Konflik Lahan 2016, Sektor Perkebunan Tertinggi Didominasi Sawit

Konflik lahan dan sumber dauya alam dari tahun ke tahun terus meningkat. Sepanjang 2016, Ombudsman RI mencatat 450 konflik agraria dengan luas 1.265.027 hektar. Perkebunan menduduki peringkat tertinggi, dengan 163 konflik atau 601.680 hektar, terbanyak di perkebunan sawit.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika di Jakarta mengatakan, urutan kedua sektor kehutanan seluas 450.215 hektar, properti 104.379 hektar, migas 43.882 hektar, infrastruktur 35.824 hektar. Lalu pertambangan 27.393 hektar, pesisir 1.706 hektar, terakhir pertanian lima hektar.

Konflik tersebar di 34 provinsi, dengan enam penyumbang konflik tertinggi, antara lain: Riau 44 konflik (9,78%), Jawa Timur 43 (9,56 %), Jawa Barat 38 (8,44%), Sumaetra Utara 36 (8,00%), Aceh 24 (5,33%), dan Sumatera Selatan 22 (4,89%).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada Sidang Kabinet Paripurna 2017 di Istana Bogor mengatakan, dalam mengurangi kesenjangan sosial maupun wilayah, kebijakan distribusi dan legalisasi tanah menjadi penting.

Ahmad Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI mengatakan, perusahaan raksasa perkebunan menguasai lima juta hektar hak guna usaha. Kondisi ini terjadi karena ada ketimpangan aturan dalam penguasaan lahan dan izin hutan.

Pada izin HGU, pemilik konsesi boleh menguasai 100% lahan dan di hutan bisa kuasai 80%, dengan 20% kawasan lindung dan tanaman kehidupan masyarakat.

”Pemerintah perlu meninjau HGU perkebunan perusahaan yang telah selesai masa izin dan menredistribusikan kepada masyarakat untuk mempercepat komitmen reforma agraria,” katanya.

Alamsyah merekomendasikan, pemerintah perlu membahas penguasaan HGU 100% oleh warga. Kini, hanya 3% lahan dikuasai masyarakat baik berupa hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan lahan transmigrasi. Dia juga mendesak,  pemerintah membatalkan 3.386 izin usaha pertambangan bermasalah.

Mochammad Maskum, Wakil Ketua Umum PB Nahdatul Ulama mengatakan, konflik agraria berujung pada kekerasan kolektif. Reforma agraria jadi tak solutif, karena korban kekerasan adalah petani, pekebun, nelayan kecil yang kalah oleh pembangunan hingga kesenjangan ekonomi tinggi.

konflik-2016-slide03

Kepemilikan komunal

Presiden menargetkan,  12,7 juta hektar hutan buat masyarakat dan redistribusi lahan 9 juta hektar. Targetnya, petani gurem tak memiliki tanah atau kepemilikan kurang 0,3 hektar.

Pengakuan hak komunal, kata Dewi,  lebih penting bagi serikat tani, organisasi tani dan masyarakat adat. Jadi, yang ada kepemilikan tanah bersama secara berkelompok. Kalau sertifikasi individu, risiko masyarakat melepas tanah tinggi.

”(Melepas) kepada para mafia tanah, spekulan, yang membuat akumulasi kapital masuk lagi,” katanya.

Dengan begitu, kontrol tanah di tangan kelompok atau komunitas, hingga memiliki relasi sosial kuat dengan prinsip kolektivitas.

Selama ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN tampak hanya mengejar target sertifikasi bidang tanah. Dengan Peraturan Menteri ATR soal tata cara penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.

Dewi mengatakan, reforma agraria Kementerian ATR/BPN  seakan dikontrol pasar. Satu sisi, pemerintah komitmen redistribusi lahan, tetapi cenderung mempermudah investasi, seperti bisnis sawit.

Dia juga menyoroti peraturan Presiden soal pelaksanaan reforma agraria belum juga selesai. Reforma agrariapun, katanya, masih jadi agenda politik, bukan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

 

 

 

konflik-2016-2-slide04

 

Konflik lahan di Riau

Di Riau, dua kelompok perusahaan kehutanan raksasa APRIL dan APP mendominasi konflik sumberdaya alam sepanjang 2016. Selain komitmen keberlanjutan perusahaan belum optimal, peran pemerintah memediasi dinilai minim.

Catatan akhir tahun Scale Up di Riau mengungkapkan, ada 73 konflik selama 2016, melonjak dari tahun lalu 55 kasus.

