Produksi garam nasional sepanjang 2016 mengalami keterpurukan yang sangat besar. Hal itu, ditandai dengan gagalnya produksi garam mencapai target nasional yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Di sepanjang tahun tersebut, produksi garam hanya sanggup mencapai 144.009 ton saja.
Jumlah tersebut, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi, hanya empat persen saja dari target yang ditetapkan sebesar 3 juta ton pada 2016.
“Garam tahun lalu puso (gagal panen) karena benar-benar kondisi alam. Kita sudah berusaha keras, tapi kondisi alam yang sangat tidak bersahabat membuat produksi gagal mencapai target karena banyak yang gagal produksi,” ungkap dia di Jakarta, akhir pekan lalu.
Brahmantya menjelaskan, untuk bisa melakukan produksi garam yang normal, idealnya memang diperlukan sinar matahari dan iklim yang panas. Prasyarat cuaca tersebut, mutlak dibutuhkan para petambak garam di berbagai daerah untuk bisa memproduksi garam yang bagus dan berkualitas.
Namun, menurut dia, prasyarat tersebut pada 2016 tidak bisa diperoleh, karena anomali cuaca La Nina sangat mengontrol kemampuan petambak garam melakukan produksinya. Karena La Nina tersebut, petambak tidak mendapat sinar matahari terik mengingat sepanjang 2016 dilanda musim kemarau basah.
“Tahun 2016 itu, curah hujan rerata lebih besar dari 150 milimeter per bulan. Bahkan, di beberapa tempat ada yang mencapai 300 milimeter per bulan. Itu kondisi yang menyulitkan bagi para petambak garam,” ujar dia.
(baca : Ketika Garam dan Bakau Bersatu, Siasat Pelestariannya di Pesisir Utara Lamongan)
Karena kondisi tersebut, Brahmantya meminta semua pihak untuk ikut memahami dan mengambil langkah yang bijak agar industri garam nasional bisa tetap hidup. Di sisi lain, kebutuhan garam nasional juga diharapkan bisa tetap terpenuhi.
“Koordinasi dengan pihak industri telah dilakukan. Intinya target swasembada garam harus ada dan harus ekstensifikasi lahan,” ucapnya.
Dengan melakukan koordinasi, Brahmantya sangat yakin, produksi garam nasional bisa kembali bangkit dan bahkan tidak menutup kemungkinkan untuk mencapai swasembada produksi garam. Syaratnya, kata dia, semua pihak harus ikut terlibat, karena swasembada garam tidak hanya ditentukan oleh KKP semata.
Selain jumlah produksi yang jauh dari target pada 2016, KKP juga merilis stok garam yang tersedia sampai akhir 2016 lalu jumlahnya mencapai 112.671 ton. Dengan demikian, pada 2017 ini, KKP menargetkan bisa terlaksana panen komoditas garam linear hingga mencapai 3,2 juta ton.
Menanggapi kegagalan target produksi 2016, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemaritiman untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, itu bukanlah karena faktor alam dengan cuaca La Nina saja, melainkan juga ada faktor lain yang ikut terlibat di dalamnya.
Halim menerangkan, faktor lain yang ikut terlibat itu, adalah intervensi teknologi yang masih sangat minim, pendampingan penyaluran program petambak garam yang berjalan tidak tepat sasaran. Faktor-faktor tersebut, kata dia, seharusnya tidak terjadi saat Pemerintah sedang menggenjot produksi garam nasional.
Impor Garam
Kegagalan produksi garam yang dialami Indonesia sepanjang 2016, memaksa Pemerintah Indonesia untuk kembali membuka keran impor yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. KKP memastikan, untuk 2017 akan dilakukan impor sebanyak tiga tahap dengan jumlah total maksimal 226.124 ton.
Menurut Brahmantya, pada 27 Desember 2016 dalam rapat lintas instansi, didapatkan kesepakatan bahwa impor maksimal dilakukan untuk garam konsumsi. Pelaksanaan impor tersebut, akan dilakukan secara bertahap, dengan setiap tahapnya dilakukan pengawasan dan evaluasi secara lengkap dan menyeluruh.
