Pemerintah telah mengeluarkan dua aturan baru pada 12 Januari 2017, yakni, Permen Energi Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 5 tahun 2017 tentang peningkatan nilai tambah mineral dan Permen ESDM Nomor 6 tahun 2017 tentang tata cara pemberian rekomendasi dan persyaratan rekomendasi penjualan mineral ke luar negeri. Dua aturan ini dinilai berbagai kalangan sebagai bentuk ketaklukan pemerintah terhadap pengusaha dengan malah melonggarkan kebijakan ekspor mineral mentah selama lima tahun. Sekitar 20 pegiat lingkungan, pakar dan organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam mendesak pemerintah membatalkan dua aturan itu. Bahkan, mereka kini menyiapkan bahan untuk menggugat aturan itu.
Pakar Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi di Jakarta, Rabu (18/1/17) mengatakan, regulasi ini sangat tendesius dan berpotensi bertentangan dengan UU Mineral dan Batubara (Minerba) bahkan konstitusi.
“Argumentasi hukum jelas Pasal 102 dan 103 UU Minerba mengatur setiap pemegang IUP dan IUPK wajib pemulihan dan pemurnian di dalam negeri. Peningkatan nilai tambah untuk produk, penyerapan tenaga kerja, berkembangnya industri dalam negeri, penerimaan negara dan lain-lain. Harusnya tak ada lagi mineral mentah ekspor,” katanya.
Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 10 tahun 2014, mengatakan Pasal 102 dan 103 UU Minerba ini konstitusional. Sebelumnya pasal itu pernah digugat ke MK oleh Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan perusahaan tambang lain dengan alasan jika ekspor mineral mentah terlarang, akan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK). MK tak mengabulkan permohonan itu.
“Sebetulnya, tak ada lagi alasan pemerintah secara hukum memberikan relaksasi.”
Lima tahun sejak ada UU Minerba, katanya, pemegang kontrak karya wajib memulihkan dan pemurnian dalam negeri. Sayangnya, pelanggaran terus terjadi. Pertama, saat Menteri ESDM Jero Wacik menerbitkan Permen ESDM nomor 1 tahun 2014 yakni, memberikan izin ekspor tiga tahun kepada pemegang IUP dan kontrak karya.
Dengan berbagai persyaratan seperti jaminan pertumbuhan, komitmen membangun smelter dan lain-lain. Faktanya, sampai kini tak jelas. Pada 2017, tak terlaksana lalu ada relaksasi lagi selama lima tahun dengan persyaratan sama. “Ada kewajiban bea keluar 10%, pembangunan smelter dan lain-lain,” katanya.
Dengan menerbitkan kedua permen ini, seolah-olah pemerintah tak konsisten dan mengangkangi hukum. Apalagi jelas, perubahan KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) mempunyai potensi melanggengkan operasi pertambangan besar seperti PT Freeport dengan mekanisme tak sesuai UU Minerba.
“Ada tendensi mengamankan, berikan kenyamanan bagi Freeport padahal perusahaan itu mempunyai banyak pelanggaran.”
Dia bilang, divestasi saham Freeport 2011 seharusnya sudah 51%, sampai kini tak terjadi. Pemerintah menggadang-gadang akan mengambil alih freeport, padahal kewajiban smelter saja tak jalan.
Saat pemerintah mau beli saham, katanya, harga sangat mahal. “Kita tak anti investasi asing, tapi harus berkeadilan. Kalau hanya merusak lingkungan, berpotensi meruncingkan konflik sosial di Papua, menurut saya harus dipertimbangkan.”
Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah menyoroti tata kelola pertambangan saat ini. Kekayaan alam, katanya, sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dalam negeri. Bisa untuk lapangan pekerjaan juga mendongkrak penerimaan negara dalam jangka panjang. Jadi, alasan defisit fiskal yang dipakai pemerintah dalam menerbitkan kedua permen ini, katanya, tak logis.
“Relaksasi ini bahaya laten. Kita dihadapkan tuntutan pasar global dimana masih ada permintaan tinggi bahan mentah. Juga ada ketidaksiapan sisi pemerintah. Proses politik tak berjalan baik. Kalau mau relaksasi dan melawan mandat UU, seharusnya merevisi UU atau menerbitkan Perppu. Tidak dengan menerbitkan dua permen yang sebenarnya sarat intervensi,” katanya.
Aturan teknis berupa permen, tak cukup dengan hanya merevisi tiga pasal utama (102, 103 dan 170) UU Minerba. Yakni pasal 102,103 dan 170.
Berdasarkan catatan PWYP, ada 6.541 IUP, 3.041 IUP operasi produksi. Sekitar 2.500-an IUP masih non clear and clean. Ada kewajiban bagi mereka membangun industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sayangnya, banyak tak siap membangun smelter, ada persoalan mendasar seperti tumpang tindih dengan hutan konservasi, tak bayar pajak, tak mempunyai NPWP, tak membayar dana jaminan reklamasi dan lain-lain.
“Saya rasa persoalan mendasar ini sudah mulai dibenai oleh KPK bersama KESDM dan pemda.”
Sisi lain, sebagian industri sudah siap membangun smelter. Sejak akhir 2016, ada 26 smelter siap. “Antam sudah bangun smelter. Sekitar 34 yang seharusnya mencapai fase siap beroperasi. Ini harus diperhatikan pemerintah.”
