Metode Hazton Ini Mampu Hasilkan Padi Puluhan Ton. Berani Coba?

Metode Hazton, mungkin tidak setenar Metode Jajar Legowo atau SRI dalam hal penanaman padi. Namun, metode ciptaan dua putra Kalimantan Barat ini merupakan harapan nyata untuk meningkatkan produktivitas pertanian, menuju swasembada pangan di Indonesia. Adalah Hazairin dan Anton Kamarudin, yang melakukan riset hebat hingga menemukan teknik tersebut.

Hazairin adalah Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Barat (Kalbar). Awal karirnya sebagai penyuluh pertanian. Tak heran, ia paham dengan tipologi lahan pertanian di Kalimantan Barat, serta metodologi yang kerap digunakan petani lokal dalam hal bercocok tanam. “Hanya lihat dan pegang daun saja, saya sudah tahu tanaman ini kekurangan unsur N, P, atau K,” ujarnya belum lama ini.

Saat jadi penyuluh, Hazairin tak segan mengamati kasus yang terjadi di daerah dampingannya. Munculnya teknologi Hazton pun berawal dari pengamatan di lapangan. Baik Hazairin maupun Anton mengamati, petani di Kalbar kerap menanam padi dengan satu hingga tiga bibit per lubang tanam.

Dari bibit tersebut, dihasilkan satu rumpun padi dengan jumlah 10 hingga 20 anakan vegetatif. Selanjutnya, pada masa generatif menghasilkan 10 hingga 15 anakan produktif, dengan produksi padi sekitar tiga hingga empat ton per hektar. Hingga akhirnya, Hazairin dan Anton memiliki pemikiran kontroversional, menggunakan bibit padi lebih tua, cara berbeda yang biasa digunakan petani.

Baca: Semangat Menggebu Petani Perempuan di Kapuas Hulu Terapkan Metode Hazton

Kebanyakan orang berpendapat, bibit tua tidak menghasilkan bulir padi yang banyak. Namun, semakin tua bibit padi, justru semakin tahan terhadap penyakit. Dari hasil penelitian, didapati juga semakin padat bibit padi yang dimasukkan dalam satu lubang, akan semakin banyak menghasilkan padi  berkualitas dan kuat berkompetisi. Salah satunya, meminimalisir hama keong yang hanya suka pada padi muda.

Akankah kedaulatan pangan yang dicitakan Indonesia terwujud? Petani, sang pahlawan pangan, nasibnya tidak boleh dilupakan. Foto: Rhett Butler
Akankah kedaulatan pangan yang dicitakan Indonesia terwujud? Petani, sang pahlawan pangan, nasibnya tidak boleh dilupakan. Foto: Rhett Butler

Pada 2012, metode ini pun diperkenalkan di Kalimantan Barat, dengan nama Hazton, akronim dari Hazairin dan Anton, sang penemu. “Dulu, kita dilarang menanam padi dengan bibit banyak, tapi metode ini malah menggunakan banyak bibit,” kata Hazairin. Sebuah demplot pun dibuat. Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Barat, selaku Tim Pengendali Inflasi Daerah, mendukung pengembangan penerapan metode tersebut.

Desa Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, daerah awal pengembangan metode ini. Tahun 2014 lalu, Kelompok Tani Nekad Maju di Desa Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, menerapkan metode ini di lahannya. Gabungan kelompok tani (gapoktan) ini, binaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Barat.

“Sebelum menggunakan Hazton, hasil panen per hektar berkisar tiga hingga empat ton. Kini bisa mencapai sembilan hingga sepuluh ton,” kata Bukhari (60), anggota Gapoktan Nekad Maju. Melihat kesuksesan tersebut, kata Bukhari, banyak petani yang tertarik bergabung. Jumlah anggota bertambah, dari tujuh menjadi 11 kelompok tani.

Luas areal yang mengaplikasikan metode ini meningkat dari 25 hektare menjadi 200 hektare. Saat ini, Gapoktan Nekat Maju bahkan sudah mempunyai gudang dan rumah pengeringan padi. Untuk bibit, mereka telah menjalin kerja sama dengan Balai Benih Induk Peniraman.

Inilah benih padi yang tersimpan di Kantor Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Bogor. Dari 10 ribu varietas padi yang ada di Indonesia,, saat ini hanya 125 varietas yang tersisa. Foto: Rahmadi Rahmad
Inilah benih padi yang tersimpan di Kantor Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Bogor. Dari 10 ribu varietas padi yang ada di Indonesia,, saat ini hanya 125 varietas yang tersisa. Foto: Rahmadi Rahmad

Rokib, Ketua Gapoktan Nekad Maju menyatakan, metode ini membantu meningkatkan perekonomian keluarga. Betapa tidak, pendapatan kotor selama tiga bulan dapat mencapai Rp40 juta. “Dipotong biaya tananaman dan pemeliharaan Rp10 juta, pendapatan bersih petani Rp30 juta. Artinya, pendapatan per bulan untuk per hektare Rp10 juta.”