“Jika kita mundur empat tahun ke belakang, 2016 adalah tahun tertinggi konflik di Riau,” kata Harry Octavian, Direktur Scale Up Senin (9/1/17) di Pekanbaru.

Sektor kehutanan dan perkebunan mendominasi konflik,  masing-masing 34 kasus. Pada 2015, perkebunan tertinggi, 36 kasus dan kehutanan 18 kasus.

Berdasarkan kelompok usaha, Scale Up mencatat konflik paling banyak di konsesi yang dikelola atau terhubung dengan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) 18 kasus dan Asia Pulp and Paper (APP) 10 kasus.

Padahal dua kelompok usaha ini telah berkomitmen keberlanjutan yang diumumkan global. Di dalam komitmen itu, selain menghentikan deforestasi, perusahaan juga membangun sistem penanganan konflik.

Sayangnya, komitmen dan sistem pengaduan dengan jangka waktu penyelesaian setiap kasus ternyata tak cukup menekan angka konflik.

“Masyarakat tak sepenuhnya mengetahui sistem ini karena kurang sosialisasi. Sosialisasi banyak dilakukan ke LSM sebagai stakeholders. Padahal masyarakat lebih penting, karena mereka yang hidup di wilayah operasional perusahaan,” katanya.

Bahkan, katanya, Scale Up bahkan menemukan ada kelompok masyarakat tak percaya mekanisme buatan perusahaan. “Bisa jadi karena konflik sudah bertahun-tahun.”

Selain dua perusahaan itu, konflik juga terjadi di kelompok usaha Asian Agri, PTPN V, Duta Palma, Surya Dumai, Musimas, Peputra Masterindo, Samung dan Torganda.

Konflik tahun lalu menyebabkan 17 orang ditahan, dan 13 luka-luka. Belasan korban luka paling banyak karena konflik di hutan tanaman industri dan perkebunan dengan luas areal segketa 166.000 hektar.

Kabupaten paling tinggi konflik adalah Pelalawan 18 kasus, Siak (11) dan Rokan Hilir (10). Konflik juga terjadi karena masalah tapal batas tak jelas antarkabupaten dan antarprovinsi, ada lima kasus. Jika dilihat tipe lahan konsesi, 43 kasus di gambut dan 30 tanah mineral.

Data-data ini diperoleh Scale Up dengan penggalian informasi ke lapangan, pengaduan masuk dan konflik diberitakan media.

Isomuddin, divisi riset Scale Up mengatakan, konflik-konflik baru muncul juga menyumbang peningkatan kasus .

“Misal ada penggalian kanal baru. Ini memunculkan konflik baru walau sebenarnya masyarakat dan perusahaan masih ada konflik di bagian lain kawasan itu,” katanya.

Dia mencontohkan,  konflik baru masyarakat Desa Tanjung Air Hitam di Pelalawan dulu bermasalah dengan perusahaan kehutanan kini dengan perusahaan perkebunan.

Dorong peran pemerintah daerah

Berdasarkan data ke Ombudsman Riau, tahun sama justru ada 203 kasus. Konflik bukan saja sektor kehutanan, perkebunan atau lingkungan seperti yang dicatat Scale Up, termasuk pertanahan.

“Kami menyebut ini kasus alas hak. Kami baru menyelesaikan 15 dari 30 kasus yang ditarget selesai,” kata Ahmad Fitri, Kepala Perwakilan Ombudsman Riau.

Fitri menilai,  peran pemerintah daerah sangat lemah dalam penyelesaian konflik hingga masalah makin rumit. Padahal pemerintah punya otoritas lebih luas dalam mengurangi konflik. Pemerintah bisa mencegah agar kasus tak membesar.

“Kami mendorong pemda menyelesaikan konflik. Biasa kalau bersama kami (turun ke lapangan), pemda mau bentuk tim, tapi membentuk saja. Ke depan harus ada tim tak adhoc,  tapi tim khusus yang bertugas menangani konflik,” katanya.

Isniati Kuswini, Project Coordinator  World Resources Institute (WRI) membenarkan,  Riau provinsi paling tinggi konflik sumberdaya se-Indonesia. Salah satu penyebab, ketidakjelasan peta yang menjadi rujukan semua pihak.

Ketidakterbukaan peta ini, katanya,  menyebabkan semua pihak seperti punya peta sendiri, bisa saja tumpang tindih.

“Konflik bisa selesai saat ada kejelasan. WRI menginisiasi satu peta. Kita berharap informasi kami buat justru memperkuat keterbukaan. Keterbukaan informasi, keterbukaan persoalan.”

konflik-2016-3-slide05

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,