Tambang Emas Bikin Sengsara Warga Pulau Romang, Mana Pemerintah?

Bertahun-tahun sudah warga protes operasi tambang emas PT Gemala Borneo Utama (GBU) di Pulau Romang, Maluku, tetapi tak mendapat respon serius pemerintah. Kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi. Kasus sudah dilaporkan ke Pusat, dari DPR RI, KPK, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,  sampai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Oktober 2016, anggota Komisi VII DPR mengadukan laporan masyarakat soal kasus Pulau Romang kepada  KLHK. Eksplorasi perusahaan selama 10 tahun dinilai sangat merugikan masyarakat. Belum ada respon, KontRas pun mengadukan kasus lagi ke Direktorat Penegakan Hukum KLHK, Senin (9/1/17).

Haris Azhar, Koordinator KontraS mengatakan, kehadiran perusahaan memberikan kerugian kepada warga.

”Hasil madu hutan berkurang, pala dan cengkih hilang salah satu karena kabel kupas perusahaan dan agar-agar (rumput laut) yang hilang sejak ada perusahaan,” katanya di Jakarta.

Baca juga: Kasus Tambang Gemala Borneo, Hentikan Kriminalisasi Warga

Tak hanya itu, dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) terbitan Pemerintah Maluku dinilai tak beres. Baik segi substansi maupun keterlibatan masyarakat sekitar, mereka  tak pernah ikut serta menyusun dokumen lingkungan.

”Amdal tak beres, dipalsukan. Izin pasti korup,” katanya.

GBU, anak usaha Robust Resources ini dalam Amdal menyebutkan, Pulau Romang mendapatkan izin eksplorasi tambang seluas 250 km persegi.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan luas Pulau Romang hanya 192,2 km persegi. Sisi lain, berdasarkan UU Nomor 1/2014 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pulau kecil kurang dari 2.000 km pemerintah tak boleh ada pertambangan.

Berdasarkan KepMen Kehutanan Nomor SK25/Menhut-II/2012 tentang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) diatur jarak antar titik bor 40 meter, diameter lubang bor 2,5-5 cm kedalaman 150 meter. Lalu, titik bor 60 buah.

Meski demikian, dalam laporan lapangan KontraS Desember lalu, eksplorasi terjadi tak sesuai aturan. ”Titik antar bor hanya kurang 10 meter dan jumlah lebih 60 lubang. Jdi, debit dan kualitas air sekitar jadi keruh dan minim,” katanya.

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK akan mengirim tim untuk pengecekan lapangan akhir Januari 2017. ”Kita punya komitmen menyelesaikan,” katanya.

Dia bersama Direktur Pengaduan dan Sanksi Administratif Rosa Vivien Ratnawati, akan menelusuri izin lingkungan, IPPKH, dan izin eksplorasi. ”Seharusnya mereka (gubernur yang menerbitkan izin) beri sanksi administrasi.”

Kontras meminta KLHK memiliki prosedur komunikasi tanggap dan cepat atas laporan warga Pulau Romang. Pasalnya, intimidasi hingga pembunuhan telah terjadi.

Ancam ruang hidup dan langgar HAM

Rivanlee Anandar,  Divisi Advokasi Hak Ekonomi dan Sosial KontraS Desember lalu menceritakan hasil kunjungan lapangan ke Pulau Romang. Dia melihat langsung praktik perusahaan eksplorasi emas.

Banyak kejanggalan mulai dampak lingkungan dan sosial kemasyarakatan.

“Sebelum kita hadir, Gubernur pernah datang. Saat kedatangan Gubernur, warga meminta setop pertambangan, Oktober seharusnya setop. Kami kesana, temukan lubang mata bor baru. Perusahaan masih beroperasi,” katanya.

Kehadiran GBU di Pulau Romang, memicu konflik horizontal antara masyarakat pro dan kontra pertambangan, muncul konflik pertanahan.

“Pulau Romang ini dihuni masyarakat adat yang mempunyai mekanisme sendiri untuk membagikan tanah berdasarkan aturan adat. GBU memunculkan sengketa. Berebut tanah untuk dibeli perusahaan,” katanya.

Peta ancaman tsunami sedang di Pulau Romang. Risiko bencana bakal makin parah kala lingkungan rusak. Peta: BNPB
Peta ancaman tsunami sedang di Pulau Romang. Risiko bencana bakal makin parah kala lingkungan rusak. Peta: BNPB

Selain itu, kerusakan lingkungan juga menjadi keluhan warga. Sejak ada GMU, panen pala dan cengkih turun drastis dampak pengeboran sekitar perkebunan, banyak tanaman rusak. Padahal dulu, tanaman ini komoditas andalan masyarakat. Rumput laut pun tak luput dari kerusakan bahkan sudah sulit ditemukan.

