Rawan Konflik, DPRD Sinjai Dorong Perda Masyarakat Adat

Angin segar berhembus bagi masyarakat adat di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Banyaknya konflik terkait masyarakat adat di daerah ini mendorong DPRD Kabupaten Sinjai untuk segera mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Masyarakat Adat.

“Selama ini masyarakat adat sudah seperti tamu di rumahnya sendiri. Bayangkan, mengambil ranting pohon saja harus melapor. Ini yang membuat keberadaan Perda Masyarakat Adat menjadi penting untuk diperjuangkan,” ungkap Mappiare, anggota DPRD Sinjai dari Partai Gerindra, di Sinjai, Kamis (5/1/2017).

Menurutnya, saat ini telah sudah terdapat 8 orang anggota DPRD Sinjai yang siap menjadi inisiator, melebihi syarat yang ada, yaitu 6 orang. Ia berharap Ranperda ini bisa masuk pada Prolegda 2017.

Keseriusan DPRD untuk mendorong Ranperda ini terlihat dengan adanya upaya penyiapan draft naskah akademik dan Ranperda. Dalam hal ini DPRD meminta dukungan berbagai pihak, termasuk dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sinjai, akademisi dan budayawan yang ada di Kabupaten Sinjai.

Mappiare optimis proses penyusunan Ranperda ini takkan menghadapi tantangan yang berarti karena sifatnya inisiatif dari DPRD.

“Ini karena Perda inisiatif, merupakan tolak ukur utama hasil kerja DPRD sebagai keberhasilan kerja legislasi dan menjadi target yang harus dipenuhi,” ujarnya.

Menanggapi komitmen ini, Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel menyatakan apresiasi dan dukungannya. Ia menilai keberadaan Perda ini nantinya akan memperkuat posisi masyarakat adat yang selama ini rentan terhadap kriminalisasi.

“Selama ini masyarakat adat di Sinjai rentan terhadap kriminalisasi karena ketiadaan payung hukum yang melindungi mereka. Dalam setiap proses hukum yang ada selama ini memang yang selalu dipertanyakan legalitas mereka. Masyarakat adat tidak pernah diakui selama tak ada pengakuan resmi dari Negara atau Pemda,” katanya.

Perjuangan mahasiswa dan masyarakat adat di Sinjai, Sulawesi Selatan, menghadapi upaya kriminalisasi di masa lalu. Dalam beberapa tahun terakhir tercatat sejumlah kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Kabupaten Sinjai. Foto: Gertak Sinjai
Perjuangan mahasiswa dan masyarakat adat di Sinjai, Sulawesi Selatan, menghadapi upaya kriminalisasi di masa lalu. Dalam beberapa tahun terakhir tercatat sejumlah kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Kabupaten Sinjai. Foto: Gertak Sinjai

Menurut Sardi, Perda Masyarakat sendiri adalah keniscayaan bagi daerah karena secara nasional pemerintah telah resmi mengakui keberadaan masyarakat adat. Ini bisa dilihat dari adanya pemberian status hutan adat di sembilan komunitas adat di seluruh Indonesia oleh Presiden Jokowi pada 30 Desember 2016 lalu.

“Dengan adanya pengakuan hutan adat ini maka memang seharusnya daerah bisa lebih terbuka dalam memberi ruang pengakuan masyarakat adat di daerahnya. Kita berharap tidak hanya di Sinjai saja, atapun sebelumnya oleh Bulukumba dan Enrekang, tetapi juga seluruh kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan,” tambahnya.

Mohammad Arman, Kepala Divisi Advokasi Hukum dan HAM AMAN juga menyatakan apresiasinya atas sikap politik DPRD Sinjai tersebut. Sebelumnya ia sempat pesimis dengan kondisi yang ada.

“Memang awalnya kita pesimis Ranperda ini bisa masuk dalam Prolegda 2017, namun setelah kita diskusi lebih lanjut ternyata ada ruang yang terbuka. DPRD ternyata memiliki jatah 4 Ranperda inisiatif dan saat ini mereka baru memiliki tiga usulan. Ruang ini kemudian terbuka untuk kita mendorong Ranperda ini,” ujarnya.

AMAN sendiri memang kemudian menangkap peluang tersebut dengan melakukan workshop penyusunan draft Ranperda dan naskah akademik selama lima hari, melibatkan sejumlah akademisi dan budayawan yang ada di Kabupten Sinjai.

“Karena itu kemudian dalam 5 hari ini kita mencoba menyusun draft naskah akademik dan Ranperda membantu DPRD agar gagasan pembentukan hukum ini bisa berjalan. Nantinya draft ini kita akan serahkan dulu ke dewan. Tentu akan banyak kekurangan, namun secara subtansi bisa kita konsultasikan dengan pihak-pihak terkait,” tambah Arman.

