Konflik Sewa Lahan Berujung Penyegelan Usaha Wisata Atraksi Lumba-lumba

Ratusan orang warga Desa Pakraman (adat) Serangan menyegel usaha wisata peragaan lumba-lumba dalam keramba apung di pesisir pulau Serangan, Denpasar, Rabu (18/1) sore. Ada konflik terkait sewa menyewa lahan dengan desa setelah beroperasi 10 tahun dalam usaha atraksi dan berinteraksi dengan lumba-lumba ini.

Sebuah spanduk tanda segel menyebutkan penyegelan ini berdasarkan Berita Acara (BA) rapat musyawarah desa/Kelurahan Serangan, akta perjanjian sewa menyewa pada 27 Juni 2007 No 48, perpanjangan sewa No 11 pada 12 Oktober 2009, BA keputusan rapat prajuru Desa Pakraman Serangan 14 Maret 2016, dan BA keputusan paruman/rapat Desa Pakraman Serangan 28 April 2016. “Dengan demikian PT. Piayu Samudra Loka dilarang melakukan kegiatan usaha apa pun,” demikian tertulis.

Penyegelan dan pelarangan operasi per 18 Januari ini dilakukan di areal Dolphin Lodge, kantor dan operasional PT. Piayu Samudra Loka, investor usaha yang memiliki izin lembaga konservasi di Batam ini. Sementara lokasi keramba apung tempat wisata lumba-lumba ini berjarak sekitar 10 menit menyeberang dari pantai depan kantor.

Ada lebih dari 4 kotak keramba dalam areal wisata dengan sedikitnya 9 lumba-lumba hidung botol ini. Mongabay yang mendatangi lokasi untuk menemui pengelola dan dokter hewan yang melakukan perawatan terhenti di pintu masuk. Para pengelola yang bertugas menolak diwawancara dan minta segera meninggalkan area.

Dari kejauhan, di luar area keramba, seekor lumba-lumba terlihat melompat-lompat ke udara. Sejumlah pekerja terlihat masih mengurus area ini namun tak terlihat ada grup pengunjung. Kawasan sekitarnya cukup ramai dengan aktivitas water sport dan keramba-keramba tempat pemancing.

Pemilik usaha, Slamet Husni dan rekannya sempat ditemui saat ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali namun menolak menjawab. Pria ini minta bicara dengan pengacaranya saja.

“Tak bisa diajak kerjasama dengan desa, tak menganggap kami yang memiliki legal standing. Seolah ada dualisme bendesa (pimpinan desa pakraman/adat), menciderai masyarakat kami, itu paling utama,” ujar Nyoman Kemu Antara, penyarikan atau sekretaris Desa Pakraman Serangan.

Sebuah spanduk dipasang desa pakraman Serangan di pintu masuk kantor Dolphin Lodge di pesisir pulau Serangan, Denpasar, Bali, yang disegel warga Desa Pakraman (adat) Serangan pada Rabu (18/1) sore, sebagai tanda disegel dan dilarang melakukan kegiatan usaha wisata lumba-lumba di darat dan perairan lokasi keramba apung si dolphin. Foto : Anton Muhajir
Sebuah spanduk dipasang desa pakraman Serangan di pintu masuk kantor Dolphin Lodge di pesisir pulau Serangan, Denpasar, Bali, yang disegel warga Desa Pakraman (adat) Serangan pada Rabu (18/1) sore, sebagai tanda disegel dan dilarang melakukan kegiatan usaha wisata lumba-lumba di darat dan perairan lokasi keramba apung si dolphin. Foto : Anton Muhajir

Ia mengatakan perjanjian sewa menyewa lahan di daratan lokasi kantor atau Dolphin Lodge dengan desa sudah usai. Namun ada perpanjangan kontrak dengan mantan bendesa adat yang menurutnya sudah tak memiliki legal standing.

“Pihak dolphin anggap dia Bendesa, dia (bendesa lama) sudah kasepekang (dihukum secara adat), tak boleh ikut kegiatan adat dan tak mendapat pelayanan per Juli 2016,” jelas Antara soal kisruh mengenai transisi kepemimpinan desa adat ini.

