nurhamidi, pada pertengahan Desember 2016 memperkirakan, populasi kucing besar ini di TNKS berkisar 166 individu.

Sedangkan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu – Lampung Abu Bakar Chikmad mengungkapkan, populasi harimau sumatera di Bengkulu hanya 17 individu. “Hampir punah, hanya tersisa 17 individu,” ungkapnya, ketika ditemui akhir November 2016. Perburuan dan perdagangan ilegal, konflik dengan manusia, dan kehilangan habitat adalah serangkaian ancaman utama.

Baca: Harmonisasi Masyarakat Ladang Palembang dengan Kehidupan Harimau Sumatera (Bagian 1)

Apa yang membuat perburuan terjadi? Ellis (2005) mengungkapkan, Indonesia menjadi eksportir utama tulang harimau dan produk tulang harimau dengan tujuan utama Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. “Di Sumatera, gigi, kuku, kumis, ekor, kulit, lemak, dan kotoran dipercaya memiliki kandungan obat, sedangkan penis dan tulang dipercaya untuk perangsang.”

Sampai 1990-an, bagian paling berharga dari harimau sumatera adalah kulit. Ketika permintaan tulang untuk obat meningkat, kulit, kendati masih berharga, tidak lagi menjadi alasan utama untuk perburuan. Untuk periode 1973 – 1992, Lilley (dalam Boomgaard, 2001) menyebutkan, Indonesia mengekspor lebih dari 4.000 kilogram tulang dengan berat rata-rata 8 kg per harimau. Jumlah harimau yang dibunuh dalam setahun setidaknya 25 individu.

Harimau sumera ini sakit ketika memasuki perkampungan di Resort Sekincau Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Maret 2015. Lambatnya penanganan menyebabkan nyawanya tidak tertolong. Foto: WCS-IP
Harimau sumera ini sakit ketika memasuki perkampungan di Resort Sekincau Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Maret 2015. Lambatnya penanganan menyebabkan nyawanya tidak tertolong. Foto: WCS-IP

Berburu harimau bukanlah tradisi masyarakat di Pulau Sumatera. “Cenderung tidak ada bukti tentang daerah perburuan ekslusif untuk keluarga kerajaan yang pernah berdiri di Sumatera. Kita tidak banyak mendengar tentang keluarga kerajaan yang berburu harimau di Sumatera,” ungkap Boomgaard (2001). Bukan hanya kerajaaan, Marsden (dalam Boomgaard, 2001) juga mengemukakan, penduduk sumatera tidak suka berburu harimau.

Bangsa Eropa yang mengenalkan perburuan harimau kepada penduduk Sumatera. Di Provinsi Bengkulu, Inggris yang mengenalkan. Namun, belum diketahui kapan Inggris yang mendarat pertama kali di wilayah Bengkulu pada 1685 itu, mulai mengenalkannya. “Kepala-kepala (harimau) sering dibawa untuk hadiah yang diberikan oleh British East India Company karena membunuhnya,” tulis Marsden (dalam Boomgaard, 2001).

Kendati demikian, pemberian hadiah tersebut tidak terlalu mendapat respon. “Hadiah uang untuk membunuh harimau di sini, dilakukan oleh pemerintah seperti di beberapa bagian India, tetapi sangat jarang diklaim. Orang-orang Bengkulu terlalu percaya takhayul dan lamban untuk usaha/bisnis,” ungkap Heyne (dalam Boomgaard, 2001) yang berkunjung ke Bengkulu pada 1812.

Pada 1825, wilayah Bengkulu diserahkan oleh Inggris kepada Belanda. Pemberian hadiah yang diberlakukan Belanda juga tidak terlalu direspon oleh penduduk Bengkulu. Boomgaard (2001) mengungkapkan, pada 1895, Residen Bengkulu menulis bahwa dia sangat familiar dengan sebuah kasus dimana seorang pemimpin tua menolak untuk mendapatkan hadiah untuk seekor harimau yang ditangkap. Alasannya, tidak ingin menjual leluhurnya.

Tidak terlalu mendapat respon, pemberian hadiah di Sumatera dihapus pada 1897. Residen di Sumatera menyatakan harimau tidak boleh dibunuh karena hadiah. Kendati sistem hadiah dihapus, tidak berarti pengaruhnya hilang. Sekitar 1935, pesta berburu yang dipimpin oleh seorang pegawai sipil telah membantai 70 individu di Bengkulu. Pesta berburu untuk menyikapi  “epidemik harimau” akibat pemasangan racun untuk babi hutan. Tahun 1950, diperkirakan harimau tidak terlihat lagi di sekitar Kota Bengkulu.