Untuk mendapatkan pengakuan, masyarakat adat di Sinjai, Sulsel, melakukan proses pemetaan partisipatif dan pendokumentasian akan sejarah dan kelembagaan adat di wilayahnya masing-masing. Foto: Wahyu Chandra.
Untuk mendapatkan pengakuan, masyarakat adat di Sinjai, Sulsel, melakukan proses pemetaan partisipatif dan pendokumentasian akan sejarah dan kelembagaan adat di wilayahnya masing-masing. Foto: Wahyu Chandra.

Arman optimis Ranperda ini bisa disahkan tahun 2017 ini selama dari segi subtansi tidak bersoal dan ada kemauan politik dari pemerintah dan DPRD mendorong kebijakan ini.

“Prinsipnya bahwa AMAN akan membantu dari segi substansi. Kemauan politik dari pemerintah dan DPRD perlu kita kawal.”

Menurut Wahyullah, Ketua AMAN Sinjai, proses penyusunan dan pengesahan Ranperda ini akan terus dikomunikasikan dengan pemerintah daerah dan DPRD.

“Kita akan terus komunikasikan. Setelah draft naskah akademiknya kita sampaikan tentunya akan ada hal-hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Dari segi anggaran dewan sendiri telah menyatakan akan diakomodir pada anggaran perubahan 2017 nanti.”

Perjuangan Masyarakat Adat

Menurut Arman, meski pasca putusan Mahkamah Konstitusi 35 tahun 2012 belum banyak yang bisa dirasakan dampaknya namun putusan ini memberi semangat kepada masyarakat adat untuk terus menerus memperjuangkan haknya terkait pengelolaan sumber daya alam.

Dimulai pada tahun 2015 lalu, AMAN secara organisasi menetapkan sebagai tahun legislasi masyarakat adat. Hasilnya, sejak 2015 – 2017 ini setidaknya 37 daerah yang sedang menginisiasi Perda Masyarakat Adat. Di antaranya yang sudah ditetapkan antara lain Perda Masyarakat Adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, Enrekang, Kalimantan Timur dan Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara. Daerah yang sedang berproses antara lain Sumbawa di Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Selatan, yang saat ini sedang dibahas di DPRD.

Bahtiar bin Sabang, korban kriminalisasi, warga komunitas adat Turungan yang harus menjalani hukuman 1 tahun subside 1 bulan karena menebang pohon di kebun sendiri yang diklaim sebagai tanah Negara. Ia baru bebas pada akhir 2016 lalu. Foto: Wahyu Chandra
Bahtiar bin Sabang, korban kriminalisasi, warga komunitas adat Turungan yang harus menjalani hukuman 1 tahun subside 1 bulan karena menebang pohon di kebun sendiri yang diklaim sebagai tanah Negara. Ia baru bebas pada akhir 2016 lalu. Foto: Wahyu Chandra

Diakui Arman, upaya mendorong regulasi ini di tingkat daerah memiliki tantangan tersendiri, antara lain pada perumusan definisi dari masyarakat adat itu sendiri.

“Setidaknya kita bisa lihat dari perdebatan substansial, terutama dalam beberapa putaran diskusi di beberapa daerah ketika kita ingin mengatur masyarakat adat dalam suatu Perda, maka perdebatannya adalah siapa yang dimaksud sebagai masyarakat adat. Itu satu tantangan besar. Tantangan lainnya, keberadaan Perda ini akan terkait pergumulan politik di tingkat lokal.”

Kondisi ini kemudian berdampak pada lamanya penetapan Perda ini di beberapa daerah yang prosesnya bisa sampai bertahun-tahun.

“Dari pengalaman saya selama ini, paling cepat Perda itu ditetapkan satu setengah tahun atau dua tahun. Bahkan ada yang sampai tiga tahun, seperti pada Perda Masyarakat Adat Kajang di Bulukumba dan di Kalimantan Timur. Di Kabupaten Bulungan itu dua tahun. Di Kabupaten Sumbawa yang kita prediksi awal itu bisa ditetapkan tahun 2016 lalu ternyata juga molor, mungkin baru bisa pada Maret 2017 ini.”

Menghadapi kondisi ini, menurut Arman, AMAN mencoba strategi baru dengan menggunakan ruang-ruang hukum yang ada terkait pengakuan masyarakat adat.

“Dulu itu kita lebih banyak masuk ke wilayah Perda dan SK berdasarkan Permendagri 52 tahun 2014. Namun mulai tahun 2017 ini kita juga mencoba instrumen lain melalui Perber dan sertifikat komunal masyarakat adat sesuai Permen ATR Nomor 10 tahun 2016.”

Secara nasional, tambah Arman, pada tahun 2016 lalu ada dua kabar baik bagi masyarakat adat. Pertama terkait masuknya RUU Masyarakat Adat dan dalam Prolegnas 2017 serta pengesahan hutan adat melalui SK Menteri LHK, yang penyerahannya dilakukan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara pada 30 Desember 2016 lalu.

“Untuk RUU Masyarakat Adat ini kita terus melakukan lobi yang intensif kepada pemerintah dan DPR untuk segera membentuk Panja. Komunikasi terakhir dengan beberapa fraksi di DPR itu mereka akan mendorong pembahasannya di tahun ini.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,