Ia merencanakan area Dolphin Lodge ini nantinya digunakan untuk fasilitas umum yakni parkir. “Ditutup di darat dan laut. Sampai ada titik temu,” sebutnya lagi. Antara mengatakan pihaknya akan menghormati proses hukum yang akan berjalan karena pengusaha sudah menggugat.

Serangan adalah pulau kecil di tenggara Pulau Bali yang masuk kawasan Kota Denpasar. Kini pulau ini sudah menyatu dengan daratan Bali karena direklamasi pada 1994. Kawasan ini, seperti namanya mengalami banyak “serangan” atau konflik. Sebelum, saat dan pasca reklamasi terkait dengan masalah pertanahan, perusakan lingkungan akibat reklamasi, area yang direklamasi mangkrak pasca krisis 1998, dan lainnya. Kini pulau yang dulunya disebut pulau Penyu ini dihuni sekitar 900 KK.

Seekor lumba-lumba yang dikelola dalam keramba apung Dolphin Lodge ini melompat-lompat. Tak ada aktivitas atraksi dan wisata saat penyegelan di Dolphin Lodge yang berada di pesisir pulau Serangan, Denpasar, Bali pasca penyegelan oleh warga Desa Pakraman (adat) Serang pada Rabu (18/01/2017). Foto : Anton Muhajir
Seekor lumba-lumba yang dikelola dalam keramba apung Dolphin Lodge ini melompat-lompat. Tak ada aktivitas atraksi dan wisata saat penyegelan di Dolphin Lodge yang berada di pesisir pulau Serangan, Denpasar, Bali pasca penyegelan oleh warga Desa Pakraman (adat) Serang pada Rabu (18/01/2017). Foto : Anton Muhajir

Perawatan Lumba-lumba

Kepala BKSDA Bali Suharyono yang ditemui Mongabay di kantornya usai penyegelan meminta akses perawatan hewan atau lumba-lumba dalam keramba agar tak terbengkalai. “Masalah konflik legalitas dan legitimasi kami serahkan ke polisi asalkan satwa milik negara yang dilindungi tak boleh ditelantarkan,” ujarnya.

Ia menerima surat pemberitahuan penyegelan ini sebagai tembusan dari Desa Pekraman Serangan. Suharyono mengakui ada konflik soal siapa yang berwenang memperpanjang sewa menyewa, di sisi lain ada masalah transisi bendesa adat. Sementara perjanjian akta notaris pada 2014 untuk 10 tahun perpanjangan sewa lahan masih dengan bendesa lama.

Ia menyebut tak ada masalah soal legalitas wisata lumba-lumba dalam keramba ini karena pengusaha mengantongi izin lembaga konservasi di Batam dan mendapat izin peragaan di Bali. “Sudah dalam pengawasan, izin lembaga konservasi terkandung hak memperagakan satwa,” jelas Suharyono.

Dalam website usahanya, dolphinlodgebali.net disebutkan PT. Piayu Samudra Loka lebih dikenal dengan nama Dolphin Lodge. Sudah berusaha 20 tahun lalu di Batam dan diperluas ke Bali 10 tahun lalu. Misinya adalah upaya perlindungan dan konservasi satwa laut. Disebutkan mereka melakukan standar tinggi dalam pemeliharaan lumba-lumba dan memastikan mereka terlindungi.

Harga yang dijual untuk atraksi dan interaksi ini seperti tercantum dalam web adalah interaksi dan berenang dengan dolphin USD 79 (dewasa) dan USD 69 (anak) untuk sesi 30 menit per orang. Kalau hanya melihat USD 39.50 (dewasa).

Indonesia Zoo and Aquarium Association dalam webnya izaa.or.id, menyantumkan salah satu anggotanya ini pemilik Izin LK: 379/Kpts-II/1999 (31 Mei 1999). Pada 1998 (Pulau Mencaras dan Pulau Panjang, Riau) serta2007 (Provinsi Bali). Kantor pusatnya tercantum  di Batam.