Yusri Usman dari Centre of Energy and Resources Indonesia mengatakan, awal pemerintahan Joko Widodo, dia menaruh harapan tinggi soal penerapan proses hilirasi industri minerba. Namun, katanya, fakta berbeda dari janji.
“Berdasarkan fakta saya peroleh baik isi PP juga permen ESDM ini jelas dan nyata bertentangan dengan UU Minerba. Jelas terbukti, pemerintah kalah dengan korporasi asing. Faktanya isi semua perubahan PP dan permen bukan memperkuat UU, justru malah melemahkan. Pemerintah telah melakukan penistaan UU,” katanya.
Dengan penerbitan kedua permen ini, pemerintah justru telah mendiskriminasi perusahaan tambang yang sudah membangun smelter. Seharusnya, perusahaan inilah yang dilindungi pemerintah, bukan malah mengakomodir perusahaan tambang besar yang sebenarnya sudah banyak melanggar.
Murdani, Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengatakan, Permen ESDM lahir bikin khawatir di tengah eksploitasi tambang menggila.
“Potret sekitar tambang, masyarakat hidup miskin.”
Kedua permen, katanya, merupakan upaya pengingkaran pemerintah terhadap konstitusi yang mereka buat sendiri. Dia menilai, kerugian akan muncul jauh lebih besar dibandingkan keuntungan pemerintah dapat penerimaan pajak dan non pajak.
Seharusnya, kata Nurdani, sebelum merevisi aturan, hal prinsip harus pemerintah lakukan adalah audit lingkungan baik KK maupun izin tambang lain. Tujuannya, mengukur seberapa daya tamping dan dukung lingkungan akan tambang.
“Aspek ini hampir tak jadi bagian pertimbangan pemerintah. Belum lagi soal kesejahteraan dan keadilan masyarakat sekitar tambang,” katanya.
Tanda bahaya
Koordinator Divisi Ekstraktif Industri Article 33 Ermy Ardianti mengatakan, perubahan KK jadi IUPK mengakibatkan perusahan dapat menambang di wilayah pencadangan negara yang berisi tambang strategis dan konservasi.
“Ini tanda bahaya, harus kita perhatikan. Memberikan kembali perpanjangan ekspor mineral mentah, sama saja paradigma pertambangan Indonesia kembali ke abad 16, ketika pelayar Portugis datang dan mengambil emas kita.”
Ketika melahirkan UU Minerba, ada klausul harus ada pemurnian dalam negeri, katanya, sebenarnya langkah maju. Dengan relaksasi tiada henti, menjadi ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan UU dan hanya dianulir melalui permen. “Jadi ini ada penistaan terhadap UU oleh permen.”
Dia mengutip riset Kementerian Lingkungan Hidup 2013 tentang Net Capital Value atau Natural Capital. Berdasarkan riset itu, Indonesia sebenarnya lebih mengunntungkan jika tak menambang. “Eskalasi kerusakan lingkungan pertambangan, sedemikian akut. Kerugian jauh lebih besar daripada keuntungan baik pertumbuhan ekonomi, pajak dan penerimaan negara.”
Debby Manalu, Pengkampanye Jatam mengatakan, dengan keluar kedua permen menunjukkan pemerintah takut perusahaan.
Hermawan Eriadi dari Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia mengatakan, kedua permen ini terhitung mendadak. Lobi-lobi justru bukan dari masyarakat sipil atau BUMN tetapi luar.
“Lobi kuat. Setelah keluar barulah dari kalangan masyarakat sipil termasuk akademisi dipanggil dan diminta pendapat, untuk menyetujui permen.”
Ajukan gugatan
Organisasi masyarakat sipil berencana ajukan uji materil atas aturan ini. “Ada 20 lembaga tergabung ikut mengajukan uji materiil. Tak hanya pribadi, tokoh-tokoh nasional siap bergabung. Pemerintah harus membela rakyat, bukan membela perusahaan asing yang tak berkeadilan,” kata Ahmad.
Kini, tim hukum sedang mematangkan materi gugatan. Mereka sedang mengumpulkan keterangan ahli hukum, lingkungan, ekonomi dan lain-lain. “Akan dilampirkan di materi gugatan. Sudah ada tiga ahli memberikan keterangan tertulis.”
Senada dikatakan Bisman Bakhtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP). Katanya, uji materiil ke Mahkamah Agung, merupakan momentum tepat.
Kepastian hukum, katanya, hampir tak ada termasuk dalam industri pertambangan minerba.
“Hampir semua peraturan KESDM khusus Dirjen Mineral dan Batubara selalu menimbulkan masalah. Masalah inilah menyebabkan negara, rakyat dan pelaku industri pertambangan dirugikan. Akibat kepastian hukum mahal ini, banyak kerugian ekonomi politik, hukum, lingkungan dan lain-lain,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, gugatan judicial review relevan karena UU Minerba telah dibatalkan dengan peraturan level lebih rendah yakni PP dan permen.
Dia khawatir dengan PP keluar justru kondisi lebih parah karena relaksasi ekspor mineral mentah jadi lima tahun. Menurut dia, asing akan berupaya dengan berbagai cara supaya Indonesia tak bangun smelter.