Yanti Musabine saat menyelamatkan Elsa yang kaki kanan depannya luka di kosensi perusahaan sawit di Kabupaten Kaur, 3 April 2014. Foto: Dok. BKSDA Bengkulu
Yanti Musabine saat menyelamatkan Elsa yang kaki kanan depannya luka di kosensi perusahaan sawit di Kabupaten Kaur, 3 April 2014. Foto: Dok. BKSDA Bengkulu

Perburuan harimau untuk diperdagangkan mulai marak di Bengkulu diperkirakan pada 1980-an. Menurut Matthiessen (dalam Ellis, 2005), menipisnya simpanan Tiongkok (China) atas tulang harimau, menjelaskan kenaikan perdagangan tersebut akhir 1980-an. Perburuan harimau meningkat di India, Bhutan, Indochina, Indonesia dan Timur Jauh Rusia. Pencarian tulang harimau untuk diekspor ke China daratan dan Taiwan adalah alasan utama banyaknya harimau dibunuh.

Harimau yang dibunuh pada 1990 – 2000 di Sumatera

Provinsi 1990 91 92 93 94 95 96 97 98 99 2000 Total
Bengkulu 10 5 5 7 12 24 25 46 46 33 2 215
Sumatera Selatan 4 15 15 9 11 9 17 14 13 107
Lampung 2 4 5 12 10 18 25 11 4 91
Jambi 1 6 6 14 17 14 9 8 75
Riau 4 1 2 6 4 11 10 12 13 8 2 73
Sumatera Barat 1 3 2 4 5 11 12 13 7 58
Total 15 10 27 35 40 69 79 122 125 81 16 619

Sumber: Tilson et al (2010)

Dilihat asalnya, menurut Tilson et al (2010), jumlah harimau sumatera yang dibunuh lebih banyak berasal dari taman nasional (369 individu atau 58%) dibandingkan dari luar taman nasional (260 individu atau 42%). TNKS merupakan taman nasional dengan jumlah terbanyak. Yakni, 122 individu atau 33% dari total harimau sumatera dari taman nasional (369 individu).

Harimau yang dibunuh antara 1990 – 2000 di Sumatera, di dalam dan luar taman nasional

Lokasi 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Way Kambas 0 0 1 0 0 1 2 3 4 3 1
Bukit Barisan Selatan 0 0 1 4 6 11 9 18 24 9 4
Kerinci Seblat 2 3 8 10 9 14 15 21 25 15 1
Berbak 0 0 0 0 2 3 10 11 8 5 4
Bukit Tigapuluh 0 0 0 1 5 14 18 21 19 10 4
Total Dalam Taman Nasional 2 3 10 15 22 43 54 74 80 42 14
Luar Taman Nasional 13 7 17 20 18 26 25 48 45 39 2
Total 15 10 27 35 40 69 79 122 125 81 16

Sumber: Tilson et al (2010)

Perburuan di Bengkulu

Perburuan harimau di Bengkulu, tambah Tilson et al (2010), melibatkan 63 orang (24 profesional, 33 amatir, dan 6 orang pemula). Jumlah itu, jauh lebih banyak dibandingkan di Lampung yang melibatkan 25 orang (8 profesional dan 27 amatir), serta Sumatera Selatan yang melibatkan 11 orang (2 profesional dan 9 amatir).

Hasil investigasi PHS-TNKS wilayah Bengkulu mengidentifikasi kelompok pemburu harimau di Mukomuko, Bengkulu Utara, Lebong dan Rejang Lebong berkisar 10 – 15 orang. Setiap kelompok berjumlah 2 – 5 anggota. Kelompok ini dibiayai pemodal atau sendiri. “Beberapa pernah sekelompok, kemudian pindah ke kelompok lain, atau membentuk kelompok baru bersama anggota kelompok lain atau merekrut anggota baru,” papar Nurhamidi.

Harimau sumatera yang terkena jerat di Hutan Produksi Terbatas Air Rami Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat
Harimau sumatera yang terkena jerat di Hutan Produksi Terbatas Air Rami Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat

Dalam melakukan aktivitas, pelaku melakukan survei dahulu. Bila dianggap tepat, pelaku memasang tanda atau membuat lubang di areal survei. Kedatangan berikutnya untuk memasang jerat. Bila tidak di pematang yang sempit, jerat akan dipasang dengan membuat jalur khusus. “Ada yang menggunakan umpan dan ada yang tidak. Kalau menggunakan, artinya ingin cepat atau waktunya singkat.”

Hasil patroli tim PHS-TNKS pada 2015 menemukan 56 jerat aktif, sedangkan pada Januari – November 2016 disita 22 jerat aktif. Jerat ditemukan di kawasan TNKS dan penyangga. “Untuk indikasi perjumpaan seperti jejak, kotoran, cakar, dan suara ditemukan 68 indikasi selama 2015. Sementara Januari – November 2016, ada 40 indikasi.”