Dulu, sebelum GMU ada, katanya, pengakuan warga, sebelum GMU beroperasi, di Desa Solath,  untuk sandar perahu hanya tersisa satu jalur karena penuh rumput laut (bahan bikin agar-agar).  Kini, nyaris tak ada.

Hasil madu masyarakat juga berkurang drastis. Biasa, madu sekali panen bisa menghasilkan lima sampai 10 liter, atau setara tiga jerigen minyak. Setelah kehadiran tambang, madu berkurang hanya satu sampai dua liter. Penyebabnya, lebah enggan bersarang karena ada bunyi-bunyian aktivitas tambang.

Saat ke Pulau Romang,  Rivan mencium abu busuk dari lubang mata bor. “Itu bau tak enak. Dari jarak 50-100 meter sudah kecium bau bekas pengeboran. Kami tak tahu kandungan, yang jelas bau cukup menyengat.”

Bahkan, katanya, warga pernah dengar dentuman keras terasa seperti gempa. Ledakan muncul dari lokasi pertambangan. “Itu menyebabkan kaca di rumah-rumah warga pecah,” katanya.

Operasi GBU juga membuat debit air berkurang. Di Desa Hila,  misal, selain berkurang, air juga menjadi keruh. Bahkan ada juga beberapa mata air kering.

“Ini merepotkan petani dan warga. Air keruh hingga tak layak konsumsi,” katanya.

GBU, berdasarkan perjanjian kontrak kerja pada 22 Februari 2008, memiliki luas 25.000 hektar mencakup Pulau Romang dan pulau-pulau kecil di sekitar yang tak berpenghuni.

Perusahaan ini mendapatkan surat rekomendasi dari Bupati Maluku Tenggara Barat Bitzael S. Temmar pada 10 Juli 2008 lewat rekomendasi nomor 540/052.a/rek/2008. Pada 2009, juga mendapatkan surat rekomendasi Bupati Maluku Barat Daya Jacob Patty lewat surat omor 542/207/209 tertanggal 20 Maret 2009.

“Untuk menjaga keamanan, mereka menyewa aparat seperti Brimob maupun Babinsa.”

Mereka tahu di lapangan, 90% warga menolak pertambangan,  hanya 10% pro tambang termasuk aparat desa. “Kami menemukan tiga anak kecil dipukul aparat kepolisian, satu bahkan sempat ditodong pistol.”

Rivan menduga, ada indikasi pembunuhan salah satu warga penolak pertambangan pada 2013. George Pookey, sebelumnya sempat hilang beberapa hari. Saat ditemukan, sudah tak bernyawa dengan tubuh utuh, namun kepala jadi tengkorak.

“Dia nelayan penolak tambang paling keras. Dugaan pembunuhan ini tak disusut. Keluarga juga bingung. Ingin melapor ke kepolisian juga jauh. Transportasi disana minim. Hanya ada dua speedboat di Pulau Romang untuk akses ke pulau lain,” ucap Rivan.

Aktivitas pertambangan Pulau Romang, katanya, telah menutup masalah sistemik yang kerap terjadi seperti keterbatasan akses informasi, transportasi, dan penerangan. Di Pulau Romang, listrik hanya menyala dari pukul 18.00-24.00.

Menurut dia, operasi GBU telah melanggar HAM, seperti hak atas air bersih dan aman, jaminan kelompok minoritas dan masyarakat adat, akses keadilan, kebebasan bergerak, pendidikan, pelayanan kesehatan, serta pertanggungjawaban negara dan korporasi.

Melky Nahar, Kepala Pengkampanye Jatam mengatakan, kondisi seperti di Pulau Romang banyak terjadi di pulau-pulau kecil di Indonesia.

Problem mendasar, katanya, paradigma pembangunan pemerintah lebih mengutamakan eksploitasi sumber daya alam. Hampir seluruh pulau kecil begitu banyak usaha pertambangan dengan izin oleh pemerintah pusat maupun daerah. “Penerbitan izin-izin ini rata-rata tak mempunyai kajian ekologis kuat dari segi daya dukung lingkungan,” katanya.

Indonesia,  ada 10.936 izin pertambangan, 418 wilayah kerja migas dengan mengkapling 44% daratan Indonesia. Di Pulau Romang, 98,4% daratan sudah dikuasai pertambangan, lima dari 11 IUP di Pulau Romang milik GBU.

