Kala Konflik Agraria Makin Banyak di Daerah Istimewa Ini, Mengapa?

Sri Poniati, kaget ketika pukul 9.00 pagi, pada Rabu, 14 Desember 2016, Buldoser sudah tiba di Kampung Cemara Sewu, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Lebih 500 kepolisian, tentara dan satuan polisi Pamong Praja mengawal. Alat berat bersiap merobohkan rumah dan bangunan usaha lebih dari 30 keluarga. Lahan ini masuk klaiman tanah kesultanan yang akan dibangun pariwisata alam.

“Kami dibohongi. Janji diberikan biaya bongkar, lalu diminta membongkar rumah kami sendiri. Faktanya dibongkar paksa,” katanya, Desember lalu.

Sejak pukul 8.00 pagi, buldoser mulai merobohkan rumah dan warung warga. Tak ada satupun bangunan utuh, 33 usaha kecil hancur. Ganti rugi dan rekolasi hanya berlaku bagi warga ber-KTP Bantul. Mereka yang kontrak, tak dapat apapun.

“Sekarang 12 keluarga bertahan, hanya beratap terpal,” kata Heronimus Heran, dari Jogja Darurat Agraria (JDA) kepada Mongabay.

Dia bercerita, awalnya, 7 Desember 2016, warga diundang sosialisasi di Kantor Desa Parangtritis. Di pertemuan Satpol PP menjanjikan relokasi hanya 28 keluarga. Tak ada pembongkaran hingga biaya relokasi dibayarkan dan lahan relokasi siap ditempati. Masing-masing keluarga akan mendapat lahan 6×6 meter di timbunan rawa Kali Mati.

Warga bertahan di lahan ada perempuan, laki-laki dewasa dan lansia 34 orang, tiga balita, dan 15 anak-anak di bawah 18 tahun.

Penduduk Parangkusumo dan Cemara Sewu ini, katanya, rakyat miskin yang tak mampu hidup di kota. Mereka menempati lahan berpasir dibeli murah, lalu dibangun rumah permanen atau semi permanen.

“Pengusiran paksa warga Parangkusumo, adalah pelanggaran HAM berat,” kata   Hamzah Wahyudin, Direktur LBH Yogyakarta.

Pemerintah Yogyakarta dan Bantul, katanya, harus memulihkan kondisi warga yang masih tinggal di tenda-tenda darurat. Negara harus cepat tanggap mengambil langkah-langkah perlindungan dan pemenuhan hak dasar warga.

Hermawan Setiaji, Kepala Satpol PP Bantul mengatakan, Pemkab Bantul sudah membahas masalah itu dengan warga pada 17 November. Ada tiga poin kesepakatan, yakni lahan relokasi, bantuan alat angkut, dan uang jasa bongkar bangunan Rp1 juta.

“Lahan relokasi disepakati ada 1.000 meter persegi. Kita bisa cek jika dianggap tak layak,” katanya. Pemkab Bantul,  hanya memfasilitasi bagi warga asli Yogyakarta.

Catatan Jogja Darurat Agraria, lebih 20 titik konflik agraria dan tata ruang tersebar di Yogyakarta. Konflik ini menimbulkan pengusiran, penggusuran dan perampasan ruang hidup masyarakat. Kondisi ini, katanya, meambah panjang pelanggaran HAM karena hak kehidupan layak baik ekonomi dan sosial warga makin terabaikan.

Indonesia memiliki UU mengatur wewenang dan hak atas tanah, yaitu UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UU ini antara lain mengamanatkan, tanah-tanah dan bekas tanah swapraja terredistribusi adil, dan memastikan warga negara yang puluhan tahun menggarap tanah akan dijamin hak atas tanah itu.