Selain harga jual, intensitas perburuan dipengaruhi musim dan kondisi perekonomian seperti kemarau panjang dan komoditi pertanian yang anjlok. Masa puasa dan lebaran juga cenderung memacu intensitas. “Kini, pelaku mulai membeli informasi dari penduduk, misalnya jejak. Berita tentang konflik harimau dan manusia di media massa juga sudah menjadi sumber informasi  bagi mereka,” ujar Nurhamidi.

jejak kaki harimau sumatera yang ditemukan saat patroli. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat.
jejak kaki harimau sumatera yang ditemukan saat patroli. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat.

Bagian tubuh harimau sumatera dijual untuk beragam keperluan. Sebut saja untuk bahan pembuatan obat, prestise kalangan tertentu, spiritual, atau terindikasi untuk ritual budaya. “Ada informasi, kepala dijual untuk pembuatan reog. Apakah benar atau tidak, masih kami pelajari. Yang jelas, hampir semua bagian harimau dijual. Mulai dari kuku, gigi, tulang, kulit, hingga kumis.”

Kelompok AA, warga Desa Pondok Baru dan Sn, warga Desa Sungai Ipuh, Kabupaten Mukomuko yang ditangkap tim PHS-TNKS Wilayah Bengkulu bersama Polres Mukomuko pada Jumat (8/1/2016), merupakan pemburu yang aktif. Sejak beroperasi 2011, mereka telah membunuh delapan individu harimau sumatera.

“Vonis berat untuk pelaku sangat penting, tujuannya menekan aktivitas perburuan. Vonis berat akan menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pemburu yang lain. “Dampak tersebut terlihat dari temuan jerat yang turun hampir 50%,” kata Nurhamidi.

Harimau sumatera yang terus diburu menyebabkan populasinya berkurang. Penegakan hukum harus terus dilakukan bagi pelaku. Foto: Junaidi Hanafiah
Harimau sumatera yang terus diburu menyebabkan populasinya berkurang. Penegakan hukum harus terus dilakukan bagi pelaku. Foto: Junaidi Hanafiah

Memangsa

Menurut Boomgaard (2010), ada enam alasan mengapa harimau menyerang manusia. Yakni, (1) Oportunistik; (2) Struktural; (3) Periodik atau bencana; (4) Kekacauan masyarakat, (5) Individual dan (6) Keputusasaan. Oportunistik terjadi ketika manusia merupakan satu-satunya mangsa bagi harimau.

Sedangkan tipe struktural terjadi ketika alam/habitat harimau secara konstan diinvasi oleh manusia. Ini adalah kasus ketika lahan dalam skala luas dibersihkan terkait pertambahan penduduk yang cepat, imigrasi dan ekspansi perusahaan komersil (perkebunan). Sementara itu, tipe periodik terjadi ketika bencana alam yang mengakibatkan hewan mangsa harimau berkurang.

Harimau Sumatera yang kini nasibnya kritis. Foto: Rhett A. Butler
Harimau Sumatera yang kini nasibnya kritis. Foto: Rhett A. Butler

Untuk tipe kekacauan masyarakat, terjadi pada kasus tertentu dari bencana. Seperti perang, pemberontakan, epidemik skala luar. Selanjutnya, tipe individual terjadi karena harimau sudah terlalu tua atau sudah tidak mampu memburu mangsa kecuali manusia. Untuk tipe keputusasaan terjadi ketika kelompok harimau menyerang pemukiman atau dikenal dengan istilah wabah harimau.

Di Sumatera, Boomgaard (2001) mengungkapkan, rata-rata tahunan jumlah manusia dibunuh harimau pada 1850-an sebanyak 400 orang, pada 1862-81 sebanyak 180 orang, dan pada 1882-1904 sebanyak 60 orang. Khusus Bengkulu, 100 orang dibunuh pada periode 1818 – 1855. Kebanyakan korbannya adalah orang China dan Jawa, dan buruh perkebunan. “Seakan-akan agresi harimau adalah masalah struktural.”

Rata-rata tahunan manusia dimangsa harimau

Periode

1820–30 1850-61 1862–81 1882–1904
Jawa 400 200 90 50
Sumatera 400 180 60

Sumber: Boomgaard (2001)

Nyhus and Tilson (2010) mengemukakan, tidak ada satu keterangan yang tepat untuk menjelaskan konflik. Beberapa hipotesis umum mengungkapkan mengapa harimau menyerang manusia. Hal tersebut adalah: mangsa berkurang atau ketidakmampuan memburu secara efektif, kelaparan, usia tua, sakit atau terluka, hingga tidak dapat mempertahankan jalur jelajah.

