Kolaborasi instansi berwenang dengan organisasi masyarakat sipil maupun lembaga konservasi di Sumatera Utara, terbilang lumayan efektif. Hampir tiap pekan, ada satwa-satwa sitaan, baik hasil buruan, perdagangan maupun peliharaan warga.
Bagi yang belum tahu maupun menyerahkan satwa sukarela, masih pendekatan persuasif alias tak lanjut proses hukum. Sebagian kasus melaju ke pengadilan. Sayangnya, selama ini hukuman terbilang rendah hingga tak membuat pelaku jera.
Seperti kejadian di Timbang Jaya, Kecamatan Bahorok, Langkat. Di belakang rumah warga bernama Irma, terlihat kandang di keliling kawat besi dengan dua satwa dilindungi, berang-berang dewasa. Hampir dua tahun mereka hidup di sana. Tanpa kubangan air buat bermain.
Pada Jumat (6/1/17), Seksi Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumut (BBKSDA Sumut) bersama tim Indonesian Species Conservation Program (ISCP), meyita dua berang-berang peliharaan ini.
Herbert Aritonang, Kepala Seksi Wilayah II Stabat, BBKSDA Sumut, kepada Mongabay mengatakan, pembongkaran kasus ini berkat informasi ISCP melaporkan ada warga memelihara satwa dilindungi.
Dia membentuk tim dan menyelidiki lalu menyitaan. Dokter pun memeriksa, dan satwa dalam keadaan sehat.
Dalam pemeriksaan, pemilik tak berniat memperdagangkan berang-berang ini, hanya ingin memelihara. Alasannya, kasihan melihat satwa diperdagangkan pemburu.
Sebagai langkah awal, katanya, BBKSDA Sumut memberikan peringatan, jika ke depan masih memelihara dan mengulangi perbuatan sama, maka akan proses hukum. BBKSDA memutuskan, sementara waktu dua berang-berang ini titip di Medan Zoo.
Rudianto Sembiring, Direktur ISCP, mengatakan, awalnya bersama Herbert akan menyita empat kukang di Timbang Jaya, Bahorok. Kondisi empat kukang itu sendiri dalam kondisi menyedihkan karena kurang nutrisi dan gizi.
Untuk evakuasi cepat, dua kukang Sumatera dititipkan BBKSDA Sumut ke SOCP, dan dua lagi ke ISCP. Jika kondisi sehat dan sifat masih liar, segera rilis.
Ketika penyitaan, ternyata Irma juga memelihara dua berang-berang di belakang rumah. Dia berharap, ada tindakan hukum terhadap Irma agar tak lagi mengulangi perbuatan sama.
Senada disampaikan Gunung Gea, Direktur Program Yayasan Scorpion Indonesia. Dia berharap, masyarakat menghindari pelihara satwa dilindungi karena mengancam kelangsungan hidup satwa.
Penegakan hukum bagi pelanggar, katanya, harus tegas. Saat ini, katanya, pemeliharaan satwa dilindungi seperti orangutan, kukang, berang-berang dan lain-lain terus terjadi, namun pemerintah kerap memilih pendekatan persuasif.
“Harusnya pemilik bisa dipenjara agar ada contoh bagi yang lain untuk tak lakukan hal serupa.”
Sidang perdagangan harimau dan trenggiling
Di Bahorok, penyitaan satwa dilindungi, di Medan, proses hukum bagi pelanggar yang memperdagangkan satwa. Di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (10/1/17) sidang perdana perdagangan kulit harimau Sumatera utuh dan ratusan sisik trenggiling.
Dalam sidang dengan agenda mendengarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumut, majelis hakim Jhoni Siahaan, memimpin sidang.
Dalam dakwaan, JPU Debora Sabarita menyebutkan, terdakwa Budi alias Akheng, sebagai penampung satwa dilindungi seperti kulit harimau dan ratusan sisik trenggiling, sekaligus pemilik gudang buat menyimpan satwa sebelum diperdagangkan.
Terdakwa Sunandar alias Asai, sebagai penghubung antara pedagang dan pembeli. Dia bertugas mencari calon pembeli dan dalam menentukan harga.
Terakhir Edy Murdani, sebagai pemilik kulit harimau, diperoleh dari pemburu di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Aceh. Adi membawa kulit harimau ke Medan. Debora menjerat tiga pelaku dengan UU KSDAE, Jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.
“Kalau ancaman pidanan maksimal lima tahun denda Rp100 juta di UU KSDAE. Mereka kita kenakan pasal berlapis.”
Dalam dakwaan, ketiga terdakwa ditangkap saat akan transaksi jual beli di hotel Jalan Sisingamangaraja, Medan kepada petugas yang menyamar.
“Sidang dilanjutkan pecan depan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dan pembuktian,” kata hakim.
Penegakan hukum lemah
Irma Hermawati, Legal Advisor WCU, mengatakan, pelaku mengulangi perbuatan antara lain karena kurang pengetahuan dan kemauan aparat penegak hukum, khusus JPU dalam mengungkap kasus perdagangan satwa ilegal– yang pembuktian memang sulit. Terlebih perdagangan satwa ilegal antarnegara baik negara transit ataupun tujuan, serta melibatkan korporasi sebagai pelaku.
Seringkali, katanya, jaksa yang menangani perkara tak jeli memberikan petunjuk kepada penyidik hingga yang disidangkan hanya pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektual maupun korporasi.
Jaksa, yang meneliti berkas perkara hanya fokus UU KSDAE, tanpa melihat ketentuan perundang-undangan lain yang terkait, misal UU Pencucian Uang bila hasil kejahatan ditempatkan melalui rekening atau disamarkan untuk pembelian aset lain.
Selanjutnya, Kepabeanan dan pemalsuan dokumen juga bisa, apabila ada pelanggaran dalam ketidaksesuaian dokumen atau palsu, yang menyertai pengiriman (perdagangan) satwa ilegal antardaerah atau negara. Kerjasama dalam dan luar negeri dalam mengungkap kasus masih lemah. Baik mengenai jenis spesies yang berasal dari negara mana, masuk dalam aturan Cities atau tidak, perlu tes DNA atau tidak. Juga lembaga/badan mana yang terakreditasi untuk pengujian tes DNA, serta kasus perdagangan satwa ilegal yang melibatkan beberapa negara misal, menggandeng ASEAN WEN.
Selain itu, kepedulian aparat hukum terutama jaksa dan hakim minim menyebabkan penanganan kasus perdagangan satwa liar lemah hingga banyak tuntutan dan putusan rendah.