(baca : Tata Niaga Garam Nasional Dikuasai 7 Importir?)
Yang disebut pengawasan dan evaluasi, kata Brahmantya, yaitu bagaimana impor garam bisa berjalan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika di tengah impor tersebut, ternyata kebutuhan garam nasional sudah tercukupi, maka impor tidak akan dilanjutkan walaupun masih ada satu atau dua tahap lagi.
“Ini fungsinya untuk mengontrol kuota impor juga. Jika sembarangan dilepas kuotanya, tidak akan bagus. Jadi, jika tidak perlu impor lagi, maka akan dihentikan langsung. Itu jika hasil evaluasi demikian,” jelas dia.
Adapun, instansi yang ditunjuk secara resmi untuk melaksanakan impor garam pada 2017, dari hasil rapat pada akhir 2016 itu, disepakati adalah PT Garam, BUMN yang fokus pada pengelolaan dan produksi garam nasional.
Agar proses impor berjalan baik, KKP sengaja membentuk Satuan Tugas (Satgas) Lintas Kementerian Lembaga khusus garam yang berfungsi untuk mengawasi dan mengevaluasi impor garam yang dilaksanakan pada 2017. Satgas tersebut akan diisi tujuh pihak terkait.
“Setidaknya ada tujuh pihak yang harus dikoordinasikan terkait Satgas Impor Garam ini,” kata dia.
Ketujuh pihak itu, ujar dia, selain KKP, ada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Bea Cukai Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
Gudang Garam Baru dengan Sistem Resi Gudang
Pada 2017, Pemerintah juga fokus membangun enam gudang garam baru yang difungsikan untuk menyimpan hasil produksi garam rakyat dari berbagai daerah yang ada. Jumlah tersebut, melengkapi gudang garam yang sudah dibangun oleh KKP pada 2016 sebanyak 6 unit.
Brahmantya menjelaskan, enam gudang yang akan dibangun pada tahun ini, akan berlokasi di Brebes, Demak, Rembang (Jawa Tengah), Sampang, Tuban (Jawa Timur), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).
Adapun, 6 unit gudang garam yang sudah dibangun pada 2016, kata Brahmantya, adalah berlokasi di Cirebon, Indramayu (Jawa Barat), Pati (Jateng), Pamekasan (Jatim), Bima (Nusa Tenggara Barat), dan Pangkajene Kepulauan (Sulawesi Selatan).
“Seluruh gudang yang sudah dan akan dibangun menggunakan Standardisasi Nasional Indonesia atau SNI,” jelas dia.
Untuk setiap gudang yang akan dibangun nanti, Brahmantya memperkirakan, itu sedikitnya diperlukan waktu tiga hingga enam bulan. Dengan waktu tersebut, masing-masing gudang yang akan dibangun, biaya yang harus dikeluarkan sedikitnya mencapai Rp2 miliar dengan kapasitas setiap gudang mencapai 2.000 ton.
Selain enam gudang yang telah menggunakan sistem resi gudang tersebut, juga telah terbangun 10.385 meter jalan produksi dan tersalurkannya 489 ribu meter persegi geomembran di 14 kabupaten/kota.
Berdasarkan data KKP, ada 10 sentra produksi garam yaitu Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Bima, Pangkep dan Jeneponto.Selain itu, ada 20 daerah penyangga yaitu Aceh Besar, Aceh Timur, Pidie, Karawang, Brebes. Demak, Jepara, Tuban, Lamongan, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, bangkalan, Buleleng, Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa, Kupang, Pohuwato, dan Takalar.
Sementara, Abdul Halim dari Pusat Studi Kemaritiman untuk Kemanusiaan menyebutkan, sebelum KKP membangun enam gudang garam baru pada 2017, sebaiknya dipastikan dulu fungsinya seperti apa dengan detil. Dengan demikian, pembangunanya dinilai tidak akan mubazir lagi.
“Sebaiknya dipastikan dulu fungsi gudang garamnya, sebelum mematok pembangunannya. Dengan demikian, alokasi dana yang akan dikeluarkan dari APBN maupun ABPD tidak akan sia-sia dan justru bermanfaat sangat banyak,” kata Abdul Halim.