“Kita bisa banyangkan ruang hidup masyarakat seperti apa? Seluruh kekayaan di dalamnya, oleh pemerintah dianggap harus diuangkan. Soal masyarakat adat dan lingkungan tak jadi pertimbangan. Kementerian Kelautan dan Perikanan, nyaris tak berperan penting dalam menyelamatkan pulau kecil dari ancaman.”

Melky mengatakan, pemda berencana merelokasi 3.000 warga Pulau Romang ke Pulau Wetar. Baginya, bukan solusi bijak mengingat Pulau Wetar 83% sudah dikuasai pertambangan.  Relokasi ini, katanya, akan menambah panjang deretan masalah.

Dia juga menyoroti kerawanan bencana. Pulau Romang,  memiliki risiko bencana tinggi, gempa bumi dan tsunami kategori sedang. Risiko bencana akan makin meningkat seiring masuk pertambangan.

Data KKP 2011, 28 pulau kecil di Indonesia tenggelam dan 24 pulau kecil terancam tenggelam. Kajian Indeks Dampak Perubahan Iklim oleh lembaga dunia Maplecroft juga menyebut 1.500 pulau kecil di Indonesia diprediksi tenggelam pada 2050.

“Jauh sebelum ada tambang, sudah ada banyak risiko dan riskan keberlangsungan masyarakat di pulau-pulau kecil. Jika ditambah tambang masuk, saya kira akan mempercepat pulau kecil tenggelam.”

Peta bencana memperlihatkan, Pulau Romang, rawan gempabumi level sedang. Peta: BNPB
Peta bencana memperlihatkan, Pulau Romang, rawan gempabumi level sedang. Peta: BNPB

Dia menuntut, pemerintah berani bersikap tegas dan mengevaluasi seluruh izin pertambangan di pulau-pulau kecil. Evaluasi itu, tak hanya soal clear and clean (CnC), lebih menyoal permasalahan substantif terkait kehancuran lingkungan hidup dan merenggut ruang hidup masyarakat.

“KLHK harus jadi motor. Tak boleh berdiam diri.”

Dia bilang, Koalisi Save Pulau Romang sudah melaporkan kasus ke KLHK dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. “Laporan terakhir bulan lalu (November 2016). Juga ke KPK melalui korsup minerba. Lebih fatal menurut ESDM, perusahaan itu lolos CnC. Berarti ada peroalan ini,” katanya.

Merah Johansyah, Koordinator Jatam mengatakan, dari segi HAM, yang terjadi di Pulau Romang sebenarnya terjadi genosida terhadap 3.000 warga.

“Pemusnahan 3.000 orang ini oleh negara yang memberikan izin tambang. Kalau akan dipindah ke Pulau Wetar, sama artinya mereka dipindahkan ke neraka berbeda tapi sama. Ini penistaan terhadap hak asasi masyarakat adat.”

Ony Mahardika, Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil Walhi Nasional mengatakan, ancaman tambang di pulau kecil dan daya rusak lingkungan terjadi karena pemerintah mengandalkan industri ekstraktif.

“Bagaimana bisa menghasilkan duit banyak, ruang lingkungan dan akses masyarakat tak pernah dihiraukan. Seluruh izin tambang harus evaluasi ulang atau moratorium.”

Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara Parid Ridwanuddin mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi nomor 3 tahun 2010 sebenarnya jelas memberikan syarat dalam menjalankan pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Syaratnya, harus melibatkan masyarakat sejak perencanaan. Praktiknya, persyaratan ini kerapkali dilanggar.

Perusahaan mencoba menyangkal beragam masalah yang timbul karena kehadiran mereka. Yusdi Sangadji, Country General Manager GBU seolah mau mengelak dan bilang masa eksplorasi belum timbulkan kerusakan lingkungan.

”Kita kan baru eksplorasi. Pencemaran kan terjadi ketika aktivitas bahan baku dan kimia, eksplorasi tak ada hubungan dengan pencemaran. Isu tersebar tidak sesuai fakta lapangan,” katanya.

Mengenai permasalahan administrasi, Amdal palsu dan IPPKH, dia malah melemparkan ke instansi lain.  Katanya, soal itu perlu konfirmasi dengan pihak yang mengeluarkan izin, yakni Badan Lingkungan Hidup Maluku dan Dinas Kehutanan.

”Kalau kami sudah menjalankan untuk sosialisasi dengan masyarakat, dan aturan terkait pengeboran tak ada dalam IPPKH. Intinya kami tak melanggar aturan termasuk soal penambangan di pulau kecil.”

Masa eksplorasi selama 10 tahun, katanya, hal biasa karena infrastruktur dan sarana-prasarana sulit terjangkau. ”Eksplorasi sudah sampai inti, hampir final. Kami sedang proses izin produksi, ini sudah mulai konstruksi,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,