”Di Sumatera, kami menemukan bahwa harimau menyerang manusia cenderung terjadi ketika penduduk terlibat dalam aktivitas dekat pinggiran hutan. Khususnya, pertanian dan perkebunan swasta serta area dengan gangguan tinggi dan menengah”. Kecenderungan terjadinya konflik struktural ini, ungkap Boomgaard, karena harimau merupakan satwa yang mengikuti budaya atau pengikut budaya. Harimau mendekat habitat yang dibangun manusia.

Sejumlah jerat yang berhasil diamankan oleh petugas Tim Sapu Jagat PHSKS. Foto: Tim Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Sebelat
Sejumlah jerat yang berhasil diamankan oleh petugas Tim Sapu Jagat PHSKS. Foto: Tim Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Sebelat

Di Bengkulu, Erni Suyanti Musabine menambahkan, hampir semua konflik harimau-manusia terjadi di kawasan pertanian dan perkebunan swasta yang dekat hutan. Tercatat, 8 orang meninggal dalam 125 konflik yang terjadi antara 2007 – 2014. “Alih fungsi lahan atau hutan menjadi pemukiman, pertanian, perkebunan, dan juga pertambangan merupakan sebab utama. Karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan analisis komprehensif sebelum mengeluarkan kebijakan,” kata Yanti, biasa disapa.

Dari catatan dokter hewan BKSDA Bengkulu – Lampung ini, konflik terbanyak terjadi di Seluma, yakni 36,8%. Selanjutnya, di Kaur dan Lebong, masing-masing 23,5%, Bengkulu Utara (19,1%), Mukomuko (8,8%), Kepahiang dan Bengkulu Tengah (4,4%), Bengkulu Selatan (1,5%), sedangkan Rejang Lebong nihil. “Kesadaran dan keterlibatan masyarakat terkait mitigasi konflik harus ditingkatkan. Termasuk, memfasilitasi nomor hotline untuk cepat menginformasikan bila terjadi konflik.”

Pihak lain yang penting dilibatkan adalah perusahaan swasta. Mengingat, sejumlah konflik terjadi di kawasan perkebunan swasta seperti di Kaur, Seluma, Bengkulu Tengah dan Mukomuko. “Selama ini, sektor swasta tidak pernah dilibatkan. Padahal, mereka juga berkepentingan dan mungkin memiliki sumber daya yang cukup untuk mendukung pelestarian harimau sumatera. Paling tidak, ketika ada harimau masuk perkebunan, mereka bisa bertindak tepat,” ujar Yanti.

Harimau sumatera yang terjerat perangkap babi kemudian ditembak aparat hingga tewas di Desa Tanjung Raman, Kecamatan Pendopo, Sumatera Selatan (10/09/15). Hilangnya habitat, menyebabkan konflik harimau dengan manusia terjadi. Foto: Ridiansyah
Harimau sumatera yang terjerat perangkap babi kemudian ditembak aparat hingga tewas di Desa Tanjung Raman, Kecamatan Pendopo, Sumatera Selatan (10/09/15). Hilangnya habitat, menyebabkan konflik harimau dengan manusia terjadi. Foto: Ridiansyah

Direktur Lingkar Institut Iswadi menambahkan, peran ulama atau da’i bisa dioptimalkan untuk mendukung pelestarian harimau sumatera yang berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature) statusnya Kritis (Critically Endangered/CR), atau satu langkah menuju kepunahan di alam.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Mendukung Keseimbangan Ekosistem bisa menjadi landasannya. Apalagi, fatwa tersebut merekomendasikan ada da’i lingkungan. “Peluang ini akan kami maksimalkan. Untuk tahap awal akan kami lakukan di Lebong,” papar Iswadi.

Referensi:


Boomgaard, Peter, “Frontiers of Fear: Tigers and People in The Malay World, 1600-1950”, 2001.

Boomgaard, Peter, “Coexistence in Comparative Asian Perspective” dalam Tilson, Ronald and Nyhus, Philip J. (Eds.), “Tigers of the World: The Science, Politics, and Conservation of Panthera tigris”, 2010.

Nyhus, Philip J and Tilson, Ronald, “Panthera tigris vs homo sapiens: conflict, coexistence, or extinction” dalam Tilson, Ronald and Nyhus, Philip J. (Eds.), “Tigers of the World: The Science, Politics, and Conservation of Panthera tigris”, 2010.

Santiapillai, Charles and Ramono, Widodo Sukohadi, “Tiger Numbers and Habitat Evaluation in Indonesia” dalam Tilson, Ronald and Haber, Ulysses, “Tigers of the World: The Biology, Biopolitics, Management and Conservation of an Endangered Specie, 1987.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,