Suasana wisata melihat lumba lumba saat sunrise di perairan Lovina, Buleleng, Bali Utara. Wacana rumpon untuk mengumpulkan lumba-lumba di perairan Buleleng demi industri wisata menjadi saat ini polemik. Foto : Anggara Mahendra
Suasana wisata melihat lumba lumba saat sunrise di perairan Lovina, Buleleng, Bali Utara. Wacana rumpon untuk mengumpulkan lumba-lumba di perairan Buleleng demi industri wisata menjadi saat ini polemik. Foto : Anggara Mahendra

SOP Wisata Lumba-lumba

Mengelola usaha wisata lumba-lumba bukan hal mudah. Ada sejumlah protes dari penyayang satwa atas wisata lumba-lumba dalam area terbatas seperti dalam kolam dan sirkus.

Ada 2 usaha lainnya menggunakan lumba-lumba di Bali yakni Wake dan Melka, keduanya dalam kolam renang. Bahkan kritik pada wisata melihat lumba-lumba di alam liar, habitanya di Pantai Lovina, Buleleng yang sudah berkembang sejak 1987. Masih ada banyak tantangan terutama aspek konservasi, sumberdaya ikan, dan pengelolaan wisata yang berkelanjutan.

Dari sejumlah pertemuan, beberapa catatan misalnya pertama, pembuatan standar operasional prosedur (SOP) wisata pengamatan lumba-lumba. “Saat ini sudah ada empat kesepakatan di lapangan oleh kelompok pemandu wisata namun belum optimal pelaksanaannya oleh para kapten kapal,” kata Permana Yudiarso, Kepala Seksi Program dan Evaluasi Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar.

Kesepakatan etika wisata lumba-lumba ini di antaranya, kapten kapal tidak memotong jalur berenang lumba-lumba (berenang searah dengan lumba-lumba dan di samping kanan/kiri lumba-lumba). Kedua, angkat dan matikan mesin ketika berada dekat lumba-lumba. Ketiga, jaga jarak minimal 50 meter dari sekawanan lumba-lumba.Keempat, tidak memberi makan lumba-lumba. Jika pengemudi kapal tak ingat hal ini, penumpang atau turis sebaiknya yang mengingatkan.

(baca : Mencari Tips Wisata Melihat Lumba-lumba yang Aman di Lovina. Seperti Apa?)

Selain SOP dolphin watching, juga diusulkan pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Lovina. Pokmaswas akan melakukan pengawasan SOP wisata lumba-lumba di lapangan dan melakukan tindakan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Berikutnya pendataan seluruh kelompok dan anggota pemandu wisata pengamatan lumba-lumba di Pantai Lovina.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng Nyoman Sutrisna pada Mongabay sempat menyebut rencana pembuatan rumpon di tengah laut untuk menata wisata melihat lumba-lumba agar tak lagi kejar-kejaran dengan perahu.

(baca : Perlukah Rumpon untuk Wisata Lumba-lumba di Laut?)

Pengemudi kapal dan pengunjung berusaha lebih dekat dengan lumba-lumba walau idealnya berjarak sekitar 50 meter untuk menjaga kenyamanan mamalia ini. Wisata melihat lumba-lumba di perairan Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali, menjadi wisata unggulan di Buleleng.Foto: Luh De Suriyani
Pengemudi kapal dan pengunjung berusaha lebih dekat dengan lumba-lumba walau idealnya berjarak sekitar 50 meter untuk menjaga kenyamanan mamalia ini. Wisata melihat lumba-lumba di perairan Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali, menjadi wisata unggulan di Buleleng.Foto: Luh De Suriyani

Sementara Putu Liza Kusuma Mustika, peneliti Cetacean dan wisata lumba-lumba Lovina ini lebih cenderung mendorong pelaksanaan SOP wisata dolphin watching ini untuk memastikan keberlanjutannya. Karena menyangkut kenyamanan lumba-lumba dan kepuasan wisatawan.

Ia menyampaikan sejumlah data dari serial penelitiannya tentang ini di Lovina. Code of Practice dari the Australian National Guidelines for Whale and Dolphin Watching (2005) menyebut syarat tidak membuntuti atau berada di depan lumba-lumba. Jarak melihat dari samping kiri atau kanan minimal 50 meter. Untuk memastikan lumba-lumba bisa hidup nyaman seperti reproduksi dan istirahat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,