UUPA, katanya,  tetaplah UU tertinggi pertanahan Indonesia, tak terkecuali di Yogyakarta. Daerah ini, tak bisa berpura-pura “istimewa” dalam pertanahan dengan menjadikan UU Keistimewaan lex specialis terhadap UUPA. Terlebih, katanya, Sultan Hamengkubuwono IX telah menerbitkan Perda tentang pelaksanaan berlaku sepenuhnya UUPA di sini.
“Melangkahi dan mengabaikan UUPA sama dengan melanggarnya,” ucap Heron.

Lahan pertanian cabai nan subur yang terancam tergusur pembangunan bandara di Kulon Progo. Foto: Tommy Apriando
Lahan pertanian cabai nan subur yang terancam tergusur pembangunan bandara di Kulon Progo. Foto: Tommy Apriando

Gusur lahan pertanian

Setidaknya tiga megaroyek di Yogyakarta, yakni, pembangunan bandara internasional di Kulon Progo, pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja (Kulon Progo).

Pembangunan bandara internasional, katanya, disebut-sebut proyek strategis nasional, sesungguhnya kegagalan Jogja mempertahankan pertanian pesisir selatan berproduktivitas tinggi dan khas budaya Jogja. Pemerintah Indonesia diwakili PT. Angkasa Pura I bekerjasama dengan investor India, GVK Power and Infrastrukture.
Pembangunan bandara melalui penerbitan izin penetapan lokasi oleh Gubernur dan pembebasan lahan sebelum ada izin lingkungan. Setelah rentetan tak jelas karena cacat prosedur, katanya, petani tetap dipaksa angkat kaki melalui UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Hak petani yang menolak proyek seperti paguyuban warga Wahana Tri Tunggal, terabaikan. Uang ganti rugi tetap dititipkan di pengadilan.
Di Bantul, warga Parangkusumo,  menghadapi ancaman penggusuran untuk pembangunan Parangtritis Geomaritime Science Park. Ia didapuk sebagai kawasan konservasi di tanah yang diklaim sebagai Sultan Ground.

Di Gunung Kidul, warga Watu Kodok berjuang karena terusir investor yang merasa berhak menggusur warga melalui surat sakti kekancingan keluaran lembaga swasta Kesultanan.

Di Kota Yogyakarta dan Sleman, warga menolak pembangunan masif hotel, mal dan apartemen. Pembangunan itu, katanya, merusak tatanan sosial, lingkungan dan budaya masyarakat.

“Paling terasa, pembangunan menyebabkan air sumur warga kering akibat penyedotan air tanah berlebihan dan tanpa mentaati prosedur.”

Dewi Kartika, Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kepada Mongabay mengecam, keras bentuk-bentuk penggusuran paksa yang banyak melahirkan korban rakyat.

Pemerintahan saat ini justru memilih tak bersikap tegas dengan dalih hak keistimewaan Yogyakarta. Sikap ini, katanya,  mengindikasikan pemerintah turut melanggengkan praktik-praktik feodalisme di Yogyakarta yang menjadi sebab konflik agraria.

Warga Parangkusumo, misal, lahan mereka tempati masuk Sultan Ground. Warga menilai penetapan wilayah konservasi Gumuk Pasir akal-akalan pemerintah guna memuluskan pembuatan lapangan Golf 65 hektar.

Klaim-klaim sepihak atas nama Sultan Ground untuk merampas tanah rakyat jelas harus diakhiri. “Penggusuran justru pemiskinan struktural. Penting perencanaan dan konsultasi bersama warga,” ucap Dewi.

“Kebijakan penggusuran tanpa menyiapkan tempat relokasi terlebih dahulu agar warga dapat melanjutkan hidup adalah tindakan sembrono,” Hamzal.

Penggusuran paksa, katanya, tak hanya mengancam hak perumahan warga juga berpotensi besar memunculkan pelanggaran hak-hak sipil dan politik, missal, hak hidup, hak dilindungi, hak tak diusik privasi, keluarga, dan rumah, dan hak menikmati kepemilikan tenteram.

Bagi orang-orang terimbas tang tak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka, negara harus menerapkan segala ukuran tepat, untuk memastikan perumahan, pemukiman, atau akses alternatif tanah produktif tersedia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,