Rokib awalnya ragu. Dia bahkan mengira, Hazton adalah jenis padi, bukan teknik menanam. “Agak rumit. Setelah dijalani dan mendapatkan hasil, ternyata tidak ada yang mustahil.”

Semula, Rokib kurang yakin jika menggunakan 20 hingga 30 bibit padi dalam satu lubang tanam akan berhasil. Terlebih, modal tanam akan bertambah. Namun setelah panen, modal tanam itu kembali, karena hasil yang melimpah. Dengan Metode Hazton, memang modal tanam per hektare naik dari Rp5 juta menjadi Rp7 juta. “Tapi, pendapatan juga naik dari Rp10 juta menjadi Rp30 juta per hektar,” katanya.

Anton Kamarudin tengah mempraktikkan metode Hazton kepada petani perempuan Desa Tekudak, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Putri Hadrian
Anton Kamarudin tengah mempraktikkan metode Hazton kepada petani perempuan Desa Tekudak, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Putri Hadrian

Dilirik negara lain

Metode Hazton, kini sudah diterapkan di tiga negara, yakni India, Inggris, dan Malaysia. Teknik ini sangat cocok diterapkan di lahan yang tidak terlalu luas, namun produktivitasnya optimal. Di Indonesia, sudah 24 provinsi yang menerapkan, meski ada juga sejumlah petani di Kalbar yang menolak.

“Sejumlah petani di Kabupaten Ketapang dan Kubu Raya menolak. Padahal, dalam penerapannya mendapat bantuan dan dampingan dari pemerintah,” kata Hazairin.

Saat ini, kata dia, penerapan Hazton melalui APBN 2016 di Indonesia ada 50 ribu hektar.  Kalbar mendapatkan koata sebanyak 35 ribu hektar. “Semua hampir terealisasi. Ada juga yang jatah 10 ribu hektare kurang seperti di Sambas. Mereka sudah merasakan hasilnya yang berlipat.”

Hazairin mengakui, butuh waktu untuk alih metode dan mengedukasi masyarakat. “Peran petugas penyuluh pertanian merupakan kunci sukses penerapannya.”

Demplot padi di Desa Tekudak, Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar, yang menerapkan Metode Hazton, dampingan Konsorsium Perempuan Kalbar. Foto; Konsorsium Perempuan Kalba)
Demplot padi di Desa Tekudak, Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar, yang menerapkan Metode Hazton, dampingan Konsorsium Perempuan Kalbar. Foto; Konsorsium Perempuan Kalbar

Petani berdasi

Kepala Bank Indonesia Perwakian Kalimantan Barat, Dwi Suslamanto, mengatakan Metode Hazton diharapkan menjadi alternatif pertumbuhan ekonomi. Selama ini, Kalimantan Barat cenderung bergantung pada sektor pertambangan dan perkebunan. “Pelemahan harga komoditas cukup berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi di Kalimantan.”

Dwi menuturkan, rata-rata inflasi Kalbar dalam empat tahun terakhir, berdasarkan data historis mencapai 7,58% (yoy). Sementara, rata-rata nasional  > 6,10 persen (y-o-y). Dalam kurun waktu 2012 – 2015, beras secara persisten menjadi komoditas dengan andil terbesar mempengaruhi inflasi Kalimantan Barat. Namun, sebagai komoditas utama penyumbang inflasi, hal ini sekaligus peluang usaha bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. “Untuk mendukung upaya stabilitas harga, setidaknya diperlukan pasokan pangan yang cukup.”

Produktivitas panen padi rata-rata nasional dari 2012 – 2015 sekitar < 5,13 ton perhektare, sedangkan di Kalimantan (3,60 ton per hektare), Sumatera (4,21 ton per hektare), dan Jawa (5,70 ton per hektare). “Jadi, produktivitas panen padi di Kalimantan masih tertinggal dari rata-rata nasional. Dibutuhkan inovasi yang dapat menjawab tantangan tersebut.”

Hazton, kata Dwi, adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Kalimantan Barat. Bank Indonesia Perwakilan Kalbar juga mempermudah sistem pemasaran hasil produk pertanian. “Mulai 2017 akan kami dorong menggunakan IT, modelnya seperti e-commer. Petani tidak perlu ke pasar menjual hasil panennya, cukup online,” papar Dwi.

Belalang, hidupan liar yang merupakan bagian dari ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler
Belalang, hidupan liar yang merupakan bagian dari ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler

Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, meminta petani untuk bersemangat menanam padi. Kalimantan Barat mempunyai potensi lahan pertanian cukup besar, apalagi luas wilayah Kalbar mencapai 1,5 kali Pulau Jawa. “Jangan malu menjadi petani. Petani itu pekerjaan mulia. Bisa memberi makan banyak orang,” tukasnya.

Kalbar terus memacu program peningkatan produksi padi. Potensi lahan sawahnya mencapai 527.850 hektare, yang dimanfaatkan sekitar 323.959 hektare atau 61,37 persen. Pemerintah provinsi pun terus mendorong agar sisa lahan seluas 203.891 hektare itu bisa dioptimalkan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,